Eksotisme Tanah Saparua dari Maluku

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Eksotisme Tanah Saparua dari Maluku

Suryani Amin - detikTravel
Selasa, 11 Jul 2017 11:51 WIB
loading...
Suryani Amin
Matahari terbit
Dermaga
Mengolah nasi kelapa
Pasar
Suasana dalam ruang kapal Ferry bersama tim seperjalanan
Eksotisme Tanah Saparua dari Maluku
Eksotisme Tanah Saparua dari Maluku
Eksotisme Tanah Saparua dari Maluku
Eksotisme Tanah Saparua dari Maluku
Eksotisme Tanah Saparua dari Maluku
Jakarta - Saparua di Maluku menawarkan eksotisme yang perlu kamu lihat. Traveling ke Tanah Rempah ini mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang tidak ada di kota besar."Berapa jarak penginapan kita dari pantai?""Setengah meter!"Saya ingat potongan percakapan teks singkat dengan rekan kerja di Ambon. Beberapa hari sebelum keberangkatan. Seketika, saya tidak sabar untukΒ  menjejakkan kaki ke Saparua.Ini memang perjalanan dinas, tidak akan banyak waktu untuk menjelajah. Tapi seburuk-buruknya, setidaknya saya punya harapan untuk membaui aroma laut yang saya suka. Dua lembar pakaian renang, saya sisipkan dalam tumpukan barang yang saya bawa.Dari Pelabuhan Tulehu di Ambon kami melanjutkan perjalanan dengan kapalΒ  penyeberangan berukuran sedang. Kapal berlabel nama Cantika. Untuk kelas VIP dengan fasilitas mesin pendingin, biayanya sekitar seratus enam puluh ribu rupiah seorang. Cukup mahal untuk kantong pejalan irit.Tapi, ada pilihan kelas lain yang lebih terjangkau. Tinggal menyesuaikan. Waktu tempuh Tulehu ke Saparua sekitar satu jam untuk jarak sekitar 50 mil laut. Coba tengok peta Maluku, Saparua terletak di Timur Kota Ambon. Posisinya diapit antara Pulau Haruku dan Nusa Laut.Terberkatilah saya. Keberuntungan demi keberuntungan menghampiri perjalanan. Penginapan kami di Jalan Pasar Saparua persis hanyaΒ Β Β  berbatas tembok beton rendah dengan pantai. Namanya Hotel Perdana.Β Β Β  Peginapan kelas melati ini bertarif mulai 200 ribu sampai yang termahal 500 ribu. Ada pintu kecil yang bisa dibuka untuk mengakses pantai.Memang bukan jenis pantai wisata yang umumnya landai dengan butiran pasir halus. Tapi pemandangan ke laut lepas dengan air laut yang bersih dan beberapa kapal nelayan berukuran kecil tetap nirwana di mata saya.Air bersih dari keran terasa payau di lidah. Tapi saya pastikan tidak akan mengganggu banyak. Kabarnya penginapan ini yang terbesar di Saparua dengan jumlah kamar terbanyak. Keberuntungan kedua, Duurstede Fort, benteng yang dibangun lebih tiga abad lalu oleh Pemerintahan Hindia Belanda, lokasinya hanya terpisah satu blok bangunan dari penginapan.Maluku sejak lampau memang dikenal sebagai penghasil rempah yang menarik koloni pemburu rempah. Benteng ini menyimpan sejarah perlawanan Thomas Matulessy alias Pattimura. Ia memimpin perlawanan melawan pemerintah kolonial. Meskipun akhirnya ditawan dan nyawanya berakhir di tiang gantungan. Namanya harum sebagai pahlawan nasional.Benteng Duurstede dibangun di atas karang pantai yang cukup tinggi. Akses masuknya melalui anak tangga batu di bagian depan. Bangunan ini menjadi fasilitas pertahanan dan pemerintahan selama Belanda menduduki Saparua. Masih tersisa utuh menara pertahanan dan beberapa meriam peninggalan. Dari ketinggian, pengunjung bisa leluasa mengarahkan pandangan ke sebagian besar wilayah Saparua dan sebagian Pulau Nusa Laut di Timur Saparua.Pagi dan sore hari adalah waktu favorit untuk berlama-lama memandang laut. Kapal nelayan dengan cadik di kanan-kiri sebagai penyeimbang seperti ornamen yang membingkai pemandangan. Kapal tanpa mesin iniΒ Β Β  dalam bahasa setempat disebut kole-kole. Hanya bisa memuat maksimun 3 tubuh manusia dewasa.Seorang nelayan berbaik hati meminjamkan kole-kole dan mendayungnya untuk kami. Tadinya, kami berencana untuk mendayung kole-kole menuju pantai tepi benteng Duurstede dari hotel. Sayangnya sore itu, air sedang pasang dengan ombak yang beriak sedikit kencang. Si Bapak pemilik kole-kole tidak menyarankan untuk sampai ke benteng karena cukup berisiko. Jadi cukup berputar-putar sebentar di area amanΒ Β Β  dekat penginapan.