Amboi Nasib Si Ambai

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Endro Catur Nugroho|5772|PAPUA 1|27

Amboi Nasib Si Ambai

- detikTravel
Kamis, 24 Mar 2011 10:55 WIB
PAPUA - Kepulauan Ambai di selatan Pulau Yapen, Papua pernah jadi primadona wisata bahari di Kabupaten Yapen. Hanya dua pulau yang berpenghuni. Sedikit saja penduduknya. Hal ini yang membuat taman laut Kepulauan Ambai menjanjikan lokasi snorkeling dan menyelam yang sepi. Bayangkan saja berenang di laut milik sendiri.

Perjalanan kami tanggal 18 Oktober 2010 lalu membuktikan janji tak tertulis ini.

Berada di teluk tenang, terlindung dari laut lepas antara Pulau Yapen dan daratan Papua, Kepulauan Ambai bisa dicapai melaui jalur laut dengan kapal penumpang maupun kapal sewaan. Kapal-kapal kayu ini berangkat dari Pelabuhan Kota Serui. Kapal penumpang berangkat setiap pagi dengan biaya Rp. 100.000. Kapal sewaan biasanya cukup untuk 12 orang dan dapat disewa mulai dari Rp. 2.700.000/hari. Pastikan berangkat cukup pagi, sebisa mungkin sebelum jam 6, agar cukup waktu untuk menjelajahnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perjalanan laut dari Kota Serui diwarnai pemandangan hutan bakau di sepanjang pantai Yapen Timur yang masih sangat rapat. Burung-burung khas tropis seperti camar dan elang laut bisa dijumpai beterbangan di atas kepala.

Perjalanan selama satu jam mengantar ke Kepulauan Ambai. Jika berniat menyelam atau snorkeling, lakukan terlebih dahulu, langsung dari kapal. Jangan lupa bawa seluruh alat snorkeling dan menyelam. Di lokasi ini tidak ada satupun fasilitas pendukung kegiatan wisata bahari.

Ada banyak spot yang bisa dijadikan tempat snorkeling ataupun diving. Bahkan, saking jarangnya wisatawan ke tempat ini, kita mungkin bisa menemukan spot baru dan menamakannya sendiri. Di manapun spot nya, teman baru kami Cornelius Waimuri (Kores) menjamin perairan ini aman dan meyenangkan.

Siang itu kami melempar jangkar kapal di atas gundukan pasir kosong. Pak Arnold Awandare - pengemudi kapal - seide dengan kami untuk tidak membuang jangkar atau membuangnya di tempat tak berterumbu karang. Obrolan kami di awal perjalanan tentang responsible traveling nampaknya cukup membekas di pria bergaya kocak ini.

Hari itu kami tidak menyelam karena memang tidak ada tempat yang menyewakan alat selam apalagi mengatur perjalanan menyelam di Yapen. Untuk menyelam, kita bisa menghubungi operator selam di Biak, misalnya dengan Biak Diving. Jadi, yang kami lakukan adalah snorkeling di sekitar pulau Ambai Besar, pulau terbesar.

Koral keras (hard coral) masih memenuhi dasar laut. Beberapa berwarna-warni. Tak banyak soft coral. Ikan pun demikian. Hanya saja, air sangat jernih. Hampir tidak ada sampah, baik sampah organik maupun sampah manusia. Ternyata, kondisi taman laut tidak seperti beberapa tahun silam. Bapak Erikson Farwas, divemaster senior dri Apuse Diving Club, mengaku pernah memetakan potensi wisata bahari kepulauan ini tahun 2006. Kini, taman laut Kepulauan Ambai sudah tidak seindah masa lalu.

Sayangnya, saat ini belum ada program untuk mengembalikan kejayaan Kepulauan Ambai. Jalan darat yang tertutup sejak gempa yang menimpa Yapen Juni 2010 lalu memperparah keadaan. Makin sedikit wisatawan yang datang ke kawasan ini, berarti ekonomi makin tidak bergerak.

Walau tak lagi semenarik sebelumnya, Kepulauan Ambai tetap saja menarik untuk dilirik. Apalagi buat mereka yang sudah jauh-jauh datang ke Papua, sempatkan datang ke kepulauan ini. Jangan lupa, bantu selamatkan kawasan ini dengan tidak merusak koralnya.
(gst/gst)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads