Itulah yang penulis alami ketika pertama kali mendarat di bumi Timor bulan Februari lalu. Dari atas pesawat menjelang tiba di Bandara El Tari Kupang, warna hijau mendominasi daratan Timor. Tampak Waduk Tilong penuh dengan air di musim penghujan ini untuk menghidupi warga Kupang yang memang sulit air.
Setelah menyelesaikan berbagai urusan kantor di Kupang, penulis ditugaskan untuk survey lokasi di wilayah Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Sepanjang perjalanan menyusuri jalan Trans Timor dari Kupang ke So'e (Ibukota Kabupaten TTS), kondisi jalan relatif sepi dan di kiri kanan tanaman jagung tampak mendominasi. Maklum, jagung adalah makanan pokok masyarakat Timor seperti yang kita ketahui dari pelajaran waktu SD dulu. Kabupaten TTS sendiri memang telah mendeklarasikan sebagai lumbung jagung NTT, bahkan nasional. Pemandangan indah mulai terasa setelah melewati perbatasan Kabupaten Kupang dengan TTS. Jalanan mulai menanjak dan berliku, diiringi oleh pemandangan hijau yang dibelah oleh sungai Noelmina.
Dua jam perjalanan, penulis tiba di So'e, kota yang mirip Lembang karena letaknya di pegunungan dan hawa dingin mulai terasa menusuk tulang. Kota ini dikenal sebagai salah satu tempat leyeh-leyeh di akhir minggu terutama bagi warga Kupang yang sudah penat bekerja di tengah hawa panas menyengat. Karena hari telah siang, kami menyempatkan dulu untuk makan di RM Lamongan. Rada aneh juga karena ternyata penjual makanan disini adalah orang Jawa. Ternyata setelah ngobrol sana sini, orang lokal kurang bisa masak sehingga boleh dikatakan sebagian besar warung makan dikuasai oleh orang Jawa dan masakan Padang di wilayah Pulau Timor, tidak hanya di So'e saja.
Setelah makan, perjalanan dilanjutkan menuju kota Kefamenanu, ibukota Kabupaten TTU. Kondisi jalan relatif mulus dari Kupang hingga ke Kefa, singkatan dari kota Kefamenanu, kecuali di beberapa tempat sedang dilakukan perbaikan jalan yang longsor. Mata menjadi segar sepanjang perjalanan karena sayang melewatkan pemandangan alam di kiri kanan jalan. Satu setengah jam kemudian penulis tiba di Kefa, dan langsung menuju Hotel Ariesta yang terletak di dalam kota dekat kantor Bupati. Kami beristirahat untuk bekerja keesokan harinya.
Kota Kefa relatif lebih sepi kondisinya dari Kota So'e, apalagi Kupang. Apalagi setelah jam 7 malam, boleh dikatakan Kefa menjadi kota tidur. Tidak ada aktivitas warga di malam hari, bahkan kongkow sekalipun, kecuali hanya mencari makam malam saja. Hal ini amat berbeda dengan wilayah barat Indonesia, dimana warganya senang kongkow sambil ngopi di malam hari.
Esoknya kami bergerak lagi menuju Wini, kota perbatasan dengan Timor Leste di District Oecussi, sebuah wilayah enclave yang terpisah dari induknya. Berhubung ada jembatan putus, kami terpaksa berputar melalui kota Atambua, ibukota Kabupaten Belu. Satu setengah jam kami tempuh perjalanan hingga tiba di kota tersebut. Berbeda dengan dua kota sebelumnya, Atambua relatif ramai karena merupakan kota terakhir sebelum perbatasan dengan Timor Leste. Di sini bahan bakar agak sulit diperoleh, karena bersaing dengan jerigen yang ditengarai banyak diselundupkan ke negeri tetangga yang harga BBM nya dua kali lipat dari negeri kita. Untungnya di Kefa bensin sudah diisi penuh, sehingga perjalanan menjadi lancar.
Perjalanan dilanjutkan menuju Atapupu, dan menjelang pelabuhan ada pertigaan, kami belok ke kiri, ke arah Wini melalui Ponu, sebuah Kota Terpadu Mandiri yang dibangun oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Sayangnya, konsep kota terpadu mandiri yang dicanangkan tidak sesuai dengan kenyataan. Yang tertinggal hanyalah monumen kota terpadu, sementara kondisinya jauh dari layak untuk dikatakan sebuah kota, pasar yang dibangun sepi, ilalang tumbuh dimana-mana menutupi bangunan yang hampir rusak tak terawat. Namun setelah melewati Ponu, perjalanan menjadi lebih mengasyikkan karena kita menyusuri pantai yang langsung berhadapan dengan bukit, seperti di Semarang sehingga nampak pemandangan hijau nan indah menawan. Perbukitan di Timor agak berbeda dengan daerah lain, karena terbentuk dari karang yang menonjol akibat turunnya permukaan laut. Pulau Timor sendiri boleh dikatakan merupakan atol terbesar, karena terbentuk dari karang yang ditutupi oleh tanah.
Dua jam perjalanan menjadi tak terasa melihat indahnya pemandangan bukit yang dipadu dengan pantai. Beberapa kali kami berpapasan dengan kendaraan berplat Timor Leste yang hendak menuju ke wilayah induknya dari enclave Oecussi. Kendaraan mereka bagus-bagus dan rata-rata mobil sport atau mobil gunung seperti P****o, F******r, tidak ada mobil sekelas A****a atau X***a. Menurut cerita penduduk setempat, sebagian penduduk Timor Leste memang kaya dan harga mobil mewah tersebut jauh lebih murah dibanding negeri sendiri. Akhirnya tiba juga di Wini, kota pantai yang berbatasan langsung dengan District Oecussi. Mumpung di perbatasan, kami menyempatkan diri untuk berfoto ria di depan gerbang perbatasan. Namun kondisi pintu perbatasan sangat jauh berbeda. Bangunan check point Timor Leste terlihat baru dan terkesan mewah, sementara di Indonesia terlihat ala kadarnya dan kurang tertata rapi. Barisan prajurit mengawasi ketat wilayah perbatasan tersebut, dan mereka dirotasi enam bulan sekali untuk mengawal wilayah itu.
Selepas menuaikan tugas negara, perjalanan pulang kembali menyusuri rute keberangkatan tadi. Namun di pertigaan Atapupu, kami belok kiri menuju perbatasan Timor Leste di Motaain. Di sini kondisi perbatasan kita lebih baik dan lebih terawat, walaupun disana sini jalan dan tempat parkir di check point rusak berat. Untuk sekedar menyeberang masuk ke wilayah Timor Leste, tidak wajib menggunakan paspor, tapi harus dikawal oleh tentara perbatasan kita. Setelah bernegosiasi dengan tentara, mereka akhirnya bersedia mengantar kita hingga ke Batugade, kota terdekat yang boleh dikunjungi tanpa paspor.
Masuk ke wilayah Timor Leste tidak sesulit yang dibayangkan. Pengawal kita rupanya sudah TST dengan penjaga perbatasan mereka, hingga dengan lancar kita menembus batas menuju kota Batugade. Ternyata kondisi perdesaan di Timor Leste tidak jauh berbeda dengan tetangganya. Masih tampak pedagang bensin eceran, ojek yang bahkan motornya sebagian masih berplat nomor Indonesia, warung-warung kecil, serta masyarakat rural seperti yang ada di negeri kita. Bahkan barang-barang yang dijajakan sebagian besar merupakan produk negeri kita, kecuali minuman keras yang diimpor langsung dari Aussie atau Amrik. Banyak warga kita yang ke Batugade hanya untuk membeli minuman keras, karena harganya lebih murah dan mudah didapat dibandingkan di wilayah Indonesia.
Setengah jam kami berputar-putar dan berfoto ria di sekitar Batugade, sebelum kembali ke pangkuan negeri pertiwi. Setelah berhenti sebentar di perbatasan untuk foto-foto lagi, kami melanjutkan perjalanan menuju Kefa melalui Atambua. Tak terasa perut keroncongan, setiba di Atambua tak lupa mampir, lagi-lagi ke RM Padang yang lidahnya cocok dengan selera. Malam hari kami tiba kembali di Kefa, untuk melanjutkan tugas negara keesokan harinya.
Tiga hari kami berkeliling Kabupaten TTU, waktunya kembali ke Kupang melalui TTS. Jalan yang ditempuh agak berbeda, melalui wilayah Eban yang terletak di kaki Gunung Mutis, gunung tertinggi di wilayah Timor bagian barat. Di wilayah inilah tanah tanpa karang baru benar-benar terlihat. Di Pulau Timor, hanya wilayah Gunung Mutis dan sekitarnya yang dasarnya merupakan tanah murni, selebihnya adalah karang yang tertutup tanah. Disinilah sebenar-benarnya pemandangan indah yang tidak ada duanya di tempat lain. Selain indah juga masih perawan alias belum dijamah oleh tangan-tangan jahil yang membangun vila dan merusak pemandangan alam.
Akhir kata, perjalanan hampir satu minggu terlalui sudah dengan kesegaran jiwa dan raga. Walaupun lelah, tapi nikmatnya tiada tara. Sekedar saran, apabila Anda sudah bosan dengan destinasi petualangan yang sudah dikenal seperti Bali, Lombok, Raja Ampat, maka Pulau Timor layak untuk dikunjungi.
(gst/gst)
Komentar Terbanyak
Forum Orang Tua Siswa: Study Tour Ngabisin Duit!
Pendemo: Dedi Mulyadi Tidak Punya Nyali Ketemu Peserta Demo Study Tour
Study Tour Dilarang, Bus Pariwisata Tak Ada yang Sewa, Karyawan Merana