Koyasan, Kota Sakral di Negeri Sakura yang Mendunia
Kamis, 29 Agu 2019 15:36 WIB

Nydia Susanto
Jakarta - Koyasan, yang berarti Gunung Koya, terletak di Prefektur Wakayama di sisi selatan Osaka. Kota sakral ini namanya sudah mendunia.Pada tahun 819, Koyasan dihuni pertama kali oleh Kukai (yang kemudian dikenal sebagai Kobo Daishi) yang mendirikan dan menyebarkan agama Budha beraliran Shingon.Sejak itu, Koyasan berkembang menjadi pusat kegiatan agama Budha dan salah satu kota yang paling religius di Jepang, di mana terdapat monasteri, universitas berjurusan Budha Shingon dan 117 kuil yang masih aktif digunakan untuk upacara-upacara keagamaan yang sudah berjalan selama 1200 tahun terakhir.Mulai pertengahan abad 20, kota kecil yang terletak di ketinggian 900 meter dari permukaan laut ini terbuka untuk dunia luar. Para turis mulai berdatangan sejak itu, walaupun belum banyak. Sejak tahun 2014, UNESCO menganugerahkan Koyasan sebagai Situs Warisan Dunia yang membuat popularitasnya kini kian meningkat.Kuil-kuil yang indah, bersih nan terawat di sepanjang pinggir jalan besar dengan pepohonan rindang dan udara pengunungan yang segar membuat pusat kota Koyasan ini terlihat cantik dan asri, yang senantiasa memanjakan panca indera dan menyejukkan pikiran saya.Tak sebatas pemandangan indah dan udara segar, kunjungan singkat saya selama sehari ke kota berpenduduk 7000 jiwa ini memberikan pengalaman berkesan yang melekat kuat dalam benak saya karena nuansa religinya yang masih sangat kental sembari tetap terbuka terhadap wisatawan asing dan kegiatan turisme yang tidak mainstream yang memperkaya wawasan budaya setempat.Mulai dari mengelilingi kuburan Budha terbesar pada malam hari, bermalam dan mengikuti upacara keagamaan di kuil antik, hingga menyantap makanan vegetarian sehari-hari para biksu yang tak banyak ditemui di kota lain di Negeri Sakura.MALAM-MALAM DI KUBURANKegiatan hari pertama saya di Koyasan adalah mengikuti cemetery night tour atau tur malam ke kuburan. Dan tentunya, lokasi tur ini bukanlah di sembarang kuburan.Kuburan yang saya maksud adalah Okunoin, kuburan Budha terbesar di Jepang seluas 2 kilometer yang merupakan tempat peristirahatan terakhir bagi para biksu ternama, tokoh-tokoh penting di zaman feodal serta keluarga para konglomerat. Pada dasarnya, semua orang boleh dimakamkan di Okunoin tanpa membedakan negara asal, suku, ras, pendidikan, status sosial dan tidak harus pemeluk agama Budha selama mereka setuju dan percaya dengan filosofi Kobo Daishi. Sebagai catatan, pendaftaran tur ini tidak bisa jauh-jauh hari. Cara satu-satunya adalah mencantumkan nama di buku tamu depan kuil Ekoin 1 jam sebelum dimulai. Kebetulan, kuil Ekoin ini hanya 2 menit jalan kaki dari kuil Kumagaiji tempat saya menginap, seolah-olah saya memang ditakdirkan untuk bergabung. Dengan membayar 1500 Yen per orang atau sekitar Rp. 200.000, tur akan dipandu oleh seorang biksu dari kuil Ekoin sendiri, bukan pemandu wisata biasa.Animo tur yang dimulai pukul 7 malam ini ternyata cukup besar dengan jumlah peserta lebih dari 20 wisatawan berbagai negara, di mana saya orang Indonesia satu-satunya saat itu. Tujuan akhir tur makam ini adalah mausoleum Kobo Daishi, yang dipercaya masih melakukan meditasi abadi setelah lebih 1000 tahun kemudian dan tidak meninggal seperti manusia pada umumnya setelah segitu lamanya.Tak jauh dari mausoleum terdapat Gokusho Offering Hall atau dapurnya pemakaman, di mana biksu setempat memasak makan pagi dan siang yang diantar ke mausoleum Kobo Daishi setiap harinya pada pukul 6 dan 10.30 pagi.Pastinya, kesan pertama ketika mendengar kata tur malam di kuburan adalah menyeramkan untuk sebagian orang. Apalagi memang ada legenda urban seputar Okunoin yang lumayan menyeramkan. Antara lain, terdapat sebuah sumur bila seseorang mengaca di permukaan airnya dan tidak nampak wajahnya, berarti kematian akan mendatanginya dalam 2 tahun. Juga mengenai anak tangga batu kakubanzaka yang kami lewati. Bila terjatuh di anak tangga tersebut, berarti yang bersangkutan akan meninggal dalam 3 tahun.Tak terbatas dengan cerita seram, berbagai pengetahuan menarik pun juga tak kalah banyaknya. Salah satunya adalah gerbang torii yang umumnya berada di kuil Shinto, tetapi sering ditemui di batu-batu