Lima Tempat Saksi Sejarah Penyebaran Islam di Jakbar

Pertama, ada Masjid Raya KH Hasyim Asy'ari. Banyak orang mengira bahwa Masjid Istiqlal merupakan masjid raya pertama di Jakarta. Namun nyatanya Masjid Istiqlal merupakan milik negara dan Masjid Raya KH Hasyim Asy'ari lah yang menjadi masjid raya pertama di Jakarta.

Masjid Raya KH Hasyim Asy'ari yang dibangun pada masa pemerintahan Ahok ini memiliki daya tampung hingga 12.500 jemaah.  

Diresmikan pada 15 April 2017, Adhi Moersid selaku arsitek merancang Masjid Raya KH Hasyim Asy'ari dengan baluran budaya budaya betawi yang kental, terlihat bangunan atap limas runcing tanpa kubah, ornamen gigi balang pada bangunan, dan pagar langkan juga menghiasi masjid ini. Berada di lokasi yang luas membuat masjid ini juga kerap digunakan untuk berbagai kegiatan ekonomi dan menjadi salah satu tempat isolasi para pasien covid pada masa pandemi.  

Kedua, Masjid Jami An-Nawier menjadi bukti bahwa komunitas Arab pernah berjaya di Batavia. Meskipun berada di kawasan Pekojan masjid ini tak hanya berarsitektur arab, namun juga memiliki perpaduan gaya Timur Tengah, Tionghoa, Eropa, dan Jawa.   

Didirikan pada tahun 1760 masehi, Masjid Jami An-Nawier mulanya memiliki luas 500 m2 kini diperluas hingga hampir 2000 m2.   

Menurut Ketua Pengurus Masjid Jami An-Nawier Ustaz Dikky, di masjid ini juga masih menjaga tempat wudu yang orisinil berbentuk kolam dengan sebagai saksi sejarah umat muslim zaman dahulu.  

Ketiga ada Masjid Langgar Tinggi yang merupakan bangunan musala tua yang masih terlestarikan sebagai cagar budaya hingga saat ini. Populer dengan nama Langgar Tinggi karena memiliki 2 lantai yang dijadikan tempat untuk beribadah.  

Di bangun oleh Syekh Said bin Naum selaku Kapiten Arab pertama di Batavia pada tahun 1829, Masjid Langgar Tinggi menjadi asal usul kampung sekitarnya diberi nama Pekojan. Hal tersebut dikarenakan masjid ini banyak didatangi oleh orang-orang India saat itu. Bangunan Masjid Langgar Tinggi juga menyerap berbagai nilai kebudayaan dari berbagai suku dan etnis. Pilar-pilar pada masjid ini mencerminkan kebudayaan Eropa, penyangga bagian luar diserap dari kebudayaan China, dan penggunaan balok-balok rangka payung yang mencerminkan kebudayaan Jawa.  

Keempat ada Masjid Jami Angke. Berada di Kampung Angke sebagai pusat transit para pedagang dan pendakwah dari mancanegara membuat bangunan masjid ini juga memiliki arsitektur yang unik.   

Masjid Jami Angke yang dibangun pada 1761 masehi itu menunjukan perpaduan budaya Bali, Belanda, Maroko, China, dan Jawa. Ketua Sarpras dan Sejarah Masjid Jami Angke Muhammad Abyan mengatakan bahwa toleransi keberagaman yang ada di lingkungan sekitar masjid pun terlihat sangat erat hingga saat ini.   

Kelima ada, Makam Pangeran Wijaya Kusuma. Makam ini menjadi cikal bakal terbentuknya nama Wijaya Kusuma sebagai salah satu nama kelurahan di Grogol, Jakarta Barat.   

Pangeran Wijaya Kusuma adalah seorang penasehat sekaligus panglima perang pada masa kejayaan Pangeran Jayakarta yang melawan Belanda pada abad ke-17 yang berasal dari Banten. Hingga kini makam Pangeran Wijaya Kusuma masih rutin dikunjungi oleh para peziarah untuk melakukan tahlilan atau pengajian yang biasanya dilaksanakan pada malam Jumat.  

Pertama, ada Masjid Raya KH Hasyim Asyari. Banyak orang mengira bahwa Masjid Istiqlal merupakan masjid raya pertama di Jakarta. Namun nyatanya Masjid Istiqlal merupakan milik negara dan Masjid Raya KH Hasyim Asyari lah yang menjadi masjid raya pertama di Jakarta.
Masjid Raya KH Hasyim Asyari yang dibangun pada masa pemerintahan Ahok ini memiliki daya tampung hingga 12.500 jemaah.  
Diresmikan pada 15 April 2017, Adhi Moersid selaku arsitek merancang Masjid Raya KH Hasyim Asyari dengan baluran budaya budaya betawi yang kental, terlihat bangunan atap limas runcing tanpa kubah, ornamen gigi balang pada bangunan, dan pagar langkan juga menghiasi masjid ini. Berada di lokasi yang luas membuat masjid ini juga kerap digunakan untuk berbagai kegiatan ekonomi dan menjadi salah satu tempat isolasi para pasien covid pada masa pandemi.  
Kedua, Masjid Jami An-Nawier menjadi bukti bahwa komunitas Arab pernah berjaya di Batavia. Meskipun berada di kawasan Pekojan masjid ini tak hanya berarsitektur arab, namun juga memiliki perpaduan gaya Timur Tengah, Tionghoa, Eropa, dan Jawa.   
Didirikan pada tahun 1760 masehi, Masjid Jami An-Nawier mulanya memiliki luas 500 m2 kini diperluas hingga hampir 2000 m2.   
Menurut Ketua Pengurus Masjid Jami An-Nawier Ustaz Dikky, di masjid ini juga masih menjaga tempat wudu yang orisinil berbentuk kolam dengan sebagai saksi sejarah umat muslim zaman dahulu.  
Ketiga ada Masjid Langgar Tinggi yang merupakan bangunan musala tua yang masih terlestarikan sebagai cagar budaya hingga saat ini. Populer dengan nama Langgar Tinggi karena memiliki 2 lantai yang dijadikan tempat untuk beribadah.  
Di bangun oleh Syekh Said bin Naum selaku Kapiten Arab pertama di Batavia pada tahun 1829, Masjid Langgar Tinggi menjadi asal usul kampung sekitarnya diberi nama Pekojan. Hal tersebut dikarenakan masjid ini banyak didatangi oleh orang-orang India saat itu. Bangunan Masjid Langgar Tinggi juga menyerap berbagai nilai kebudayaan dari berbagai suku dan etnis. Pilar-pilar pada masjid ini mencerminkan kebudayaan Eropa, penyangga bagian luar diserap dari kebudayaan China, dan penggunaan balok-balok rangka payung yang mencerminkan kebudayaan Jawa.  
Keempat ada Masjid Jami Angke. Berada di Kampung Angke sebagai pusat transit para pedagang dan pendakwah dari mancanegara membuat bangunan masjid ini juga memiliki arsitektur yang unik.   
Masjid Jami Angke yang dibangun pada 1761 masehi itu menunjukan perpaduan budaya Bali, Belanda, Maroko, China, dan Jawa. Ketua Sarpras dan Sejarah Masjid Jami Angke Muhammad Abyan mengatakan bahwa toleransi keberagaman yang ada di lingkungan sekitar masjid pun terlihat sangat erat hingga saat ini.   
Kelima ada, Makam Pangeran Wijaya Kusuma. Makam ini menjadi cikal bakal terbentuknya nama Wijaya Kusuma sebagai salah satu nama kelurahan di Grogol, Jakarta Barat.   
Pangeran Wijaya Kusuma adalah seorang penasehat sekaligus panglima perang pada masa kejayaan Pangeran Jayakarta yang melawan Belanda pada abad ke-17 yang berasal dari Banten. Hingga kini makam Pangeran Wijaya Kusuma masih rutin dikunjungi oleh para peziarah untuk melakukan tahlilan atau pengajian yang biasanya dilaksanakan pada malam Jumat.