Mengenali Diri dan Kebesaran Alam di Gunung Sibayak
Sabtu, 15 Feb 2014 15:56 WIB

Suryono Siringoringo
Jakarta - Sebuah pendakian seringkali mengajarkan manusia banyak hal berharga. Mulai dari kebesaran alam, teman, sampai pribadi sendiri. Terkadang alam menempa manusia, seperti cerita pendakian dari Gunung Sibayak ini.Ya, dari sebuah adventure atau petualangan, kita akan merasakan kuatnya sebuah ikatan persahabatan. Dari sebuah momen kita akan mendapati sebuah asa dan pengalaman yang menambah kekayaan mental kita. Dari sebuah kebersamaan, jalinan itu menyatu dan menciptakan sebuah persaudaraan.Mungkin ini awal yang keluar jalur dari catatan perjalanan mengenai Pendakian Gunung Sibayak yang baru saja kita (Anak-anak Komunitas Veritas Unika) lakukan, namun itulah prolog dari sebuah kebersamaan.19 dan 20 Oktober 2013 mungkin menjadi sebuah cerita yang akan tertulis rapi dalam ingatan. Ada apa dengan 19 dan 20 Oktober? Pada kedua hari ini terealisasikan rencana anak-anak Komunitas Veritas Unika untuk mendaki Gunung Sibayak. Pendakian Gunung Sibayak ini sudah direncakan sejak bulan Juni lalu. Namun, karena banyaknya halangan sehingga rencana ini pun baru bisa direalisasikan di akhir bulan Oktober.Dengan 8 orang akhirnya kami berangkat, kami hendak menikmati keindahan Gunung Sibayak, menyerap oksigen murninya, memanjakan paru-paru kami yang memang sudah penuh sesak dengan polusi udara Medan dan sekitarnya. Sekitar pukul 10.00 WIB, kami berangkat dari Medan menuju Berastagi. Sekitar pukul 14.00 WIB, kami memulai pendakian.Langit sangat cerah pada saat itu. Cahaya mentari memberikan sinarnya kepada kita semua untuk menerangi Bumi, dan mungkin salah satu simbol untuk memberikan pencerahan kepada kita. Karena sinar mentari selalu memberikan sinarnya tanpa meminta balasannya. Udara gunung jelas segar dan sejuk. Cerobong asap pabrik tidak ada, suara bising kendaraan pun tak terdengar.Sekira dua puluh menit pertama perjalanan kami masih disuguhi dengan pemandangan hutan. Jalan memang masih datar. Namun demikian tetap saja nafasku tersendat, ya itu merupakan sebuah adaptasi. Paru dan jantung kita sedang bekerja ekstra keras. Dada berdebar hebat, keringat deras mengucur. Namun itu adalah sebuah perkenalan saja dari tubuh kita, namun setelah itu semua akan berjalan seperti biasa.Medan pendakian kini tak lagi tanah, tetapi berupa batuan yang sudah ditata seperti anak tangga yang justru itu membuat langkah kaki kami semakin berat saja. Dengan carier yang masih penuh dengan logistik dan tenda, menambah beban di pundak. Di tengah perjalanan, kami sempat berhenti beberapa kali untuk rehat sejenak dan saling bertukar tas/carrier satu sama lain. Hal ini memang kebijakan yang kami sepakati sebelumnya, agar semua bergiliran merasakan beban yang sama. Setelah kami rasa cukup, istirahatnya kemudian kami lanjutkan kembali pendakian itu.Sekarang jalur yang kami lalui semakin menantang. Batuan yang membuat langkah semakin berat, akar pohon yang saling melintang, dan kadang di selingi dengan batang pohon yang tumbang. Langkah demi langkah kami lewati, medan yang cukup membuat keringat ini keluar walau udara saat itu begitu dingin. Merangkak pun kami lakukan demi mencapai puncak. Nafas kami kembali tersengal. Jantung berdebar kencang. Paha dan betis kami semakin membuncit.Cuaca yang sedari tadi mendukung pun kini berubah menjadi mendung, dan hujan turun dengan derasnya. Karena hujan yang tak kunjung reda dan pakaian kami sudah terlanjur basah. Kami pun melanjutkan pendakian.Setengah perjalanan kami lewati, saya sempatkan menengok ke atas, dan apa yang kulihat sungguh luar biasa. Gunung Sibayak begitu gagah berdiri tepat di depanku dengan berselimut