nisan Buddha di Okunoin. Hal ini menandakan perpaduan Budha dan Shinto, agama asli penduduk Jepang, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat lokal, termasuk upacara keagamaan.Contohnya, upacara perayaan kelahiran dan pernikahan dilaksanakan dengan tradisi Shinto karena Shinto merayakan tahap awal dalam kehidupan, sedangkan upacara kematian dilaksanakan sesuai tradisi Budha.Alih-alih merasa takut, saya lebih mudah berkonsentrasi dalam tur malam karena suasana yang lebih hening, dan nyaris tidak ada lalu-lalang pengunjung lain yang terkadang membuat perhatian teralihkan, sehingga apa yang diutarakan sang biksu pemandu terserap lebih baik dalam benak saya.Apalagi dengan bahasa yang mudah dipahami orang awam seraya menyelipkan unsur humor untuk mengurangi ketegangan yang membuat peserta lebih terhibur. Anggap saja bagaikan nonton bioskop yang semua penontonnnya fokus pada film yang ditayangkan.Saya pun kembali ke Okunoin keesokan paginya untuk menikmati keindahan seni pahat batu yang terukir di lebih dari 200.000 nisan beserta patung-patung lain yang mendampinginya. Satu-satunya hal yang tidak berani saya coba adalah berkaca di permukaan air sumur.Dalam hal ini, tur malam sebetulnya menjadi hal yang tidak begitu seram karena sumurnya tak terlihat jelas. Dan pastinya, saya tetap berhati-hati untuk tidak terjatuh di anak tangga kakubanzaka.MENGINAP DI KUILDaya tarik lain di kota yang hampir separuh dari penduduknya adalah biksu ini adalah akomodasinya bila Anda memilih shukubo atau menginap di kuil bersama para biksu. Dari 117 kuil yang ada, 54 diantaranya menyediakan sarana penginapan bagi turis. Cara mendapatkan kamarnya mudah saja, tinggal pesan online melalui Agoda atau Booking.com.Kuil-kuil yang namanya tercantum dalam kedua laman tersebut biasanya terdapat staf yang bisa berbahasa Inggris cukup baik. Harga rata-rata menginap di kuil dimulai dari 7000 Yen hingga diatas 20.000 Yen atau Rp 850.000 hingga diatas Rp 2.500.000 per malam.Sebetulnya, kamar-kamar untuk penginapan dan ruang makan untuk turis terpisah dari tempat tinggal para biksu walaupun masih dalam 1 atap. Jadi, jangan harap bahwa Anda akan duduk di samping seorang biksu pas makan sore misalnya. Tetapi bagaimanapun juga, atmosfer spiritualnya masih terasa. Di pagi hari di Kumagaiji, saya dan para tamu lain diberi kesempatan berpartisipasi dalam upacara pagi untuk mendoakan arwah leluhur dan homa atau upacara api untuk cleansing atau pembersihan secara spritual dan psikologis. Dalam upacara api misalnya, kami diberikan stik kayu lempeng yang sedikit lebih panjang daripada batang es krim untuk menuliskan doa-doa dan harapan, yang nantinya akan dibakar di api dalam wadah yang diletakkan di altar supaya terkabul.Mengambil bagian sekecil apapun dalam sebuah ritual tradisional tentunya menjadikan pengalaman wisata saya jauh lebih berarti dan tak terlupakan daripada sekedar menjadi penonton.Tentunya, masih ada beberapa kegiatan yang dapat dikerjakan di dalam kuil bila Anda ingin menikmatinya secara utuh dengan belajar meditasi, melukis di kain sutera serta kaligrafi yang masing-masing berbayar, mulai dari 500 Yen hingga 1000 Yen atau Rp. 65.000 hingga Rp. 140.000 per kelas. Berendam di kolam air panas atau onsen adalah fasilitas lain yang bisa digunakan secara gratis sebagai tamu penginapan.Saya juga sangat menyarankan untuk mencoba santapan di dalam kuil yang menyajikan makanan vegetarian yang dikonsumsi para biksu Jepang, shojin ryori. MAKAN MAKANAN A LA BIKSU JEPANGShojin ryori sudah dikenal menjadi makanan sehari-hari biksu Jepang sejak abad ke-13 seiring dengan perkembangan Budha Zen. Para pengunjung bisa menjumpai hidangan shojin ryori di restoran-restoran vegetarian di pusat kota dan penginapan dalam kuil.Berhubung saya terlambat booking makan sore di Kumagaiji dan beberapa restoran sudah tutup setibanya saya di Koyasan, akhirnya saya hanya berkesempatan 1 kali menikmati shojin ryori sebagai makan pagi di kuil setelah ritual pagi selesai.Pada dasarnya, bahan baku yang digunakan dalam shojin ryori mempunyai 5 warna, yaitu merah, kuning, hijau, hitam dan putih, serta mengandung 5 macam rasa dalam 1 hidangan, dari manis, asin, pahit, asam dan gurih karena keseimbangan antara rasa dan warna dipercaya memberikan keseimbangan asupan gizi sehari-hari. Pengolahan makanan pun tidak menggunakan bumbu berbau menyengat seperti bawang putih dan bawang bombay.Pada pagi itu, saya disuguhi tumisan okra dengan saus wijen, tumisan radish dan wortel iris, sup miso dan side dish rumput laut, plum dan sejenis perkedel tofu, dihidangkan dengan nasi putih yang pulen. Sangat terasa aroma minyak wijen, kecap asin dan kaldu rumput laut menggantikan bawang-bawangan untuk menyedapkan masakan tanpa menutupi, bahkan menguatkan rasa asli sayurannya yang manis segar. Tak dipungkiri lagi bahwa kesegaran bahan baku memegang peran sangat penting dalam kenikmatan kuliner vegetarian a la Negeri Sakura ini.Wah, ternyata kualitas makanan di Kumagaiji memang enak sesuai testimoni yang pernah saya baca sebelumnya dan porsi nasinya lumayan banyak. Tetapi, memang rasa kenyangnya sayur-sayuran tidak membuat perut begah seperti kenyang daging yang membuat saya lebih fit dalam melanjutkan perjalanan.Walaupun saya bukan tipe orang yang susah makan sayur, pengalaman ini mengajarkan saya bahwa tidak selamanya kenikmatan makan sayur harus diiringi dengan dominasi bumbu yang kuat atau bawang yang banyak. Bahkan, ketidakadaan daging imitasi khusus vegetarian tidak membuat saya kangen daging. Santapan shojin ryori ini tentunya memperkaya pengalaman saya dalam berkuliner Jepang selain sushi, sashimi dan ramen yang sudah pasaran.Secara keseluruhan, perjalanan saya ke Koyasan adalah sesuatu yang tak terlupakan dan suatu hari nanti saya ingin kembali lagi.CARA MENUJU KOYASANCara paling mudah dan praktis untuk menuju Koyasan adalah berangkat dari Osaka karena transportasinya mudah, praktis dan jarak tempuhnyang tidak terlalu jauh, hanya 90 menit. Dari stasiun Namba atau Shin-Imamiya, ambilah jalur kereta Nankai Koya Lines menuju stasiun Gokurakubashi, kemudian naik cable car selama 5 menit menuju stasiun Koyasan. Kemudian, naik bis sekitar 10 menit ke pusat kota Koyasan.Anda juga bisa berangkat dari Wakayama City, seperti yang saya pernah lakukan, tetapi waktu yang ditempuh sedikit lebih lama. Karena setelah naik kereta JR Wakayama Line, Anda harus transit dahulu di stasiun Hashimoto untuk pindah jalur ke Nankai Koya Line menuju stasiun Gokurabashi untuk naik cable car ke stasiun Koyasan. Saya sangat menyarankan untuk membeli Koyasan World Heritage Ticket yang berlaku untuk pulang pergi dari stasiun Namba atau Shin-Imamiya menuju Koyasan, tiket terusan atau unlimited trips dengan bis dalam kota Koyasan dan diskon tiket masuk tempat-tempat wisata utama. Tiket yang berlaku selama 2 hari berturut-turut ini dapat dibeli di stasiun Namba, Shin-Imamiya dan Hashimoto seharga 2860 Yen atau sekitar Rp 383.000.Bagaimana, sudah siap menjelajahi kota suci Negeri Sakura sembari tinggal bersama para biksu dan uji nyali mengitari kuburan di malam hari?MENGAPA SAYA INGIN KE DUBAI DAN APA YANG INGIN SAYA LAKUKAN DI DUBAI?Kemegahan Dubai International Airport yang sempat saya kunjungi sekejap hanya untuk transit membuat saya memutuskan bahwa saya harus meluangkan waktu khusus untuk mengunjungi kota Dubai. Saya ingin melihat dengan mata kepala sendiri arsitektur dan interior gedung-gedung pencakar langitnya yang memukau. Variasi objek wisatanya yang bertaraf internasional pun seru-seru, dari resto dan resort eksklusif hingga yang memacu adrenalin seperti indoor ski, naik unta di gurun dan banyak lagi. Hal menarik lainnya adalah mengamati budaya dan norma Islam masyarakat lokal yang masih dipegang teguh dibalik kemegahan arsitektur modern bergaya barat. Sesampainya di Dubai, saya ingin mengabadikan bangunan-bangunan pencakar langit dengan kamera saya, terutama di malam hari di mana cahaya lampu menerangi setiap sudut kota. Bersafari di gurun sangat saya tunggu-tunggu karena saya belum pernah melihat gurun dan tidak ada di Indonesia. Bersantai di observation deck dan sky lounge di Burj Khalifa, mengeksplor The Palm Jumeira, Mall of The Emirates dan tak ketinggalan, mengunjungi pasar tradisional di Dubai's Old Town.
Komentar Terbanyak
Buntut Insiden Pembakaran Turis Malaysia, Thailand Ketar-ketir
Pesona Patung Rp 53 Miliar di Baubau, Sulawesi Tenggara Ini Faktanya!
Pembangunan Masif Vila di Pulau Padar, Pengamat: Menpar Kok Diam?