Kenapa Aceh Tamiang Langganan Banjir? Ini Faktor Penyebabnya!

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Kenapa Aceh Tamiang Langganan Banjir? Ini Faktor Penyebabnya!

Nyimas Amrina Rosada - detikTravel
Selasa, 09 Des 2025 19:05 WIB
Kenapa Aceh Tamiang Langganan Banjir? Ini Faktor Penyebabnya!
Banjir Lautan Kayu' di Aceh Tamiang (Erlangga Bregas Prakoso-Antara)
Aceh Tamiang -

Kabupaten Aceh Tamiang jadi salah satu wilayah yang terkena dampak banjir paling parah. Beberapa desa lenyap dan ribuan warga terpaksa mengungsi.

Kabupaten Aceh Tamiang kembali disorot setelah bencana banjir dan longsor melanda beberapa wilayah di Pulau Sumatera, termasuk Provinsi Aceh. Daerah ini menjadi lokasi bencana banjir paling parah, salah satu desa di Kabupaten Aceh Tamiang, Desa Sekumur lenyap terendam banjir.

Menurut laporan detiknews, banjir di Desa Sekumur hampir mencapai ketinggian 7-10 meter. Ratusan bangunan lenyap terendam banjir, hanya menyisakan bangunan masjid dan pondok pesantren.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sedangkan menurut catatan detikTravel terdapat 280 rumah dan sekitar 1.234 jiwa dilaporkan hilang akibat terendam luapan banjir.

ADVERTISEMENT

Sejak lama, daerah Aceh Tamiang dikenal sebagai salah satu wilayah di Provinsi Aceh paling sering terdampak banjir. Setiap musim hujan, kabupaten ini selalu menghadapi ancaman yang sama, permukaan air naik, desa terendam banjir, dan lumpuhnya akses transportasi.

Terdapat sejumlah faktor yang membuat kawasan ini selalu terjamah oleh banjir, mengutip beberapa sumber informasi terdapat beberapa faktor yang membuat Aceh Tamiang menjadi wilayah dengan risiko banjir tinggi.

Faktor Penyebab Banjir di Kabupaten Aceh Tamiang:

1. Letak Geografis: Dataran Rendah dan Hilir DAS

Kabupaten Aceh Tamiang berada di ujung timur Provinsi Aceh yang berbatasan langsung dengan Sumatera Utara. Sehingga akses menuju Medan dari Aceh Tamiang lebih dekat daripada menuju Banda Aceh, ibu kota Provinsi Aceh.

Sebagian besar wilayah di Kabupaten Aceh Tamiang adalah dataran rendah dan perbukitan. Melansir arsip informasi Pusat Kritis Kesehatan, Kemenkes (2023), Kabupaten Aceh Tamiang berada di posisi hilir sistem Sungai Tamiang dan beberapa anak sungai lain. Lokasi ini secara alami membuat Aceh Tamiang lebih rawan menjadi wilayah yang terdampak banjir ketika permukaan air naik atau ketika air mengalir deras dari hulu sungai.

Situs itu juga mencatat banyak pemukiman dan area pertanian warga berada di dataran rendah yang terletak di sepanjang alur sungai sehingga sangat rawan terdampak banjir.

2. Hujan Ekstrem dan Curah Hujan Tinggi

Dalam beberapa tahun terakhir, pola cuaca di wilayah Sumatera dan Aceh menunjukkan hujan ekstrem yang lebih sering dan intens. Kondisi seperti ini meningkatkan beban aliran sungai sehingga luapan dan banjir besar menjadi lebih memungkinkan.

Sebagian besar wilayah Kabupaten Aceh Tamiang merupakan perbukitan, area bergelombang, dan dataran rendah dengan curah hujan tertinggi mencapai 1681,1 mm dalam setahun, dimana waktu tertinggi curah hujan pada bulan Oktober-Maret.

Melansir informasi situs PKB Kabupaten Aceh Tamiang, kondisi geografis ini membuat sejumlah kawasan memiliki tingkat rawan longsor yang tinggi. Faktor-faktor seperti suhu dan curah hujan, kemiringan lereng, jenis batuan, struktur ekologi, hingga alih fungsi lahan membuat potensi longsor semakin besar.

Beberapa kecamatan yang tercatat memiliki risiko rawan longsor seperti Bandar Pusaka, Sekerak, Tamiang Hulu, dan Tenggulun. Selain ancaman longsor, Aceh Tamiang juga rentan dilanda banjir. Curah hujan yang tinggi dan berlangsung terus-menerus sepanjang tahun membuat debit sungai meningkat dan meluap ke pemukiman.

Kawasan yang sering terdampak umumnya berada di sepanjang pesisir sungai Simpang Kiri, Simpang Kanan, dan Sungai Tamiang. Beberapa kecamatan yang masuk dalam zona rawan banjir yaitu Tenggulun, Tamiang Hulu, Kejuruan Muda, Kota Kuala Simpang, Karang Baru, Manyak Payed, Seruway, dan Bendahara.

