Menyusuri Labirin Segara Anakan

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

P.D. Indriastuty Pharmantara|5039|JABAR|16

Menyusuri Labirin Segara Anakan

- detikTravel
Jumat, 17 Jun 2011 13:10 WIB
Jawa Barat - Segara Anakan, salah satu tujuan wisata kami hari ini. Sebelum menyusuri Segara Anakan terlebih dahulu kami pergi ke Pelabuhan Saleko, yang beralamat di Jalan Sudirman No. 99, Cilacap. Di Pelabuhan terdapat kantor UPTP Kepelabuhan, Terminal Wisata Bahari Saleko, jejeran warung yang menjual aneka makanan dan minuman, kamar mandi umum, para Penjual ikan (TPI Saleko) hingga para Penjual pisang yang bergerombol di depan kantor UPTP Kepelabuhan.

Yang tak kalah penting dari perjalanan menyusuri Segara Anakan adalah kelihaian menawar harga sewa perahu motor. Banyak perahu motor milik penduduk yang selain digunakan sendiri untuk melaut ada juga yang memang disewakan untuk pengunjung seperti kami. Semakin pintar tawar-menawar harga, semakin murah harga yang didapat. Seperti yang kami alami, harga sewa perahu motor yang seharusnya Rp. 500.000,- ditawar hingga Rp. 300.000 saja untuk 4 orang.

Tepat pukul 10 kami meluncur menuju Segara Anakan. Sebenarnya selain Segara Anakan, kami juga berniat mengunjungi Nusa Kambangan. Sayangnya untuk pergi ke Nusa Kambangan kami harus membayar lebih, bahkan bisa jauh lebih mahal.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Segara Anakan merupakan bagian dari Kabupaten Cilacap; Kabupaten dengan wilayah terluas di Jawa Tengah. Segara Anakan merupakan kawasan laguna seluas 40 ribu hektare di pantai Selatan Pulau Jawa. Di dalamnya terdapat hutan bakau (mangrove) ini seluas 9 ribu hektare. Hutan ini menyimpan begitu banyak keanekaragaman flora dan fauna.

Awal perjalanan kami merasa biasa-biasa saja apalagi melihat kondisi air berwarna coklat dan sampah-sampah berenang bebas. Namun 30 menit kemudian, saat perahu motor sewaan mendekati mangrove yang bersebelahan dengan Nusa Kambangan, kami jadi bengong sendiri. Mangrove terlihat sangat indah diselingi pohon Nipah. Nipah adalah sejenis pohon palma yang memang tumbuh di hutan bakau atau di daerah pasang-surut dekat tepi laut.

Tak hanya hijaunya bakau dan bentuknya yang berjejer rapi, banyak burung aneka warna yang sempat tertangkap mata kami. Sayangnya mereka terganggu suara mesin perahu sehingga kamera tak sempat menangkap keelokan bulu burung-burung itu. Sementara itu di angkasa kami melihat elang terbang seolah mengiringi perjalanan kami di Segara Anakan.

Menyusuri Segara Anakan kami menyaksikan dari dekat jejeran pohon bakau yang membentuk mangrove dan berpapasan dengan banyak perahu nelayan. Dan kami yakin bila dilihat dari angkasa mangrove tersebut membentuk labirin raksasa. Kami sadar sepenuhnya, inilah hutan bakau yang harus kita jaga kelestariannya. Teringat pula perjuangan baba Akong dan istrinya di Maumere. Mereka menanam puluhan ribu bibit bakau berkaca pada pengalaman pahit ketika tsunami merenggut sebagian hidupnya pada tahun 1992 silam.

1,5 jam melintas di jalur antara bentangan Segara Anakan kami tiba di sebuah kampung bernama Kampung Laut. Pemandangan pertama sungguh unik, anak-anak berseragam SMP baru saja pulang sekolah dari pulau seberang. Mereka adalah murid-murid SMPN 2 Kampung Laut, Desa Cungalang, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap. Sontak kami merasa terharu. Dengan kondisi yang sulit (misalnya; pulang-pergi sekolah harus menggunakan perahu untuk menyeberang dan berjalan kaki lagi menuju sekolah) mereka masih punya semangat tinggi untuk sekolah! Tanpa internet untuk bantuan informasi mengerjakan PR, tanpa listrik (karena listrik hanya ada bila pada siang hari matahari bersinar terik; PLTS), tanpa playstation... mereka tak peduli. Yang penting wajib belajar 9 tahun!

Di Kampung Lautnya sendiri kami masih sempat mampir ke rumah ketua Pokmas Kampung Laut yakni Bapak Suma. Sayangnya Bapak Suma sedang keluar rumah sehingga kami disambut oleh istri beliau; Ibu Kartini beserta anak dan mantunya. Ibu Kartini yang saat ini berusia 57 tahun bertutur tentang betapa susahnya kehidupan penduduk Kampung Nelayan sekarang dikarenakan berkurangnya populasi ikan di sekitar mangrove. Banyak pohon bakau yang ditebang dan jelas hal tersebut mengganggu ekosistem di situ. Air laut di sekitar pun terlihat mendangkal. Bila nekat melaut, hasilnya pasti lebih besar pasak dari tiang.
Belum lagi mereka masih kesusahan air. Air bersih didapat dari Nusa Kambangan, diangkut menggunakan perahu motor. Selain itu mereka memperoleh air dengan cara menadah air hujan di tong-tong plastik. Kami tidak bisa membayangkan hidup dengan kondisi sulit air seperti itu. "Pipa air bersih sudah dipasang, tapi ndak jalan itu," tutur Ibu Kartini sambil tersenyum miris. Memang betul di sekitar rumah penduduk terlihat pipa-pipa air yang kondisinya buruk.

Kami memutuskan untuk tidak berlama-lama di Kampung Laut. Setelah berpamitan pada Ibu Kartini, kami kembali menyusuri labirin Segara Anakan menuju Pelabuhan Saleko. Sekali lagi menikmati labirin Sagara Anakan, tentu saja kami tidak keberatan.
(gst/gst)

Hide Ads