Meneguk Liang Teh Paling Legendaris di Medan
Senin, 08 Apr 2019 10:52 WIB

Yogaku Puspita Rini Sagal
Jakarta - Liang Teh Ayong bisa dibilang kedai liang teh paling legendaris di Medan. Kedai ini sudah ada sejak tahun 1943. Cara melayani pelanggannya pun unik!Tangan tiga peracik liang teh itu tampak begitu cekatan. Menuangkan gelas demi gelas teh bunga oriental dan membagikannya kepada para pelanggan yang sudah mengantri sedari tadi.Sepuluh menit berada di sana, mungkin mereka bertiga sudah berhasil meracik lima puluh gelas liang teh hangat dan meloloskan beberapa mobil dan motor dari antrian yang mengular. Seperti sedang mengantri BBM, begitulah suasana stan Liang Teh Ayong yang terkenal itu.Berada di sebuah pojok emperan toko di Jalan Perniagaan, Medan, stan liang teh ini mungkin jauh dari yang kita bayangkan. Bagaimana tidak, jika biasanya tempat-tempat menikmati teh selalu disediakan kursi dan meja sehingga pelanggan betah berlama-lama, di sini, hanya ada beberapa kursi dengan meja seadaanya saja.Nampaknya kursi dan meja itu hanya jadi tempat istirahat para peracik teh saja. Namun, keadaan itu membuatku malah jadi penasaran. Benar saja, tak sampai beberapa menit di sana, aku paham ritme para pelanggan Liang Teh Ayong ini.Mobil mereka berhenti tepat di depan stan, membuka kaca, menyebutkan jumlah pesanan, dalam dua menit pesanan datang dan dua menit berikutnya adalah waktu yang mereka pakai untuk menikmati segelas teh bunga ini.Setelah itu pelanggan akan membayar teh mereka sembari menyerahkan gelas kosong dan pergi. Mirip system Drive Thru di restoran cepat saji. Wow!Terakhir, pengalamanku menikmati cara minum seperti itu adalah ketika aku membeli segelas jamu gendong di dekat kos, tapi itu pun minus antrian yang mengular. Sembari mengagumi kegigihan para pecinta liang teh Ayong ini, aku pun menyeruput teh milikku sendiri yang sudah terhidang beberapa menit lalu. Rasanya sedikit menggelitik. Ada aroma rempah bercampur dengan bunga krisan di sana, manis dan unik.Wajar saja jika liang teh ini juga disebut teh bunga oleh orang sekitar. Keunikan rasa liang teh ini membuatku semakin penasaran dan mendekati dua buah teko tua berwarna emas. Ada aksara cina di sana, aku tak tau artinya, tapi kesan antik begitu terasa.Kemudian, ketika salah satu peracik teh ini berbalik badan, angka tahun 1943 tampak tertulis dibaju bagian belakangnya. Hmmm, wajarlah jika kesan antik itu ada. Aku kembali ke satu-satunya meja di mana tehku kuletakkan, kulihat adik-adik dan sepupuku tampak tetap kagum dengan antrian yang semakin mengular. Suasana semakin seru ketika ada pelanggan yang datang dengan sepeda motor mulai membunyikan klaksonnya, tanda tak sabar untuk segera dilayani.Secepat kilat, salah satu peracik teh datang dengan segelas teh hangat untuknya. Dalam beberapa tegukan saja, teh tersebut habis. Sembari mengambil gelas kosong dan menerima uang pembelian, peracik teh tersebut juga menyerahkan sebuah kantong plastik berisi beberapa bungkus liang teh yang akan dibawa pulang pelanggan. Yup! Selain dinikmati di tempat, Liang Teh Ayong juga kerap dibawa pulang oleh pelanggannya. Ini kali pertama aku merasa begitu kagum dengan sebuah stan teh. Ia begitu sederhana, tak banyak bicara, namun rasa teh bunga oriental ini begitu mengena di hati pelangannya. Bisa saja ia berubah, mengikuti segala tuntutan era. Namun, ia memilih untuk tetap sederhana, seperti ketika lebih dari tujuh dasawarsa lalu, peracik Liang Teh Ayong ini menemukannya. Akhirnya, kubiarkan setengah gelas teh lagi menghapus haus. Dalam dua tegukan saja, ia sudah habis tak bersisa. Sebelum pergi, kuulurkan uang senilai Rp 35.000 untuk tujuh gelas liang teh yang membuat kami semua berdecak kagum.
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol