Jakarta - Liburan naik kapal menawarkan banyak kisah suka dan duka. Contohnya seperti yang satu ini.Di awal tahun saya resmi jadi anggota penuh organisasi pencinta alam di kampus dan pertengahan tahun ke Taman Nasional Wasur, Merauke, Papua dalam rangka ekspedisi mandiri. Ngapain tuh jauh-jauh ke Papua? Ceritanya kita ingin mengkaji tentang penurunan populasi walabi akibat perburuan liar dan juga mengkaji totemisme masyarakat adat yang tinggal di dalam kawasan Taman Nasional. FYI, hewan marsupial ini endemik Papua dan dilindungi. Pernah lihat kangguru? Seperti itulah perawakan walabi tapi lebih kecil. Perburuan hanya dizinkan bagi masyarakat adat, itu pun harus menggunakan alat berburu tradisional seperti panah, tombak dan perangkap. Mayarakat adat yang tinggal di dalam kawasan taman nasional ini terdiri dari empat suku besar yaitu Kanume, Marory Menggey, Marind, dan Malind Inbuti. Sayangnya, perburuan saat ini marak dilakukan oleh orang luar dan mereka menggunakan senjata api. Jujur, dari ekspedisi ini yang paling saya nikmati dan rasain keseruannya ya perjalanannya itu. Bayangkan ya, zaman sekarang masih ada apa orang yang mau naik kapal ke tempat nun jauh, 12 hari pula. Sudah kayak bajak laut saja. Saya sih senang-senang saja naik kapal. Exciting banget malah. Saya mau merasakan kehidupan bak perompak yang mengarungi luasnya samudra dan melawan ganasnya lautan. Enaknya selama naik kapal itu, sekarang kami sudah menjajaki pulau-pulau seperti Kalimantan, Sulawesi, mengarungi lautan di jajaran pulau Nusa Tenggara, Maluku dan Papua pastinya. Jadi saya sudah tamat mengelilingi Indonesia, secara saya orang Sumatera. Ya walaupun cuma sempat main di sekitar pelabuhan atau sekedar icip-icip kuliner khas daerah di tiap persinggahan. Yang penting kan sudah pernah ke sana. Setiap pagi kamu bisa menikmati indahnya sunrise, sorenya menyapa sunset nan elok rupawan. Top banget dah. Nah, saya pas di Nusa Tenggara Timur beruntung bisa menyaksikan gerombolan lumba-lumba berenang mengiringi Kapal kami. Inilah alasan kenapa saya sangat bersemangat melakukan perjalanan dengan kapal. Saya mau lihat lumba-lumba langsung di habitat aslinya dengan mata kepala saya sendiri. Sesekali mereka beratraksi sambil melompat seolah menyambut kedatangan kami. Di kapal jangan main sendiri saja, kenalan deh sama penumpang lain. Sering-sering saja santai di kafetaria. Lumayan dapet kenalan sekalian info baru kalo sharing kan. Menyeruput kopi hangat sambil menanti matahari terbenam jadi momen ajib. Kalau dukanya di kapal apa? Pertama, di tengah laut say goodbye to your gadget karena di lautan tidak ada sinyal. Di belahan timur sana tidak ada sinyal kecuali memakai salah satu provider. Kedua, makanan tidak variatif. Budget terbatas dan mau ngirit? Berlapang dada lah. Menikmati menu yang disajikan kapal. Menunya itu, kata saya sih dalang bikin mabuk, bukan lautnya. Kalau tidak kuat sama menunya, kamu musti merogoh kantong lebih dalam buat beli makanan rada enakan, tapi tiga kali lebih mahal dibanding harga normal. Ketiga, mabok laut. Saya jamin kamu yang sering mabok darat juga bakal mabok laut. Tidak gampang loh perjuangan kami bisa merealisasiin ekspedisi ini. Saya bersyukur banget pernah merasakan pengalaman kayak gini. Melalui postingan ini, saya ingin menyampaikan lagi rasa terima kasih pada senior-senior Lawalata yang sudah mendukung dan membantu kegiatan ini secara moril dan materil.
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!