Bermodalkan Kamus Usang, Mbah Anik Cas Cis Cus Ngomong Inggris ke Turis

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Bermodalkan Kamus Usang, Mbah Anik Cas Cis Cus Ngomong Inggris ke Turis

I Dewa Made Krisna Pradipta - detikTravel
Selasa, 02 Des 2025 21:10 WIB
Mbah Anik atau Ni Wayan Suarni saat melayani tamu asing di depan lapaknya di DTW Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Tabanan, dengan masih menggunakan kamus.
Mbah Anik cas cis cus pakai kamus ke turis (Krisna Pradipta/detikBali)
Tabanan -

Bermodalkan kamus bahasa asing yang sudah usang, Mbah Anik dengan percaya diri cas cis cus berbahasa Inggris menawarkan dagangannya ke turis asing.

Di sebuah lapak kecil berukuran 3x3 meter di DTW Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Tabanan, seorang perempuan tua menyapa setiap wisatawan asing yang lewat dengan senyuman ramah.

Ia dikenal sebagai Mbah Anik, atau Ni Wayan Suarni (78), penjual lokal yang tak kenal malu meski kemampuan berbahasa Inggrisnya pas-pasan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dagangan yang ia jajakan sangat sederhana. Nasi bungkus, kopi, teh, air mineral, kacang-kacangan, hingga beras merah dan beras asli Jatiluwih yang menjadi barang termahal di lapaknya.

Tak ada menu modern atau papan harga yang canggih. Hanya ada keberanian dan kerja keras yang mengisi ruang sempit itu.

ADVERTISEMENT

"Ten hundred madam. Cheap, cheap (10 ribu ibu. Murah, murah)," begitu ia menawarkan barang pada turis asing.

Ucapannya terdengar ragu tapi tetap luwes. Pembeli tertawa kecil, lalu mengangguk mengerti. Rahasia keberaniannya bukan kursus bahasa asing.

Ia hanya menggenggam kamus bahasa Inggris lusuh milik cicitnya. Kamus anak kelas 6 SD itu tak pernah jauh dari tangannya. Setiap kali kebingungan menyebut nama barang, ia membuka halaman usang itu dan kembali melempar senyum kepada turis.

"Ada beberapa kata yang saya hafal. Kalau bingung, dibaca lagi kamusnya. Hanya modal berani, mbah cuma orang desa," ujarnya.

Memang tidak semua kata bisa ia kuasai. Kata-kata dasar soal harga dan nama barang menjadi hafalan wajib. Selebihnya, ia mengandalkan intuisi dan bantuan guide wisata.

"Kalau sudah bingung biasanya panggil guidenya. Nanti guidenya yang jual ke tamunya. Mbah cuma tahu yes dan no saja," katanya sambil terkekeh.

Perjalanan Mbah Anik menjajakan dagangan barunya ini belum lama. Lima bulan lalu, ia memutuskan berhenti keliling menjual kain dari rumah ke rumah. Tenaganya tak lagi kuat. Ia memilih membuka lapak kecil di dekat jalur wisata yang ramai, sambil sesekali membantu suaminya bertani di desa.

Keputusan itu membawa rezeki baru. Apalagi saat musim ramai seperti sekarang. Ia bisa mengantongi rata-rata Rp 800 ribu per hari. Namun, pendapatan itu tetap dibayangi kewajiban membayar biaya sewa lapak dan retribusi sampah sebesar Rp 325 ribu per bulan.

"Mbah tidak kuat lagi keliling jual kain, ya mending jualan ini saja. Kalau soal keterbatasan bahasa tidak jadi alasan, cukup modal berani saja," ucap nenek dengan 8 cucu dan 11 cicit tersebut.

Di tengah hamparan sawah hijau yang mendunia dan kamera-kamera turis yang tak henti menyorot lanskap Jatiluwih, semangat Mbah Anik diam-diam ikut jadi daya tarik. Ia tidak hanya menjual barang, tapi juga menyajikan ketulusan dan keberanian yang mungkin jadi kenangan paling hangat untuk wisatawan yang singgah.


-------

Artikel ini telah naik di detikBali.




(wsw/wsw)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads