Urang Kanekes atau Orang Baduy/Badui merupakan sebuah masyarakat adat suku Banten yang ada di daerah Lebak, Banten. Populasi mereka sekitar 26.000 orang yang bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung.
Suku Baduy memiliki sebuah prinsip “Panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung” Yang dimana berarti apapun yang diberikan Tuhan kepada mereka harus terus mereka lestarikan, tanpa ada perubahan. Maksudnya jika Tuhan memberikan mereka alam yang kaya dan luas maka manusia harus menjaganya dan tidak boleh merusaknya sama sekali.
Maka dari itu teknologi seperti ponsel, tv, radio dan alat komunikasi lainnya bahkan listrik dan lampu sangat dilarang masuk ke wilayah mereka. Maka untuk penerangan, suku Baduy lebih menggunakan lampu tempel.
Suku Baduy dibagi menjadi dua, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Dalam sejarah, terbaginya kedua suku Baduy tersebut karena pada zaman penjajahan Belanda dahulu, populasi suku Baduy tidak lebih dari 40 orang sehingga suku Baduy membagi wilayahnya menjadi Luar dan Dalam. Yang dimana tugas Baduy Luar adalah untuk menjaga keutuhan Baduy Dalam agar para penjajah tidak bisa menginjakkan kakinya ke Baduy Dalam.
Hingga saat ini masyarakat Baduy sangat menutup dirinya dan melarang Warga Asing selain kewarganegaraan Indonesia menginjakkan kaki di wilayah mereka, karena warga asing dianggap merusak kehidupan dan ketentraman yang ada disana. Seperti inilah kehidupan asli baduy.
Baduy Dalam dan Luar memiliki prinsip dan kepercayaan yang sama, yang menjadi pembeda dari kedua suku Baduy ini adalah pemberlakukan peraturan yang ada. Suku Baduy Dalam sangat ketat dalam menjalani aturan, berbeda dengan Baduy Luar yang diberikan keringanan dalam menjalankan aturan. Seperti halnya baju adat suku Baduy Dalam didominasi warna putih polos dikarenakan suku Baduy mengganggap putih adalah warna yang suci.
Sedangkan Baduy Luar memiliki pakaian adat didominasi warna biru dan hitam. Walaupun sebagian besar Baduy Luar menggunakan pakaian adatnya namun beberapa warganya ada yang berpakaian selayaknya masyarakat umum yang ada di luar suku Baduy.
Contoh lainnya adalah Baduy Luar masih diperbolehkan memiliki alat komunikasi berbeda dengan Baduy Dalam yang sangat dilarang menggunakan bahkan mengenal teknologi.
Salah seorang warga suku Baduy Dalam bercerita bahwa ada aturan yang melarang mereka (Baduy Dalam) menggunakan alat transportasi. Maka jika mereka ingin bepergian kemana pun harus berjalan kaki. Termasuk dalam hal pembuatan sesuatu semua dengan cara yang tradisional.
Para wanita Baduy setiap hari memiliki kegiatan menenun kain khas mereka. Kain tersebut bisa digunakan untuk mereka sendiri atau untuk di jual kepada para wisatawan yang datang. Mereka juga tak memiliki latar belakang pendidikan selayaknya masyarakat pada umumnya mulai tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), atau malah jenjang perkuliahan.
Para gadis Baduy juga memiliki paras yang rupawan, dengan diberikan keahlian merias diri mereka diajarkan untuk siap menjadi seorang istri di masa depannya nanti. Seperti ini, cantik dan alami bukan?
Alat musik khas mereka adalah kerinding, sebuah bilah bambu yang dimainkan dengan cara ditiup dan digetarkan.
Mereka sangat terpaku pada sanksi sosial yang akan mereka dapatkan jika melanggar aturan. Seperti jika ada warga Baduy yang melanggar, mereka tidak hanya malu kepada diri mereka sendiri namun juga kepada seluruh warga Baduy. Jadi penasaran ingin berkunjung ke baduy nggak?