Menurut catatan Indeks Risiko Bencana Tahun 2021, Kabupaten Aceh Tamiang berada dalam kategori risiko bencana kelas tinggi dengan skor 187,3.

3. Kerusakan Alam dan Alih Fungsi Hutan

Sebagian besar wilayah Kabupaten Aceh Tamiang berada di kawasan pesisir yang didominasi oleh ekosistem hutan mangrove. Mengutip informasi dari situs resmi UPTD PKKPD, garis pantai di daerah ini memiliki karakter khas karena mangrove tumbuh rapat mulai dari tepi pantai hingga mendekati pemukiman warga.

Kondisi ini menjadikan Aceh Tamiang sebagai salah satu daerah dengan populasi mangrove terbesar di Provinsi Aceh. Namun, perlindungan terhadap ekosistem mangrove di wilayah tersebut terus menurun.

Berbagai aktivitas pembangunan di sepanjang pesisir menyebabkan konservasi hutan mangrove mengalami penurunan. Berdasarkan temuan dalam sejumlah jurnal penelitian, penurunan luas mangrove berdampak langsung pada meningkatnya intrusi air laut ke daratan.

Akibatnya, air sumur menjadi payau karena air laut bercampur dengan air sungai dan produktivitas lahan pertanian warga ikut menurun.

Sejak 2008, keberadaan hutan bakau di Aceh Tamiang semakin terancam karena banyak area dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit. Selain itu, aktivitas dapur arang yang memanfaatkan kayu bakau sebagai bahan baku turut memperparah kerusakan. Pada 2015, tercatat lebih dari 600 dapur arang beroperasi di wilayah ini, sebagian besar tanpa izin resmi.

Pembukaan lahan untuk kebutuhan perikanan dan pertanian juga memberikan kontribusi besar terhadap menurunnya kualitas ekosistem mangrove. Kerusakan ini berdampak langsung pada penurunan pendapatan nelayan karena jumlah ikan dan udang yang tertangkap semakin berkurang.

Tidak hanya itu, penggunaan bahan kimia pertanian memicu pencemaran kawasan mangrove, menghambat sirkulasi air laut, dan berpotensi membuat hutan mangrove tenggelam serta meningkatkan risiko abrasi pantai.

Perubahan penggunaan lahan dari hutan atau area alami menjadi perkebunan, pemukiman, maupun sektor lain mengurangi tutupan vegetasi yang berfungsi menyerap air. Akibatnya, setiap terjadi hujan deras, aliran permukaan meningkat lebih cepat dan debit sungai pun naik secara signifikan.

4. Minimnya Pengelolaan Sungai dan Pengendalian Banjir

Secara ideal, sungai perlu dilengkapi dengan kanal, tanggul, serta sistem drainase yang memadai untuk mengatur aliran air, terutama pada wilayah yang rawan banjir. Dalam dokumen Rencana Strategis Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (SDA), pemerintah sebenarnya telah menetapkan program normalisasi sungai serta upaya pengendalian daya rusak air di berbagai wilayah Indonesia.

Program tersebut mencakup pembangunan tanggul, kanal, hingga pekerjaan normalisasi alur sungai. Namun, kondisi di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua sungai di Aceh Tamiang telah mendapatkan penanganan tersebut.

Akibatnya, ketika terjadi hujan dengan intensitas tinggi dan debit air meningkat, potensi luapan sungai masih sangat besar dan mengancam keselamatan warga.

Upaya Pemulihan Aceh Tamiang Pasca Banjir

Pemerintah diminta untuk mempercepat penanganan bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Pulau Sumatera, termasuk Provinsi Aceh. Seluruh unsur negara dari pemerintah pusat, TNI, Polri, BNPB, pemerintah daerah, hingga rakyat bergerak secara terpadu untuk memastikan pemulihan daerah pasca bencana cepat terealisasi.

Melansir situs Humas Pemkab Wajo, akses transportasi Aceh Tamiang menuju Sumatera Utara yang sempat terputus sudah normal dan distribusi logistik mulai dikerahkan.

Bupati Aceh Tamiang, Armia Fahmi, memastikan bahwa kendaraan berat sudah mulai melewati kawasan Seumadam, salah satu titik yang paling terdampak bencana.

Meski masih terdapat sisa lumpur dan material banjir, akses kini sudah terbuka dan mempercepat distribusi logistik juga alat berat menuju titik-titik terdampak.

"Alhamdulillah jalan nasional wilayah Aceh Tamiang-Sumut sudah normal dan sudah bisa dilewati truk besar," jelas Armia.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video Korban Banjir di Aceh Mengandalkan Barang Jarahan: Bantuan Lamban"
[Gambas:Video 20detik]
(wsw/wsw)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads