Perjalanan Menuju Jantung Papua: Lembah Baliem

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Festival Lembah Baliem 2012

Perjalanan Menuju Jantung Papua: Lembah Baliem

- detikTravel
Kamis, 09 Agu 2012 10:36 WIB
Para pria Suku Dani mengelilingi Kayo, tiang dari kayu yang jadi tempat pemimpin perang menyerukan aba-aba (Sastri/ detikTravel)
Wamena - Perjalanan menuju Lembah Baliem yang terletak di lereng Pegunungan Jayawijaya, Papua, seperti mimpi jadi nyata. Inilah tempat wisatawan mengenal akar dari seluruh budaya yang tersebar di Papua.

Awan pagi itu tak ubahnya kapas raksasa yang mengambang di angkasa. Bandara Frans Kaisiepo di Biak mulai disinari cahaya mentari, berpendar keemasan, menggantikan malam yang sudah habis. Selasa (7/8/2012), saya tiba di Biak dengan perasaan gembira. Ada "butterfly in my stomach", sesuatu yang menggelitik di sanubari, membuat senyum di bibir ini tak kunjung berhenti.

Biak bukanlah tujuan saya kali ini. Bandara Frans Kaisiepo hanya menjadi saksi transit, menyambut sekaligus mengantar saya menuju wilayah yang lebih timur lagi: Papua.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setelah 9 jam penerbangan dari Jakarta dengan transit di Makassar, tujuan pesawat Merpati yang saya tumpangi adalah Bandara Sentani di Jayapura. Setelah itu, maskapai Trigana Air akan menjadi tempat saya mengadu nasib menuju Bandara Wamena.

Dalam tiket berwarna merah bertuliskan "Trigana Air Service", saya mengetahui nomor tempat duduk lewat coretan "37" yang ditulis dengan spidol biru. Bagian dalam pesawat itu cukup mungil, dengan tempat duduk 2-2. Lalu saya bingung, tak ada kursi nomor 37!

Satu-satunya pramugari yang bertugas kali itu memanggil saya untuk menduduki kursi paling depan. Saat itulah saya sadar, ternyata nomor kursi tak berlaku di sini.

Sebelum lepas landas, Kasubdit Wisata Wilayah Maluku & Papua dari Kemenparekraf, Maria Mayabubun, sempat memberitahu saya sesuatu. Apa yang dibisikkannya hanya membuat saya makin tergelitik, pun menjadikan "butterfly in my stomach" ini semakin terasa.

"Nanti kita akan lewat The Gate, satu-satunya jalur masuk dan keluar Wamena. Adanya di sela-sela dua gunung. Kalau kabut, pesawat dari dan ke Wamena nggak bakal bisa tembus. Harus balik lagi," begitu kata Maria.

Alam sedang berkontemplasi untuk menentukan apakah kami bisa lewat The Gate siang itu. Beruntung, langit luar biasa cerah dan awan mengambang sempurna. Tak ada kabut, tak ada mendung. Trigana Air yang saya tumpangi mendarat sempurna di Bandara Wamena.

Angin sejuk membelai kulit. Berada di ketinggian 1.600 mdpl, Wamena bagaikan Lembang di timur Indonesia. Tak ada tembok kaku seperti bandara megah di kota besar. Bandara Wamena lebih mirip warung kopi pinggir jalan yang mungil. Pengambilan bagasi pun dilakukan secara manual, sederhana tapi efektif. Saya makin senang saat melihat senyum tersungging dari bibir para warga.

Selamat datang di Wamena! Kota inilah yang akan menjadi tempat tinggal saya selama beberapa hari ke depan, untuk melihat langsung festival tertua di Papua: Festival Budaya Lembah Baliem.

Hotel tempat saya menginap adalah Baliem Pilamo yang kamarnya nyaman. Setelah istirahat satu malam, tibalah saatnya saya menginjakkan kaki di Lembah Baliem.

Rabu (8/8) adalah hari pertama festival budaya tertua di Papua ini berlangsung. Kebetulan saya sedang tidak puasa, sehingga agenda sarapan pun tak boleh terlewat. Perut sudah penuh, saya beserta rombongan wartawan dan jajaran staf Kemenparekraf pun berangkat pukul 08.30 WIT.

Dari hotel, bus mungil sewaan sudah menunggu. Kata Pak Supir, perjalanan ke lokasi festival hanya memakan waktu setengah jam. Tapi perjalanan itu tidak mulus karena ulah kami sendiri. Beberapa kali kami meminta Pak Supir untuk berhenti, karena lanskap sepanjang jalan sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja!

Jalan mulus beraspal itu berkelok di lembah nan hijau. Di samping kiri dan kanan, berdiri bukit-bukit megah dengan formasi bebatuan yang indah. Tak kalah dengan lanskap alam di Irlandia, atau di wilayah Eropa Utara sana!

Kalau mentari masuk ke sela-sela jendela mobil, saya memejamkan mata untuk merasakan hangatnya. Walaupun kulit digigit udara dingin, saya tak rela mengenakan jaket tebal. Udara bersih seperti ini sangat sayang untuk dilewatkan.

Satu waktu mobil kami melintasi jalanan becek dan berlumpur. Semakin dalam dan sulit dilewati, mengingat hujan yang mengguyur Wamena malam sebelumnya. Namun setelah itu, warna hijau kembali mendominasi. Sesekali kami melewati desa adat dengan rumah-rumah adat Papua, biasa disebut juga Honai.

Tak ada gedung bertingkat, tak ada polusi kendaraan, tak ada hiruk-pikuk lalu lintas. Sinyal telepon genggam seringkali hilang sama sekali. Sekarang, perasaan menggelitik itu semakin terasa, kaki saya tak bisa berhenti bergerak tanda tak sabar.

Setelah beberapa kali berhenti disertai beberapa jepretan kamera, tibalah kami di lokasi Festival Budaya Lembah Baliem. Tepatnya di Distrik Wosilimo, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Sebuah lapangan luas sudah ramai oleh warga setempat, juga turis domestik dan mancanegara. Tribun utama tersedia untuk jajaran staf Kemenparekraf dan Pemda setempat. Di sebelahnya, berjejer tribun untuk turis dan siapa pun yang ingin menyaksikan festival.

Inilah kali pertama saya melihat para pria Papua mengenakan Koteka, atau Hodlim dalam bahasa lokal. Tubuh kekar pria suku Dani dan Lani dipenuhi aksesori, mulai dari kalung berbahan kulit kerang sampai mahkota dari bulu Cendrawasih. Para wanita telanjang dada dan mengenakan Sadli, rok yang terbuat dari jerami.

Mereka siap melakukan berbagai tradisi, mulai dari tari perang sampai bakar batu dan karapan babi. Hadir pula, fotografer dari berbagai negara hilir mudik untuk menangkap momen menarik. Sekarang saya paham kenapa Lembah Baliem disebut sebagai jantung Papua. Di sinilah akar budaya dan tradisi yang melekat lintas generasi, di seluruh pelosok Papua.

"Butterfly in my stomach" itu sudah tak ada lagi. Energi terpendam itu sudah tersalurkan saat saya berlarian dari satu tempat ke tempat lain, membombardir suku setempat dengan jepretan kamera di sana-sini. Baru hari pertama Festival Budaya Lembah Baliem berlangsung, saya bisa merasakan, festival ini akan sangat mengasyikkan!

(shf/shf)

Hide Ads