Menengok Kampung Wisata Jamu Kiringan di Bantul

Sejarah jamu kiringan berasal dari abdi dalem Keraton, ilmu membuat jamu tersebut kemudian diterapkan dan dijual sekitar tahun 1950.
Seiring berjalannya waktu ilmu membuat jamu tersebut kian turun-temurun dan merambat hingga hampir satu desa memahami cara membuat jamu.
Penjualannya pun beragam, jaman dulu ibu-ibu di desa ini menjual jamu dengan cara digendong dan berkeliling menjajakan jamunya.
Namun kini para penjual jamu dari desa Kiringan menggunakan sepeda hingga motor. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Bantul sudah meresmikan Kiringan sebagai desa wisata.
Transportasi untuk menjual jamu sudah berubah, namun penyajiannya para penjual jamu masih secara tradisional dengan meremas bahan-bahan yang dibawa tepat di depan pembeli.
Meski begitu para pembeli jamu tak keberatan, cara penyajian secara tradisional membuat khasiat tetap terjaga tanpa campuran bahan lainnya.
Potensi jamu di Bantul tak hanya mendapatkan dukungan dari pemerintah setempat melainkan pihak lainnya seperti Bank Rakyat Indonesia (BRI) turut mendorong perkembangan industri jamu di Dusun Kiringan melalui pemberian bantuan CSR hingga permodalan untuk UMKM jamu.
Ditengah pandemi, banyak usaha yang terdampak hingga harus gulung tikar. Namun penjualan jamu justru naik daun.
Kebutuhan akan peningkatan imun membuat jamu dicari banyak orang, sehingga penjualan jamu meningkat 7 hingga 8 kali lipat.
Jamu di desa Kiringan pun mulai bertransformasi dengan membuat jamu-jamu instan berkemasan untuk mempermudah penikmat jamu dalam penyajiannya.
Selain itu jamu juga "dimodif" menjadi sirup hingga selai.
Dusun Kiringan di Jetis, Bantul menjadi salah satu sentra jamu yang terkenal di Jogja. Hampir seluruh ibu-ibu di sana merupakan penjual jamu keliling.