Jakarta - Sedari dulu, Kota Alexandria atau Iskandariyah memegang peranan penting bagi Mesir. Sisa-sisa kemahsyuran bangunan ala Eropa dan pesona Laut Mediterania adalah alasan turis selalu datang ke kota ini.Kota Alexandria atau Kota Iskandariyah merupakan kota terbesar kedua di Mesir setelah Kairo. Kota ini merupakan kota pelabuhan terbesar di Mesir karena letaknya yang berada di pinggir Laut Mediterania.Kemahsyuran Kota Alexandria yang tercatat dalam buku sejarah kita semasa sekolah ini, membuat langkah kaki menuju kota tersebut pada hari itu menjadi sangat ringan dan riang. Ditempuh dengan perjalanan sejauh kurang lebih 3 jam dari Kairo, berangkat setelah sarapan kami tiba di Alexandria pada pukul 10.30 waktu lokal.Konon, karena terdiri dari pantai-pantainya yang indah itu pula, banyak wisatawan dan penduduk Kota Mesir dari segala penjuru banyak menghabiskan waktu musim panas untuk berlibur di sana. Sejak di awal masuk Kota Alexandria, kota ini terlihat lebih rapi tertata dan bersih dibandingkan dengan Kairo.Nuansa bangunan khas Eropa yang berwarna putih gading dan kecokelatan juga banyak mendominasi sepanjang perjalanan dalam kota. Usut punya usut, ternyata nuansa ini dibawa oleh bangsa Perancis pada saat Napoleon Bonaparte melakukan lawatan ke Mesir di akhir abad ke-17.Di kunjungan ke Alexandria ini, kisah Raja Farouk yang digulingkan oleh kudeta dan Istana Montaza yang tersohor menjadi antusiasme dominan bagi saya. Namun selain tempat tersebut ada beberapa tempat yang pastinya tidak akan kami lewatkan yaitu ke Pompeys Pillar dan Citadel Qaitbay Fort.Itinerary pertama, kami berkunjung ke Pompeys Pillar (Amoud Al Sawari). Inilah pilar raksasa peninggalan Romawi kuno yang dulunya dipakai sebagai tempat peribadatan bangsa Romawi.Walaupun sebenarnya, badan ini masih terasa lemah karena sisa kantuk dan jetlag perjalanan yang dilakukan sebelumnya menuju Mesir. Tapi, tiket EGP 15 (Rp 26.000) yang telah kami pegang sepertinya harus menyamangati langkah-langkah kami untuk menuju gerbang masuk area Pompeys Pillar.Saya akhirnya cukup menyaksikan pilar tersebut dari kejauhan, karena saat itu debu berterbangan ditiup angin yang berhembus kencang. Sayup-sayup Ahmed, tour leader kami menjelaskan Pompeys dengan detail.Dasar otak saya lagi blank dan ngantuk, yang terdengar seperti nyanyian dosen pada saat kuliah. Membuat saya yang sudah terduduk bersandar di tembok beralas marmer yang dingin menjadi terlena, setengah hilang sadar alias fly away. Maaf ya, Ahmed.Sesaat sebelum kunjungan di Pompeys tersebut berakhir, saya menyempatkan membeli beberapa pernik oleh-oleh di beberapa toko di area Pompeys. Aneka magnet kulkas, gantungan kunci dan pernik-pernik mungil lain khas Pompeys dijual dengan kisaran harga EGP 20-30 (Rp 35.000-52.000).Sempat bertemu pula di area pintu keluar dengan grup yang berasal dari China. Mereka mengucapkan salam kepada saya yang kedapatan sedang memperhatikan mereka sejak dari pintu masuk. Subhanallah, mereka yang terlihat begitu santun dengan baju muslim yang mereka kenakan itu juga menyapa saya dengan anggukan dan senyum ramah.Ketika saya mengajak mereka berbicara, mereka membalas dalam bahasa China dan gerakan isyarat yang menyatakan bahwa mereka tidak berbahasa Inggris. Ya, mungkin juga mereka sebagaimana anggota grup saya juga diajarkan untuk tidak sembarangan berbicara dengan