Sebelum ada e-ticket dan aplikasi membeli tiket sesuai KTP, penumpang bisa masuk ke area pemberangkatan. Jadi, siapa saja yang ingin ikut naik ke kereta tanpa membeli tiket ya mudah saja. (Dikhy Sasra/detikcom)
Penumpang bahkan bisa tidak mendapatkan kursi. Mereka berdesak-desakan duduk, tiduran, atau berdiri di lorong gerbong kereta atau di bordes. (Dikhy Sasra/detikcom)
Saat itu, nggak banyak penumpang kereta yang menenteng koper hardcase. Penumpang biasa membawa pakaian, bekal atau oleh-oleh atau barang belanjaan dengan karung atau kardus besar. Kadang pakai tali rafia biar nggak jebol di tengah jalan. Yang penting sampe kampung halaman dengan selamat. (Dikhy Sasra/detikcom)
Kereta zaman dulu tanpa AC. Para penumpang mengandalkan angin dari jendela agar tidak terlalu gerah. Malah kadnag kala jendela tidak perlu dibuka, karena kaca jendela pecah sehingga jendela bolong. (Dikhy Sasra/detikcom)
Waktu tempuh dari dan menuju kota yang sama zaman dulu dan sekarang juga berbeda. Kereta dulu tidak sekencang sekarang. (Dikhy Sasra/detikcom)
Zaman kereta masih ditarik lokomotif uap, suara “tuut-tuut” dan asap hitam jadi soundtrack wajib mudik. (Dikhy Sasra/detikcom)
Pedagang kaki lima juga bebas masuk ke gerbong. Begitu pula dengan pengamen. (Dikhy Sasra/detikcom)
Stasiun penuh sesak tapi hangat. Anak-anak menangis, ibu-ibu ngasih nasi bungkus, dan suara pedagang keliling menyatu jadi irama khas mudik. (Dikhy Sasra/detikcom)
Dulu petugas KAI berseragam putih dengan topi khas. Tegas tapi ramah, selalu siap bantu naikkan karung ke bagasi atau nunjukin gerbong yang benar. (Dikhy Sasra/detikcom)
Aksi penumpang nangkring di jendela pun bukan persoalan aneh kala itu. (Dikhy Sasra/detikcom)