Batavia Airlines jam 10.50 WIB, tapi saya belum makan. Dengan semangat tinggi saya mencari tempat makan yang lumayan murah di bandara. Sekedar informasi buat teman-teman yang punya duit pas-pasan tapi mau makan enak dan murah di bandara, di parkiran motor Bandara Soekarno Hatta dan Bandara Internasional Minangkabau terdapat tempat makan yang lebih murah dibandingkan yang ada di bandara. Biasanya untuk karyawan bandara, tapi penumpang juga banyak kok yang makan disini, cuma banyak yang ga tau aja.
Singkat cerita, pesawat hampir mendarat di BIM sekitar jam 12.30. tapi, dari pengeras suara terdengar bahwa pendaratan akan ditunda dan dialihkan ke Bandara Polonia Medan. Kenapa? Karena baru saja di Padang terjadi Gempa berkekuatan 4,2 SR. Untung saja ga jadi, pesawat tetap mendarat di BIM walaupun ditunda beberapa menit. Dari bandara, langsung naik travel menuju Bukittinggi.
Nah, inti sebenarnya adalah ketika saya beberapa teman jalan-jalan sambil menikmati suasana malam di Jam Gadang. Bagi orang Bukittinggi asli, menghabiskan waktu di pelataran Jam gadang adalah hal yg biasa, mungkin sangat biasa. Namun kali ini saya menemukan pengalaman yang luar biasa ketika asik memotret Jam Gadang. Dahulu, banyak keluarga yang menghabiskan waktu malam nya di pelataran Jam Gadang. Sekedar melepas kepenatan sepulang kerja atau mengajak buah hati menikmati temaramnya lampu kota di bawah Jam Gadang yang menjulang tinggi. Beda dengan sekarang, Jam Gadang berdiri sendiri tanpa tawa renyah anak-anak di sekelilingnya.
Tapi, kali ini ada Keyla, gadis mungil sekitar 1 tahunan sedang asik berlarian ditemani ayahnya. Sesekali hampir terjatuh karena keyla baru belajar berjalan. Keyla berjalan ke arah saya karena tertarik melihat blitz kamera. Senyum indah terlihat dari bibir mungilnya ketika beberapa kali saya foto menggunakan blits. Tak hanya Keyla, banyak keluarga lain yang masih setia bermain di Jam Gadang yang mulai ditinggalkan kaum muda.
Di sudut lainnya, seorang bapak paruh baya ditemani lampu strongkeng nya (petromaks) mulai mengantuk karena kacang rebus nya tak ada yang membeli. Diatas gerobak tua, si kacang rebus mengeluarkan asap hangat untuk menarik pembeli. Namun, tak ada lagi yang suka dengan makanan tradisional ini. Sangat berbeda dengan beberapa tahun lalu, ketika masih kecil saya diajak papa nonton layar tancap di pelataran Jam gadang. Layar berukuran 3x2 meter yg diletakkan di atas mobil bertuliskan KB. Waktu itu saya pun tak tau apa itu KB. Yang saya tau adalah kacang rebus selalu menemani saya ketika film diputar. Namun sekarang, kacang rebus hanya menjadi penghias Jam gadang yang tidak lagi digemari. Di sisi lain, bapak penjual kacang rebus masih semangat memompa lampu strongkeng nya ketika kaus nya mulai redup. Dan yang ia inginkan hanya kacang rebusnya terjual habis seperti dahulu.
Tak ada lagi suasana Jam Gadang seperti dulu, tak ada lagi senyum penjual kacang rebus yang dagangannya habis, dan tak ada lagi mobil KB yang menyediakan tontonan gratis. Yang ada hanya bangunan-bangunan tinggi dan pusat perbelanjaan yang rame dikunjungi pembeli. Sementara pelataran Jam Gadang kosong melompong. Hanya ada Keyla dan si penjual kacang rebus yang mulai dingin tak berasap lagi.
Saya dan teman-teman pun berjalan meninggalkan Jam Gadang menuju Kampung Cina, ditemani lampu-lampu toko yang semakin redup dan jalanan yang kosong tanpa lalu-lalang kendaraan.
(gst/gst)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum