Potret Desa Tenganan Pengringsingan yang Warganya Dilarang Poligami

Tak hanya menjadi destinasi wisata yang sip, Desa Tenganan tetap menjaga aturan yang telah diwariskan oleh leluhur melalui awig-awig. Salah satu awig-awig yang masih dilaksanakan hingga sekarang adalah masyarakat Desa Tenganan tidak boleh melakukan poligami.
I Putu Suarjana selaku Tamping Takon Tebenan Desa Tenganan menyebut bahwa memang benar terdapat awig-awig yang mengatur masyarakat Desa Tenganan untuk tidak berpoligami. Awig-awig ini dianggap sebagai bentuk penghormatan kepada perempuan dan menjunjung kesetaraan gender.
Tentu, di balik awig-awig ini terdapat sanksi yang menunggu jika awig-awig ini dilanggar. Menurut I Putu Suarjana, sanksinya berupa perbedaan pada hak dan tugas pokok fungsi. Di Desa Tenganan memiliki tiga lembaga adat, yaitu krama desa, krama gumi pulangan, dan krama gumi. Setiap lembaga adat memiliki hak dan tugas pokok fungsi yang berbeda.
Warga yang berpoligami akan masuk sebagai krama gumi pulangan. Sebagai krama gumi pulangan, masyarakat yang berpoligami tidak memiliki kesempatan untuk menduduki posisi legislatif desa dan menjadi pimpinan desa adat. Selain itu, sebagai krama gumi pulangan memiliki hak yang lebih rendah dibandingkan krama Desa Adat Tenganan.
I Putu Suarjana menyebut bahwa awal mula masyarakat Desa Tenganan berasal dari Gianyar tepatnya dari Bedahulu atau Bedulu. Suatu ketika, Raja Bedahulu bernama Mayadenawa melaksanakan Aswamedha Yadnya dengan kurban seekor kuda berbulu putih bernama Oncesrawa. Pada saat kuda Oncesrawa akan digunakan sebagai kurban, ternyata kuda tersebut hilang. Mengetahui hal tersebut, diperintahkanlah Wong Peneges untuk mencari kuda Oncesrawa yang menghilang.
Wong Peneges membagi rombongan, ada yang mencari ke arah timur, barat, dan utara. Ternyata yang menemukan adalah Wong Peneges yang pergi ke arah timur tepatnya di Pesisir Candi Dasa. Namun, kuda Oncesrawa sudah dalam keadaan mati. Karena telah berhasil menemukan kuda Oncesrawa, Dewa Indra memberikan hadiah kepada Wong Peneges. Sejauh mana bau bangkai kuda Oncesrawa dicium, maka seluas itu daerah yang bisa ditempati oleh Wong Peneges.
Setelah diberikan izin untuk menetap di wilayah dengan luas 917,200 hektar tersebut, Wong Peneges mulai mendirikan sebuah desa di tengah-tengah tiga bukit, yaitu bukit di sebelah timur (bukit kangin), bukit di sebelah barat (bukit kauh), dan bukit di sebelah utara (bukit kaja). Karena lokasinya yang terletak di antara tiga bukit ini, desa ini kemudian dinamai "Tengahan," dan seiring berjalannya waktu, nama ini berubah menjadi "Tenganan."
Kini desa tersebut menjadi tujuan wisatawan.