Hari ini merupakan hari pertama kami menjelajahi Tana Toraja. Secara pribadi, sudah banyak cerita yang didengar tentang tempat yang unik ini, terutama tentang Upacara Kematiannya yang sangat berbeda. Tetapi siapa sangka kalau kami sangat beruntung untuk dapat menyaksikannya secara langsung.
Pagi ini kami mendapat info ada upacara kematian yang sedang dilaksanakan di Desa Karuaya, Toraja Selatan.
Tidak ingin melepaskan kesempatan yang langka ini, kami langsung meluncur ke tempat tersebut.
Sesampainya di sana, kami disambut oleh pemandangan sejumlah babi yang tengah dipanggang di sisi jalan. Cukup mengagetkan dan membuat takjub, membuat kami berhenti sejenak untuk mengambil foto diiringi pandangan penduduk setempat yang tersenyum maklum melihat anak-anak kota yang aneh ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti layaknya seorang tamu, kami pun datang tidak dengan tangan kosong. Satu pak rokok dan 2 kilogram gula pasir menjadi persembahan kami kepada sang tuan rumah, Ibu Margaretha dan keluarga. Yang meninggal merupakan ibu mertua dari Ibu Margaretha sendiri, meninggalnya bulan April tahun ini, yang berarti 6 bulan yang lalu.
Mengapa menunggu 6 bulan baru diadakan upacara pemakaman?
Ya, di Tana Toraja ini selain upacara pemakaman menghabiskan biaya yang luar biasa besar, ritual ini merupakan ajang berkumpul seluruh keluarga, sehingga perlu menunggu waktu yang sesuai. Maka tidak mengherankan, seringkali anggota keluarga yang meninggal, baru diupacarakan berbulan-bulan bahkan mencapai tahunan kemudian. Namun tradisi upacara kematian ini sangat penting dan tidak dapat dihilangkan begitu saja, terlebih karena orang yang meninggal tidak bisa dianggap telah meninggal kalau belum diupacarakan. Sambil menunggu waktu yang tepat, anggota keluarga yang meninggal itu disimpan di dalam Tongkonan dan dianggap sedang sakit, bukan meninggal. Tentu saja jasad orang tersebut diawetkan, kalau dulu masih menggunakan pengawet alami dari alam, sekarang banyak orang yang sudah beralih menggunakan formalin.
Dalam bahasa Toraja, upacara kematian disebut dengan Rambu Solo, yang artinya asap menurun (pesta kematian).
Lawan dari Rambu Solo adalah Rambu Tuka (merayakan kehidupan) seperti contohnya pesta perkawinan. Pak Paulus Pasang Kanan, sang ketua panitia, menjelaskan kalau Upacara Rambu Solo kali ini akan berlangsung selama 6 hari 5 malam, disebut dengan Pa Apa Lima. Dan hari pertama dimana kami berkunjung ini, sedang diadakan acara pembukaan yang disebut dengan Makarudusan (Upacara Menyambut Tamu).
Di pagi hari tadi, jenazah dari ibu mertua Ibu Margaretha diturunkan dari rumah Tongkonan, lalu dipindahkan turun ke lumbung padi untuk kemudian dinaikkan kembali dan diletakkan di Lakkean, teras bagian depan dari Tongkonan. 1 ekor babi disembelih, melambangkan pelepasan nyawa dari orang yang meninggal dan kemudian selanjutnya 1 ekor kerbau disembelih, untuk menyatakan bahwa orang tersebut telah meninggal, bukan lagi sakit.
Setelah itu tamu pun berdatangan, menempati tenda bambu yang telah disiapkan dan dipersilahkan menikmati sajian makanan dari sang tuan rumah. Tari-tarian dipersembahkan untuk menyambut dan menghibur para tamu yang sedang asyik menghisap asap rokok dan menguyah sirih.
Kami pun sempat menikmati hidangan ditemani Ibu Margaretha sendiri. Makanan pembuka berupa kue-kue dan segelas hangat kopi jenis Robusta khas Toraja. Dilanjutkan dengan makanan utama berupa nasi putih dengan Papiong Daging Babi dan Mie Goreng, ditemani tuak khas Toraja yang disebut Balok. Papiong adalah jenis makanan yang dimasak dalam buluh bambu, dapat berupa daging kerbau, sapi, babi, ataupun ayam.
Tiba-tiba terdengar suara sorak sorai para tamu dan semuanya berhamburan ke arah lapangan kosong di antara Tongkonan dan Alang. Ada apa gerangan?
Berlanjut ke artikel selanjutnya Mapasi Laga dalam Upacara Kematian Rambu Solo (bagian 2).Β
(gst/gst)
Komentar Terbanyak
Didemo Pelaku Wisata, Gubernur Dedi: Jelas Sudah Study Tour Itu Piknik
Forum Orang Tua Siswa: Study Tour Ngabisin Duit!
Pendemo: Dedi Mulyadi Tidak Punya Nyali Ketemu Peserta Demo Study Tour