orang asing untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. It's ok, keramahan kalian sudah cukup membuat kesan mendalam.Berikutnya, kami meluncur ke satu situs lain bernama Citadel Qait Bay Fort. Bangunan Β pertahanan yang didirikan Sultan Qaitbay Al Zahiry pada tahun 1468-1496 M ini dimaksudkan sebagai benteng untuk menghadang gempuran pasukan Turki, Dinasti Usmani. Bangunan ini terletak di pinggir laut, kokoh berdiri menantang ombak.Bau amis laut tercium sayup-sayup ketika kami menyempatkan untuk photo stop di tempat ini. Pengunjung yang terlihat seperti penduduk asli terlihat ramai bercengkrama di pinggiran tembok sepanjang pantai sekitar benteng.Hari semakin siang dan menjadi terik. Perut sudah terasa lapar ketika saat yang bersamaan, Ahmed mengajak kami untuk makan siang di sebuah resto dengan hidangan ala Mesir. Katanya, kali ini kita akan makan siang dengan ikan segar!Hmm, jadi teringat pengalaman makan ikan di resto di pinggir teluk menuju Canakalle, Turki. Bau ikan yang khas masih benar-benar terasa masih amis. Berakhir dengan muntah setiba di Canakalle dikarenakan saya tidak makan ikan dan santapan.Untuk itu, sebelum masuk resto di pinggir Laut Mediterania itu saya berdoa sungguh sungguh dalam hati, semoga ikan yang saya makan tidak amis dan menguras isi perut saya lagi.Syukurlah, ternyata hidangan ikan yang disajikan lumayan enak. Ada asinan yang super asin sebagai makanan pembuka, dan roti arab. Lalu ikan sejenis sarden segar yang digoreng dan disajikan bersamaan dengan nasi merah sebagai makanan utama.Saya habiskan seluruh makanan saya. Di samping lapar, saya juga tidak mau pengalaman jackpot dan masuk angin terulang kembali di perjalanan kali ini. Terima kasih untuk Mbak Ratna yang memberi saya dan Aurel saos sambal asli botol yang dibawanya dari Indonesia. Makannya jadi tambah semangat.Sesudah makan siang yang lumayan tadi, perjalanan kami lanjutkan ke Istana Raja Farouk dan Taman Montaza. Wilayah Β seluas sekitar 155 hektar ini, pernah ditinggali sebagai kediaman Raja Farouk yang merupakan keturunan terakhir dari Dinasti Muhammad Ali yang menjadi penguasa Mesir sejak abad ke-19.Raja ini ternyata dalam sejarahnya adalah raja yang suka berfoya-foya dan menjadi tidak disukai rakyatnya sehingga digulingkan lewat kudeta militer. Konon, di masa sulit Perang Dunia II dimana sebagian rakyatnya hidup dengan keprihatinan, Raja Farouk tetap gemar hidup dalam kemewahan.Dia bahkan meminta agar seluruh lampu istananya dinyalakan terang menderang ketika seluruh rakyatnya diminta untuk memadamkan lampu dengan alasan efisiensi. Kudeta yang dilakukan oleh Gamal Abdul Nasser ini merubah sejarah kepemimpinan sistem Kerajaan Mesir menjadi sistem republik.Sejak itu Gamal Abdul Nasser lalu menjadi pemimpin selanjutnya di Mesir. Raja Farouk lalu hidup dalam pengasingan di Monaco dan kabarnya meninggal ketika berada di jamuan makan di Italia.Sejak saat itu, istana ini dipergunakan sebagai tempat menjamu tamu-tamu kenegaraan, dikarenakan letaknya yang strategis di tepi Pantai Mediterania. Taman Montaza yang ditanami berbagai bunga dan tumbuhan cantik nampak indah terhampar di depan istana.
Komentar Terbanyak
Ogah Bayar Royalti Musik, PO Bus Larang Kru Putar Lagu di Jalan
Bisa-bisanya Anggota DPR Usulkan Gerbong Rokok di Kereta
Takut Bayar Royalti, PO Haryanto Ikut Larang Kru Putar Lagu di Bus