Jakarta - Lompat Batu di Nias jadi atraksi menarik. Namun tahukah kamu dari bagaimana tradisi tersebut bisa ada? Ternyata lompat batu dulunya adalah syarat kerajaan.Traveling ke Nias Selatan jangan lewatkan berkunjung ke Desa Adat Bawomataluo. Desa yang berdiri sekitar tahun 1830-an ini berada diketinggian 270 mdpl, merupakan wilayah tertinggi di Nias Selatan. Konon, tingginya wilayah ini melambangkan kekuasaan dan kekuataan kerajaan pada masa lampau.Dari Bandara Binaka, Gunung Sitoli, kita harus naik kendaraan roda dua atau roda empat menuju ke selatan, selama 2,5 jam untuk menuju Desa Bawomataluo. Desa ini merupakan desa tradisional di Nias Selatan dan berada di atas bukit batu. Pintu masuk ke desa berupa tangga batu dengan 86 anak tangga. Bawomataluo sendiri berarti Bukit Matahari.Di Desa Bawomataluo, ada sebuah atraksi lompat batu yang sudah sangat terkenal, bahkan sampai ke mancara negara. Sebelum memulai atraksi, pelompat batu harus mengenakan pakaian prajurit kerajaan, dengan warna khas Nias, yaitu merah, kuning dan hitam.Tradisi lompat batu atau dalam bahasa setempat disebut Fahombo, hanya untuk laki-laki di Nias. Menurut Methodius Zhagoto (20), pemuda Desa Bawomataluo yang mendampingi kami saat menyaksikan tradisi ini, sejarah lompat batu bermula dari syarat pemuda desa sudah bisa ikut berperang atau belum. Dahulu perang antar wilayah sering terjadi. Setiap wilayah biasanya dipagari dengan bambu setinggi dua meter atau lebih. Untuk bisa ikut berperang dan diterima sebagai prajurit raja, seorang pemuda harus bisa melompati bambu yang memagari wilayah lawan. Selain itu, pemuda yang mampu melompati tumpukan batu setinggi 2 meter dan tebal 40 cm ini dianggap telah dewasa dan matang secara fisik.Jika ingin menyaksikan tradisi ini, kita harus membayar dua orang pemuda desa dengan tarif Rp150.000 untuk dua kali lompatan. Setiap pemuda akan melompat satu kali. Andai ada sekelompok pemuda yang menawarkan tarif lebih tinggi dari itu, lakukan tawar menawar saja karena memang tarif dari kesepakatan pengurus desa adalah Rp 150.000. Sayangnya, memang tidak ada petugas khusus yang menjaga di gerbang desa.Selain melihat lompat batu, kita juga bisa melihat rumah adat Omo Hada dan situs-situs megalitikum yang banyak terdapat di desa ini.
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum