PESONA DIBALIK KEBERSAHAJAAN KOTA GURINDAM

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

PESONA DIBALIK KEBERSAHAJAAN KOTA GURINDAM

- detikTravel
Rabu, 31 Okt 2012 19:18 WIB
Indonesia, Kepulauan Riau, Bintan - Rasa penatku hilang saat kulihat lampu-lampu menghiasi bagai dalam mimpi medio November lalu, Padahal selepas magrib aku harus menyambung nyawa menyebrangi lautan dengan sebuah sekoci, karena aku terlalu berlama-lama di Batam, sesampai di Teluk Punggur Ferry sudah tidak ada lagi, kutanyakan pada seorang petugas pelabuhan disana, β€œBang masih ada Kapal ke Bintan?’. β€œWaduh tidak ada lagi bang, kalau mau naik Sekoci ada” jawabnya. ”Tidak apa saya mau” jawabku lagi dengan perasaan berdebar, karena jangankan naik sekoci di negeri orang, di negeri sendiri naik Boat nelayan aja belum pernah ,β€œCan ku Ulak Nyawoeng hinoe sang” (Alamat mati aku disini) pikirku dalam hati. Langit gelap dan hujan gerimis mulai mendera. Riak kecil di selat itu, tiba-tiba, menjadi gelombang yang merisaukan, sesekali bunyi Alarm pada Sekoci. Kutanyakan pada nakhoda” Bunyi apa bang?’ . β€œBunyi alarm. Kalau nabrak karang di pasti bunyi bang” jelasnya padaku. Aku hanya berdoa dan pasrah, semoga aku selamat sampai di pulau Bintan.Setelah sebelumnya menyabung nyawa dengan sebuah Kapal Tua β€œKM SINABUNG” dari Belawan Sumtera Utara menuju Pelabuhan Sekupang Batam.
Sampai di Pelabuhan Sri Bintan aku segera turun dari Sekoci dan dan naik ke dermaga, "Ke Kota Bang?” tanya seorang supir Taxi padaku." Iya" jawabku singkat, pria setengah baya menyapa ketika aku tiba di ujung dermaga, sambil mengangkat barang bawaanku. Setengah jam perjalanan sampailah aku pada sebuah Hotel di sekitarJjalan Potong Lembu, Padahal aku sangat bernapsu untuk segera keliling-keliling Kota Bintan malam itu. Kurungkan niat, kurebahkan badan, malam itu aku hanya melihat-lihat suasana dalam Hotel, rata-rata tamuanya adalah orang Tionghoa, mungkin mereka dari Singapore atau Malaysia.
Ada yang bawa pasangan sendiri, ada juga pasangannya orang lokal, bahkan apek-apek bias gandeng dua agadis sekaligus. Ah.. itu uurusan mereka pikirku.Besok pagi aku harus ke Pulau Penyengat, aku tidak mau buang-buang waktu, aku masih penasaran dengan Pulau penyengat yang hanya kudengar-dengar cerita dari mulut kemulut. Pagi-pagi aku segera bergerak ke Pelabuhan Penyengat,bot pompong meubanja (berjejer dan berbaris rapi) di sisi pelontar -bangunan seperti lorong penghubung antara daratan dan dermaga- yang menjorok ke Selat Penyengat "Satu orang Rp 5.000,00”, tetapi penumpang yang ada baru lima orang. Harus menunggu sampai 21 orang, baru bot pompong baru berangkat" kata seorang penjual tiket."syarat" 21 penumpang itu pun terpenuhi. Satu per satu, orang-orang menaiki bot pompong. Perahu panjang bertenaga mesin yang terbuat dari kayu dan diberi sayap kayu untuk pengimbang itu pun melintas selat meski gelombang yang datang cukup tinggi. lima belas menit berselang, sampailah aku di seberang* di tanah kelahiran penyair kenamaan, Raja Ali Haji.
Di Dermaga Pulau Penyengat, Aku disambut sederetan becak bermotor (betor). "Ayo, Bang. Keliling pulau, cukup Rp 20.000,00," ujar seorang pengemudi bentor. Di pulau seluas 3,5 km persegi itu, bentor memang satu-satunya angkutan umum. Tak ada becak, angkutan kota, apalagi taksi.’Tidak Bang, aku mau jalan kaki saja” jawabku sambil melihat-lihat sekeliling. Setelah membeli sebotol air mineral ukuran sedang, aku melangkah perlahan mengikuti orang-orang yang kebetulan berpas-pasan denganku.Ya, ku ikuti saja kemana mereka pergi, akhirnya aku sampai pada makam Raja Ali Haji, dari hasil wawancara singkat dengan seorang penjaga makam,umumnya orang yang datang kesini ada hajatan, biasanya orang berjalan berpasangan, menurut mereka setelah ke Pulau ini, kalau tidak jadian ya putus baik dengan pacarnya atau dengan suaminya .Aku hanya mengangguk-ngangguk saja mendengar penjelasannya panjang lebar.
Meski dekat dengan Pulau Bintan, suasana Pulau Penyengat begitu sunyi. Berdasarkan data, jumlah penghuni pulau itu tak lebih dari 2.300 jiwa. Jumlah itu jauh berkurang dibandingkan dengan dekade-dekade sebelumnya. "Dulu, jumlah penduduk pulau ini lebih dari lima ribu jiwa. Karena iklim bisnis di sini tak mendukung, lebih dari setengah penduduk pulau memutuskan pindah, terutama orang-orang keturunan Cina. Ada yang ke (Tanjung) Pinang, ada juga yang ke Batam. Sekarang, tinggal satu keturunan Cina yang masih bertahan," ujar Raden Nurhasyim (67), juru kunci kompleks pemakaman raja-raja Riau di pulau itu. Selain itu, Pulau Penyengat tak memiliki jalan raya. Yang ada hanyalah jalan mungil selebar satu meteran yang hanya cukup "menampung" satu bentor dan satu sepeda motor.
Jalan mungil itulah yang menghubungkan satu objek wisata ke objek wisata lainnya di pulau itu. Raden Nurhasyim , juru kunci. Di sana, menjelaskan bahwa disini terdapat makam Raja Hamidah, akrab disebut Engku Putri, pemegang regalia kerajaan di Pulau Penyengat. Selain Makam terdapat makam peng-gubah "Gurindam Dua Belas", Raja Ali Haji. Dari sana, perjalanan kuteruskan ke kompleks makam Yang Dipertuan Muda Riau VI Raja Jaa-far (memerintah tahun 1806-1831) dan Yang Dipertuan Muda Riau Vin Raja Ali Marhum Kantor (memerintah tahun 1844-1855). Lantas, kami mengunjungi balai adat. Di sana, di bawah bangunan itu, terdapat sumur tua yang dipercaya penuh khasiat. "Banyak yang datang ke sini mencari lantaran. Agar dimudahkan usaha, dimu-dahkan jodoh, dan disembuhkan penyakit," ujar Nurmahmud (73), juru kunci balai adat. Benar adanya dan perkataan Raden Nurhasyim benar juga. Tak lama di sana, aku meneruskan perjalanan.
Aku mengunjungi Istana Kantor, tempat dahulu Raja Riau mengendalikan kerajaan. Sayangnya, tak banyak pengetahuan yang bisa diperoleh, kecuali keadaan istana yang sudah demikian rapuh. "Sekarang, istana ini lebih banyak ditutup.” Kata seorang pengunjung lain yang sudah biasa ke Pulau Penyengat. Tak jauh dari istana,pada sebuah bukit rendah, di balik sebuah kompleks pemakaman keluarga kerajaan, terdapat sebuah benteng peninggalan kerajaan. Itulah Benteng Bukit Kursi. Sayangnya, benteng itu tinggal sepotong. Kami tak bisa membayangkan bagaimana sesungguhnya bentuk benteng itu sesungguhnya, dulu. "Kalau memang segini, pantas saja Kerajaan Riau kalah. Bagaimana bisa melindungi istana kerajaan dari gempuran Belanda dengan benteng sekecil ini. lihat saja, pulau ini begitu terbuka, dari segala arah. Musuh akan dengan sangat mudah menyerang inti kekuasaan," pikirku, berbeda dengan benteng-benteng pertahan di aceh yang menyulitkaa belanda, karena ditanami bambu dan rata-di seberang sungai yang sulit dijangkau seperti Benteng Batee Iliek, Bireun (Aceh). Kini Pulau Penyengat menciptakan ironi.
Ia seakan dibiarkan "tenggelam" untuk sekadar menjadi sebuah romantisme yang rapuh, lapuk, dan menuju kematian. "Perhatian pemerintah sangat kurang dalam merawat cagar budaya ini. Padahal, pulau ini butuh perhatian secara kontinu," kata Raja Malik Afrizal (38), salah seorang keturunan Yang Dipertuan Muda Riau yang masih tinggal di Pulau Penyengat, saat kujumpai di Balai Adat Pulau Penyengat.” ……”Gedung dengan arsitektur tradisional Melayu Kepulauan ini dijadikan Balai Adat untuk memperagakan berbagai bentuk upacara adat Melayu. Letaknya di tepi pantai menghadap laut lepas, amatlah mempesona.
Di dalam gedung ini dapat dilihat tata ruangan dan beberapa benda kelengkapan adat Resam Melayu atau beberapa atraksi kesenian yang diadakan untuk menghormati tamu tertentu”. Ucapan Malik bukannya tanpa alasan. Bayangkan saja, meski berstatus cagar budaya, pasokan. Pemandu Pulau Penyengat sangatlah minim. Selama ini, para pengunjung tak dikenakan biaya masuk. Mereka bebas masuk dan melihat seluruh peninggalan yang ada. Padahal, berdasarkan catatan, setiap akhir pekan, pulau itu dikunjungi sedikitnya oleh lima ratus orang. Pengunjung semakin ramai ketika memasuki libur hari besar keagamaan, terutama Idulfitri dan Iduladha. "Lebih dari seribu orang," ujar Maimunah seorang pedagang Craft dan buku-buku tentang Riwayat Pulau Penyengat dan Gurindam XII Karya Raja Ali Haji yang dicetak oleh Unri Press.
Malik juga mengakui, Pemerintah Kota Tanjung Pinang memang mengalokasikan dana buat pengelolaan Pulau Penyengat. Namun, setiap tahun, jumlahnya tak pasti. Nah, satu-satunya sumber pendanaan yang pasti buat pulau itu hanyalah dari hasil urunan persatuan pengemudi bot pompong. Mereka menyisihkan uang Rp 1.000,00 dari ongkos setiap penumpang dari/ke Pulau Penyengat. "Kami, para pemilik bentor, juga menyisihkan pendapatan untuk pemeliharaan situs di pulau ini," tambah malik lagi. Jam menunjukkan pukul 12, aku segera bergegas menuju Mesjid Pulau Penyengat, Namanya Masjid Raya Sultan Riau.
Orang biasa menyebutnya dengan Masjid Pulau Penyengat. Ada juga yang menyebut Masjid Putih Telur,karena menurut beberapa penduduk disini Mesjid ini dibangun dengan putih telur sebagai bahan perekat pengganti semen. Warna kuning tampak dominan. Ada 13 kubah di masjid itu yang susunannya bervariasi. Ditambah dengan empat menara yang masing-masing memiliki ketinggian sekitar 19 meter, dan bubung yang dimiliki masjid tersebut sebanyak 17 buah. Angka ini diartikan sebagai jumlah rakaat shalat. Masjid yang tercatat dalam sejarah sebagai merupakan satu-satunya peninggalan Kerajaan Riau-Lingga yang masih ada ini berukuran sekitar 54 x 32 meter. Ukuran bangunan induknya sekitar 29 x 19 meter. Keindahan arsitektur masjid sangat unik. Masjid ini bergaya India berkaitan dengan tukang-tukang dalam membuat bangunan utamanya adalah orang-orang India yang didatangkan dari Singapura.
Sejarahnya, pada tahun 1805 Sultan Mahmud menghadiahkan pulau Penyengat kepada isterinya Puteri Raja Hamidah. Bersamaan dengan itu, dibangun Masjid Sultan. Cuma waktu itu, masjid hanya terbuat dari kayu. Kemudian, keturunan kerajaan setelah itu, Raja Ja'far membangun Penyengat sekaligus memperlebar masjidnya. Pembangunan masjid secara besar-besaran dilakukan ketika Raja Abdul Rahman memegang jabatan Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga (1832-1844) menggantikan Raja Ja'far. Tak lama setelah memegang jabatan itu, pada 1 Syawal tahun 1284 H (1832 M) atau 165 tahun yang lalu, setelah usai shalat Ied, ia menyeru masyarakat untuk bergotong royong membangun masjid. Dalam gotong royong itulah, masyarakat membawa berbagai perbekalan. Termasuk telur. Karena berlimpah, banyak putih telur yang tidak habis dimakan. Dan oleh pekerja, putih telur itu dijadikan campuran adukan.
Menurut mereka, dengan campuran putih telur, bangunan akan lebih kokoh dan tahan lama. Dari situlah, masyarakat sekitar juga menyebut masjid penyengat ini dengan masjid putih telur.Selain bangunan yang indah, masjid Penyengat menyimpan mushaf Alquran tulisan tangan yang diletakkan dalam peti kaca di depan pintu masuk. Mushaf ini ditulis oleh putera Riau yang dikirim belajar ke Turki pada tahun 1867. Namanya, Abdurrahman Istambul. Ada Alquran tulis tangan lain yang ada di masjid. Namun, tak diperlihatkan kepada umum karena khawatir sudah terlalu rentan. Ditulis pada tahun 1752. Uniknya, di bingkai mushaf yang tidak diketahui penulisnya ini terdapat tafsiran-tafsiran dari ayat-ayat Alquran.
Bahkan, terdapat berbagai terjemahan dalam bahasa Melayu, kata per kata di atas tulisan ayat-ayat tersebut. Mushaf ini tersimpan bersama 300-an kitab dalam dua lemari di sayap kanan depan masjid. Kebetulan aku disini hari jumat, jadi aku bisa melaksanakan shalat jum’at, ada yang aneh menurutku disini,aneh bukan bukan dalam arti yang negatif, mungkin ada kebiasaan lain saja, setelah selesai sahalt aku melihta kebelakang dan disana kulihat ada jemaah perempuan yang melaksanakan shalat jum’at.tapi agak jauh dari saf laki-laki dan pada sebuah Balee (Balai) agak kecil tidak jauh dari belkang Mesjid.
Setelah Shalat Jum’at aku segera ke dermaga untuk segera kembali ke Kota Bintan, sebelum pulang aku juga sempat membeli oleh-oleh khas Pulau Penyengat,yaitu berupa sebuah Kopiah Melayu, aku beli dua karena satu lagi akan kubawa pulang sebangai oleh-oleh untuk orang tuaku, selain kopiah aku juga membeli kerajinan dari Cangkang Kerang Laut Berupa Asbak Rokok dan Gantungan Kunci.
Tepat pukul 5 aku kembali mendarat ke Pulau Bintan setelah hampir 15 menit dilambung ombak dalam bot pompong. Kucari Ojek dan aku kembali ke Hotel,sesat d iHotel, setelah mandi aku menuju ke kawasan Kuliner di Jalan Potong Lembu, ya kalau di Banda Aceh semacam Rex lah. Disini banyak disajikan Seafood, aku hanya memesan ikan bakar dan sebotol minuman kaleng Susu Soya product Singapore, di waktu kali lain aku kadang hanya memesan minuman kaleng lain yang bergambar burung Walet, minuman kaleng sangat murah kalau di daratan bias dua kali harganya, ya hampir-hampir sama harganya dengan The Obeng (sebutan lain orang Kepri untuk Teh Manis tanpa es).
Malamnya aku bertemu dengan seorang seniman dan juga penyair yang sangat terkenal di Bintan,Hoesnizar Hood namanya, aku bahkan diajak ke rumahnya yang juga sekretariat dan tempat latihan Seni .Lelaki yang lahir di desa Sungai Ungar – Kepulauan Riau, 11 Desember 1967, Ia mengawali aktifitasnya sebagai seorang pembaca puisi, ia banyak berkesempatan membacakan puisi-puisinya di berbagai daerah di Indonesia dan juga luar negeri seperti Singapura serta Malaysia. Kumpulan puisinya β€œKalau –Tiga Racik Sajak”-1997 dan β€œTarian Orang Lagoi”-1999, serta beberapa antologi puisi, antara lain bersama penyair Malaysia ; Makam -2000 dan Tersebab Senandung Laut Hitam antologi penyair Kepulauan Riau-2002. Ia mendirikan sebuah komunitas seni yakni Pusat Latihan Seni Sanggam di Tanjungpinang yang lebih berorientasi pada berbagai seni pertunjukan dengan akar budaya Melayu dan banyak mengikuti kegiatan kesenian seperti : Pesta Gendang Nusantara di Malaka, Singapore Folk Fiesta di Singapura, dan International Folklore di Prancis serta Gamelan Festival – Yogyakarta, Festival Puisi Indonesia – Yogyakarta, Pergelaran seni GWK – Bali, Gelanggang Tari – Padang, Ecological Arts Gathering – Toba Sumatera Utara, dan Chingay Parade of Dream – Singapura. Puisi Dongeng Pasir-nya pernah menjadi ilham sebuah sinetron kerjasama Dewan Kesenian Kepulauan Riau dengan RCTI tahun 2003. dan mendapat Anugerah Kebudayaan dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata untuk kategori film tahun 2004. Sejak tahun 2004 ia dipercaya menjadi Ketua Umum Dewan Kesenian Provinsi Kepulauan Riau.
Kami banyak berbicara tentang budaya masing-masing sesekali dia mengarahkan pembicaraan ke ranah Politik. β€œ Wah kami kedepan mungkin perlu belajar ke aceh, disana orangnya hebat, kalau juru runding GAM mau, kami akan minta bantu untuk membantu orang Bintan” katanya berseloroh. "Ini Tanjung Pening Dek, bukan Tanjung Pinang, disini orang ngomong temberang siang malam” ulasnya lagi. Aku hanya diam mendengar ceritanya, seniman yang sekarang menjadi anggota dewan ini, sebelumnya juga pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Kepulauan Riau, juga aktif menulis di Batam Post pada halaman temberang, ya semacam kolom cang panahnya HARIAN ACEH lah, lelaki ini juga sangat kontroversial kadang-kadang sesekali dibenci karena mengkritik Melayu, Misalnya Tulisan "Melayu hanya pandai bercerita" tidak bisa diterima oleh tokoh-tokoh adat melayu kepri.Sekitar dua jam di rumahya aku mohon pamit, aku sempat menghadiahi dia sebuah Rencong.
Setelah hampir dua hari dua malam aku mendengar cerita saja, benar saja kata bang Hoesnizar Hood yang juga adik mantan Gubernur Kepri Huzrin Hood, bahwa disini orang sanggup bercerita sehari semalam, akhirnya membuatku pening di Tanjung Pinang, semoga saja Tanjung Pinang tetaplah Tanjung Pinang dan Budaya Melayu tetap terjaga walau tergerus oleh zaman, semoga kedepan masih ada otak-otak (Daging Ikan Tengiri yang dibakar dilapisi daun pisang) dan tentu saja nasi lemaknya, tidak lupa tabikku untuk Tarian Lenggang Cecak.Selamat Tinggal Kota Gurindam
(gst/gst)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads