Mengusir Petaka Lewat Ritual Perang Api di Gianyar Bali

Di tengah peralihan senja menuju petang, ratusan pemuda dan pemudi berkumpul di Desa Nagi, Gianyar, Bali. Balutan udeng atau semacam ikat kepala dan kamen atau sarung adat Bali bermotif kotak-kotak hitam putih melekat dalam tubuh mereka.  

Diiringi alunan tembang gegenjakan, riuh sorak-sorai semangat mereka terdengar keras bersaing dengan suara gamelan Bali. Mereka bersiap menggelar ritual Mesabatan Api atau lebih dikenal dengan sebutan perang api. Tradisi turun-temurun ini dilangsungkan jelang perayaan Nyepi.  

Tak lama berselang, ritual perang api pun dimulai. Salah seorang pemuda mengawalinya dengan berlari melintasi bara api sambil menendang tumpukan batok kelapa yang tengah terbakar oleh nyala api yang membara.   

Teriakan dari segala penjuru pun terdengar riuh. Lantas para pemuda mulai mengambil batok kelapa yang tengah terbakar api dan saling lempar satu sama lain. Tak ada ketakutan maupun keraguan yang tergambar di wajah para pemuda. Semuanya nampak begitu berani dan bersemangat.  

Semakin malam keseruan kian terasa. Tak ada cahaya apa pun yang menerangi jalannya prosesi Mesabatan Api malam itu. Satunya-satunya sumber cahaya berasal dari nyala api di batok kelapa yang terbakar itu sendiri.   

Semua pemuda tampak menjadi gila, beringas, dan terkesan lepas kendali. Namun tak ada satu pun dari mereka yang marah ataupun tersulut emosinya. Yang ada malah senyum ceria di raut wajah mereka ketika lemparan batok kelapa yang terbakar api berhasil mengenai tubuh sasaran.  

Tujuan dari ritual Mesabatan Api ini adalah untuk mengusir segala energi negatif dari kumpulan roh jahat yang ada di sekitar desa guna menghindari mala petaka dan bencana bagi para warga desa adat. Roh jahat yang dikenal sebagai Butha Kala ini digambarkan sebagai iblis berbadan besar dengan lidah menjulur panjang yang sering divisualisasikam ke dalam patung ogoh-ogoh.  

Ritual Mesabatan Api atau siat geni dalam bahasa Bali ini terdiri dari tiga sesi dan hanya diselenggarakan sekali dalam satu tahun. Dalam pelaksanaanya, para peserta dibagi menjadi dua kelompok di sudut yang saling berhadapan. Tak ada predikat menang atau kalah dalam ritual perang api ini, yang ada hanyalah keakraban antar para warga dan pemuda yang beradu perang api satu sama lain.  

Di tengah peralihan senja menuju petang, ratusan pemuda dan pemudi berkumpul di Desa Nagi, Gianyar, Bali. Balutan udeng atau semacam ikat kepala dan kamen atau sarung adat Bali bermotif kotak-kotak hitam putih melekat dalam tubuh mereka.  
Diiringi alunan tembang gegenjakan, riuh sorak-sorai semangat mereka terdengar keras bersaing dengan suara gamelan Bali. Mereka bersiap menggelar ritual Mesabatan Api atau lebih dikenal dengan sebutan perang api. Tradisi turun-temurun ini dilangsungkan jelang perayaan Nyepi.  
Tak lama berselang, ritual perang api pun dimulai. Salah seorang pemuda mengawalinya dengan berlari melintasi bara api sambil menendang tumpukan batok kelapa yang tengah terbakar oleh nyala api yang membara.   
Teriakan dari segala penjuru pun terdengar riuh. Lantas para pemuda mulai mengambil batok kelapa yang tengah terbakar api dan saling lempar satu sama lain. Tak ada ketakutan maupun keraguan yang tergambar di wajah para pemuda. Semuanya nampak begitu berani dan bersemangat.  
Semakin malam keseruan kian terasa. Tak ada cahaya apa pun yang menerangi jalannya prosesi Mesabatan Api malam itu. Satunya-satunya sumber cahaya berasal dari nyala api di batok kelapa yang terbakar itu sendiri.   
Semua pemuda tampak menjadi gila, beringas, dan terkesan lepas kendali. Namun tak ada satu pun dari mereka yang marah ataupun tersulut emosinya. Yang ada malah senyum ceria di raut wajah mereka ketika lemparan batok kelapa yang terbakar api berhasil mengenai tubuh sasaran.  
Tujuan dari ritual Mesabatan Api ini adalah untuk mengusir segala energi negatif dari kumpulan roh jahat yang ada di sekitar desa guna menghindari mala petaka dan bencana bagi para warga desa adat. Roh jahat yang dikenal sebagai Butha Kala ini digambarkan sebagai iblis berbadan besar dengan lidah menjulur panjang yang sering divisualisasikam ke dalam patung ogoh-ogoh.  
Ritual Mesabatan Api atau siat geni dalam bahasa Bali ini terdiri dari tiga sesi dan hanya diselenggarakan sekali dalam satu tahun. Dalam pelaksanaanya, para peserta dibagi menjadi dua kelompok di sudut yang saling berhadapan. Tak ada predikat menang atau kalah dalam ritual perang api ini, yang ada hanyalah keakraban antar para warga dan pemuda yang beradu perang api satu sama lain.