Β Β Β Β  Β Keberuntungan lain menghampiri, pasar tradisional letaknya dalam jangkauan kaki dari hotel. Pasar selalu menarik untuk dieksplorasi. Kehidupan asli masyarakat tercermin di dalamnya. Saya berniat mencari saparan ala lokal.Pasar kecil ini tidak buka setiap hari, untung saja kedatangan saya persis di hari pasar buka. Pasarnya cukup modern dengan bangunan beton. Lapak-lapak kecil pedagang tumpah sampai ke bibir jalan.Β Β Β  Pedagang sagu baik mentah ataupun hasil olahannya banyak dijual.Saya menemukan yang saya cari, nasi kelapa. Di perjalanan ke Ambon sebelumnya, saya pernah mencicip gurihnya nasi kelapa. Sederhana sekali sebenarnya, hanya nasi dengan taburan kelapa parut berempah dengan sedikit rasa pedas.Versi pasar di sini polos tanpa tambahan lauk. Lima belas bungkus nasi kelapa seharga tiga ribu rupiah per bungkusnya, saya bawa untuk kawan-kawan bersama sekilo rambutan. Saya berhenti sebentar mengamati dan mengambil gambar. Sayang, pagi itu mendung dengan sedikit hujan.Perjalanan pergi dan kembali dari lokasi pekerjaan menyimpan kesan mendalam. Di sini, banyak simbol salib terpasang dimanapun. Dirumah, di tengah putaran jalan atau di gereja.Saya adalah pemuja keberagaman dan menghormati kelompok yang menjalankan ritual keagamaannya masing-masing secara damai. Menurut cerita, konflik antar wilayah beberapa kali terjadi. Bahkan berkembang menjadi konflik agama antara penganut Kristen dan Islam. Semestinya tidak ada alasan apapun yang menjadi pembenar untuk saling mengecilkan keyakinan seseorang. Setiap melintas pesisir, saya tidak bisa menahan diri untuk tidak terkagum-kagum dengan pantainya, Meskipun banyak yang tidak dikemas sebagai tujuan wisata, sebetulnya Saparua menyimbang banyak sekaliΒ Β Β  harta karun berupa pantaiΒ  cantik. Malah nampak alami tanpa keramaian seperti umumnya kawasan pantai turistik.Listrik masih jadi barang mewah bagi sebagian masyarakat Saparua. Bahkan dipenginapan, beberapa kali daya listrik turun selama masa tinggal saya. Fasilitas jalan lumayan bagus untuk setidaknya untukΒ Β Β  rute penginapan sampai lokasi kerja saya. Di kiri kanan hanya terlihat rimbunan hijau pepohonan. Tidak tersedia penerangan jalan yang menyebabkan mobilitas di malam hari jadi terbatas. Β Perjalanan kembali ke Ambon kami tempuh denganΒ  speed boat. Rombongan berpisah dalam beberapa kapal kecil. Beberapa diantara kami musti sampai lebih awal ke Ambon untuk mengejar jadwal penerbangan kembali ke kota masing-masing.Kapal berbahan fiber ringan sesekali limbung akibat bermanuver memecah ombak. Sebagian teman tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya karena air laut terasa begitu dekat dari tempat duduk.Β Β Β Β  Β Di paruh akhir perjalanan, saya mulai terbiasa dengan hempasan ombak. Saya menguatkan nyali untuk berdiri di belakang kapal, keluar dariΒ Β Β  tempat duduk. Adrenalin saya terpacu.Pilihan tepat untuk tidak melewatkan waktu-waktu terakhir meninggalkan Saparua. Saya membiarkan seluruh indera saya hanyut dalam sensasiΒ  hembusan angin laut di atas kapal yang melaju. Saat daratan Ambon mulai terlihat, saya menyesal mengapa perjalanan jadi begitu singkat.
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads