Menelusuri Jejak Kuliner Peranakan Tionghoa di Pesisir Utara Jawa

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Menelusuri Jejak Kuliner Peranakan Tionghoa di Pesisir Utara Jawa

andra filemon - detikTravel
Senin, 18 Jul 2016 10:25 WIB
loading...
andra filemon
Bersama pak Jongkie Tio dan buku karya beliau
Wingko Babat Lamongan
Es Sarang Burung di depan kelenteng Tay Kak Sie
Warung ronde Mak Moyong di Kudus Jawa Tengah
Di depan Lunpia legendaris Gang Lombok Semarang
Menelusuri Jejak Kuliner Peranakan Tionghoa di Pesisir Utara Jawa
Menelusuri Jejak Kuliner Peranakan Tionghoa di Pesisir Utara Jawa
Menelusuri Jejak Kuliner Peranakan Tionghoa di Pesisir Utara Jawa
Menelusuri Jejak Kuliner Peranakan Tionghoa di Pesisir Utara Jawa
Menelusuri Jejak Kuliner Peranakan Tionghoa di Pesisir Utara Jawa
Jakarta - Kuliner peranakan Tionghoa menambah kekayaan khazanah kuliner tanah air. Menelusuri jejaknya di pesisir utara Jawa menghadirkan pengalaman tersendiri bagi traveler.Tepat sebelum bulan ramadhan 2016, trio pengendara sepeda motor yang menamakan dirinya Indonesia Culinaride berada di jalanan pesisir utara Jawa, menyusuri jejak kuliner peranakan Tionghoa. Beberapa spot kuliner peranakan di pesisir utara bisa mereka datangi, beberapa lagi terlewat.Ada yang memang tidak dapat dijangkau dengan waktu yang terbatas, ada pula yang baru diketahui setelah meninggalkan kota di mana spot itu berada. Beberapa makanan khas peranakan tionghoa juga tidak mudah ditemui karena hanya dibuat pada hari tertentu saja.Perjalanan dimulai dari Jakarta menuju Tegal, Pekalongan, Semarang, Kudus, Pati, Surabaya, Lamongan, Surabaya, Mojokerto hingga Malang. Di Malang mereka menjumpai sebuah rumah makan yang menulis di etalasenya menjual kue Moho.Datang ke Malang pada hari Senin 9 Mei 2016, waktu mereka memang tidak banyak. Rumah makan itu hanya menjual kue Moho pada hari Sabtu. Sayang sekali karena kue Moho adalah salah satu makanan khas peranakan yang tidak mudah dijumpai.Di Semarang, Rabu 11 Mei 2016 kami berkesempatan berbincang hangat dengan pak Jongkie Tio, seorang kolektor foto, pemerhati budaya dan pecinta kuliner kota Semarang sekaligus pengelola restoran Semarang. Beliau mengatakan bahwa kuliner juga mencerminkan budaya dan sejarah sebuah bangsa.Bangsa Tiongkok juga menggunakan masakan sebagai alat bersosialisasi dan negosiasi. Acapkali kita mendengar orang saling bertegur sapa. β€œHai kawan, apa kabar? Sudah makan atau belum?”Seringkali juga sebuah konflik didamaikan di meja makan. Sebuah keputusan hebat diambil sesudah makan bersama. Hal itu menunjukkan bahwa kuliner mendapat porsi yang penting dalam kehidupan manusia. Kuliner juga berperan dalam diplomasi antar bangsa.Beliau tertawa saat mengetahui bahwa tim Indonesia Culinaride menyusuri sisi utara pulau Jawa dari barat hingga timur dalam waktu 10 hari. β€œTidak cukup mas, menyusuri Semarang saja, 10 hari rasanya masih kurang.” ungkapnya.Memang betul komentar beliau. Semakin mereka tahu, semakin banyak yang ingin lebih mereka ketahui. Pak Jongkie Tio bahkan berbaik hati memberikan daftar makanan khas peranakan Tiong Hoa atau makanan yang mendapatΒ  pengaruh budaya Tiongkok yang wajib mereka liput.Di antaranya adalah lontong Cap Go Meh, tahu item, bakso cawan, kuah cemplung, kue moho, enting gepuk, swikee, soto, tahu pong, Wingko, wajik, kue ku, onde-onde, kue keranjang, lunpia, bakpia, yangko, wedang ronde, mie titie, kompyang, bolang-baling, cakwe, tahwa hingga bacang. Sedangkan kue moaci sendiri menurut beliau adalah kuliner tamu karena sebenarnya kue moaci berasal dari Jepang dan dimodifikasi di Indonesia.Wawancara akrab trio pengendara motor itu dengan pengrajin wingko legendaris di Babat Lamongan juga mengungkap beberapa hal yang luar biasa. Salah satunya ketika mereka mendapat kiriman dari sebuah perusahaan tepung terkenal. Satu kontainer penuh!Perwakilan perusahaan itu mengatakan bahwa tepung mereka adalah 100% tepung ketan murni. Seperti dituturkan oleh Supriyadi Gondokusumo, penerus Wingko Babat generasi keempat itu menyanggupi. Singkat kata, pihak Loe Lan Ing membuat wingko mereka pada hari itu menggunakan tepung ketan dari merk yang terkenal di Indonesia tersebut.Hasilnya di luar dugaan. Wingko yang mereka buat berantakan dan tidak bisa menyatu. Mereka mengirim semua wingko hasil masakan dengan tepung dari brand yang minta dirahasiakan namanya itu.Rasa kecewa jelas terpancar dari wajah para pekerja dan pemilik Wingko Babat Loe Lan Ing. Pihak perusahaan tepung ketan itu tidak ingin menyerah begitu saja, mereka mengirim ahli laboratorium mereka ke Babat, Lamongan dan bertemu dengan pihak Loe Lan Ing.Sebelum pengujian dilakukan dengan sampel tepung yang tersisa di dapur, pihak Loe Lan Ing ingin membuat kesepakatan. Bila terbukti tepung itu adalah tepung ketan murni, mereka rela menutup usaha pembuatan Wingko yang telah turun temurun sejak puluhan tahun lalu. Tetapi bila terbukti sebaliknya, ahli laboratorium itu akan mundur dari perusahaan tempat ia bekerja. Sepakat!Setelah diuji ternyata terbukti bahwa tepung yang didatangkan dari salah satu negara Asia Tenggara iniΒ  terbukti bukan tepung ketan murni. Berbeda dengan tepung ketan lokal yang selalu diandalkan oleh pihak Wingko Babat Loe Lan Ing, tepung ketan hasil import ini mengandung campuran bahan lain. Itulah yang menyebabkan wingko yang mereka masak tidak sempurna.Merasa malu, akhirnya sang ahli laboratorium mengundurkan diri dan membuka toko bahan kue dan makanan. Kepada pihak Loe Lan Ing, secara pribadi ia mengatakan akan selalu jujur dalam menjual bahan makanan kepada pelanggan yang datang ke tokonya. Kisah itu mencerminkan bahwa kejujuran dan kepercayaan adalah hal yang penting di semua bidang termasuk dalam dunia kuliner.Dalam perjalanan ini memang tim Indonesia Culinaride fokus dengan kuliner khas peranakan Tionghoa saja, karena di sepanjang pesisir utara Jawa, suku bangsa Tionghoa telah menorehkan sejarah panjang sejak jaman sebelum Majapahit berdiri, hingga masa modern Republik Indonesia.Kuliner peranakan Tionghoa menyebar dari ujung barat hingga timur pulau Jawa. Di Jakarta beragam masakan bisa ditemui mulai dari Soto, Bakpia, Bandeng, Kue Keranjang, Kue Moci, ronde, hingga bakpao. Indonesia Culinaride menyusuri kota-kota di pesisir utara untuk melihat langsung dan merekam bagaimana kuliner peranakan Tionghoa telah menjadi makanan sehari-hari dan disantap oleh berbagai macam suku bangsa di pulau Jawa. Mulai dari Tegal dengan teh poci dan bakpia, hingga kota Malang di Jawa timur dengan bakpao boldy yang terkenal.Tidak itu saja, mengandalkan tunggangan Suzuki V-Storm dan Inazuma dengan ban handal dari Michelin, mereka berkendara menuju Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk menelusuri sebaran kuliner peranakan dan sejarahnya.Semoga hasil liputan yang dilakukan oleh Indonesia Culinaride ini bisa menjadi panduan bagi para penikmat kuliner untuk mengetahui apa, dimana, bagaimana, dan semua tentang kuliner peranakan Tionghoa di pesisir utara pulau Jawa. Nantikan kisah berikutnya tentang kuliner peranakan Tionghoa dari kota ke kota di pesisir utara pulau Jawa!
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads