Jejak Belanda di Garut

Namanya Kampoeng Amsterdam yang mulai menjelma sebagai objek wisata baru yang digandrungi oleh wisatawan. Perkampungan itu menyimpan bukti sejarah kehidupan bangsa Belanda di Kabupaten Garut (Hakim Ghani/detikTravel)
Letak persisnya ada di kawasan perkebunan teh Dayeuhmanggung, Kaki Gunung Cikuray, Kecamatan Cilawu. Ada 12 rumah yang dihuni oleh 24 orang warga. Uniknya, mereka menempati rumah-rumah peninggalan Belanda yang sama sekali belum direnovasi (Hakim Ghani/detikTravel)
Rumah-rumah asli warga Belanda itu dibangun sekitar tahun 1930-an. Luas daerahnya sekitar 7 hektar dan dibangun semi permanen dengan perpaduan bilik rajutan kayu dan tembok (Hakim Ghani/detikTravel)
Sebagian warga sedikit mempercantik 'rumah Belanda' itu dengan cat dan menata halaman depannya dengan tanaman. Ada pula kambing yang dipelihara warga dan disebut dengan 'embe (kambing) bule' (Hakim Ghani/detikTravel)
Selain itu, ada saluran air sepanjang 300 meter dan menjadi bukti sejarah peninggalan Belanda di tempat ini. Sampai saat ini masih dipakai untuk pengairan ke kebun dan rumah warga (Hakim Ghani/detikTravel)
Tak hanya itu, sejak pertama didirikan awal November 2016 lalu, pengelola menyulap sedikit area perkebunan teh. Terletak di depan kampung, kebun itu dijadikan tempat beristirahat oleh para wisatawan yang datang (Hakim Ghani/detikTravel)
Ditempat tersebut dibentuk beberapa balai, seperti balai pohon, dan balai menyerupai perahu yang dimanfaatkan sebagai objek berswafoto. Traveler hanya dikenakan biaya sebesar Rp 5 ribu per orangnya (Hakim Ghani/detikTravel)
Namanya Kampoeng Amsterdam yang mulai menjelma sebagai objek wisata baru yang digandrungi oleh wisatawan. Perkampungan itu menyimpan bukti sejarah kehidupan bangsa Belanda di Kabupaten Garut (Hakim Ghani/detikTravel)
Letak persisnya ada di kawasan perkebunan teh Dayeuhmanggung, Kaki Gunung Cikuray, Kecamatan Cilawu. Ada 12 rumah yang dihuni oleh 24 orang warga. Uniknya, mereka menempati rumah-rumah peninggalan Belanda yang sama sekali belum direnovasi (Hakim Ghani/detikTravel)
Rumah-rumah asli warga Belanda itu dibangun sekitar tahun 1930-an. Luas daerahnya sekitar 7 hektar dan dibangun semi permanen dengan perpaduan bilik rajutan kayu dan tembok (Hakim Ghani/detikTravel)
Sebagian warga sedikit mempercantik rumah Belanda itu dengan cat dan menata halaman depannya dengan tanaman. Ada pula kambing yang dipelihara warga dan disebut dengan embe (kambing) bule (Hakim Ghani/detikTravel)
Selain itu, ada saluran air sepanjang 300 meter dan menjadi bukti sejarah peninggalan Belanda di tempat ini. Sampai saat ini masih dipakai untuk pengairan ke kebun dan rumah warga (Hakim Ghani/detikTravel)
Tak hanya itu, sejak pertama didirikan awal November 2016 lalu, pengelola menyulap sedikit area perkebunan teh. Terletak di depan kampung, kebun itu dijadikan tempat beristirahat oleh para wisatawan yang datang (Hakim Ghani/detikTravel)
Ditempat tersebut dibentuk beberapa balai, seperti balai pohon, dan balai menyerupai perahu yang dimanfaatkan sebagai objek berswafoto. Traveler hanya dikenakan biaya sebesar Rp 5 ribu per orangnya (Hakim Ghani/detikTravel)