awan. Indah sekali, lalu kami lanjutkan untuk berjalan menuju puncak. Kurang lebih 1 jam kami berjalan, akhirnya kami sampai pada bibir Kawah Sibayak. Takjub saya melihat kawah itu. Aroma belerang tercium tajam dalam hidung.Sejenak saya memandang ke bawah, sang mentari pun mulai muncul dengan gagahnya. Muncul di sela sela awan yang menggumpal. Ku merenung saat itu, begitu indah ciptaan Tuhan ini. Ingin ku teriak pada dinding tebing agar terbawa oleh angin untuk menyampaikan begitu indahnya alam ini kepada seluruh manusia yang berada di bawah ketika itu. Sungguh nikmat.Pendakian kami belumlah usai, butuh 1 jam lagi untuk sampai di tempat kami memasang tenda. Oh iya, cuaca di Gunung Sibayak saat itu sering sekali berubah. Kadang hujan sebentar, kemudian reda sebentar, dan hujan lagi. Hujan pun perlahan mulai turun. Meskipun masih diiringi gerimis, kami berdelapan terus beranjak melanjutkan pendakian kami.Energi kami pun saat itu sudah cukup terkuras. Ditambah cuaca yang dingin. Hal ini membuat beberapa teman kami kecapekan, dan bahkan ada yang tergelincir. Dan beruntung tidak kenapa-kenapa, sehingga kami masih bisa melanjutkan pendakian.Melihat cuaca yang sangat tidak bersahabat saat itu, terlintas di pikiranku bahwa teman-teman wanita kami merasa menyesal mendaki gunung ini. Tapi saya percaya mereka akan mampu melanjutkan perjalanan. Mereka akan tetap mendaki. Mereka semangat, demi sebuah harga diri. Demi sebuah sunrise di atas gunung. Demi sebuah foto berpijak di antara awan-awan. Demi itu semua, dan yang pasti, demi sebuah pengalaman.Terkadang memang, jika kita sudah mendekati puncak, malah justru banyak sekali godaannya. Kami terus mendaki melewati tangga tak berujung ini, karena kami percaya, sebutan ini hanya untuk pendaki-pendaki pesimis yang tak pernah bisa membayangkan betapa indahnya puncak gunung. Pasti ada ujungnya, puncak gunung.Akhirnya, semua tanjakan kami lewati dengan sukses. Kami pun telah sampai. Tapi perjuangan belum usai. Hujan yang belum juga reda, dengan tubuh kami yang menggigil kedinginan, kedinginan yang amat sangat. Kedinginan yang super duper dingin, yang membuat seluruh anggota tubuh kami bergemertak, kami terpaksa harus mendirikan tenda untuk peristirahatan sementara. Sebuah pengalaman yang tak terlupakan.Setelah tenda telah berdiri, dan hujan mulai reda, kami pun memasak. Kami pun siap makan dan menyeduh kopi. Rasanya malam itu hujan benar-benar tak bersahabat dengan para pendaki Gunung Sibayak. Hujan sepertinya enggan beranjak pergi dari kami. Tenda kami pun kebanjiran dan diterjang badai.Sepanjang malam dengan terpaksa kami harus terjaga. Bahkan di tengah cuaca yang dingin harus buka baju karena sarung dan pakaian basah karena hujan. Karena tak bisa menentang kuasa alam, aktivitas malam itu pun kami lakukan hanya mengobrol saja di dalam tenda ditemani teh hangat dan susu jahe untuk menghangatkan tubuh.Di atas gunung yang dingin dan hujan yang masih deras. Dengan terpaksa kami tak bisa menyaksikan keindahan sunrise di pagi ini. Tak bisa menikmati pemandangan gunung yang sangat indah disinari oleh sang fajar. Tapi tak mengapa, di lain waktu mungkin akan terwujud.Saat mentari sudah mulai beranjak dari peraduannya dan hujan pun mulai reda. Saat saya dan kawan setendaku (bang Truly) memutuskan untuk istirahat pagi ini, tapi tiba-tiba dari tenda sebelah terdengar nyanyian lagu ulang tahun. Ternyata hari itu (20 Oktober), bang Truly Okto Purba ulang tahun. Kami yang sudah ngantuk dan ingin tidur, terpaksa tertunda. Aktifitas pagi ini pun kami lakukan untuk merayakan ulang tahun bang Truly dan setelah itu memasak untuk sarapan.Kami di puncak Gunung Sibayak tidak terlalu lama. Tak lain tak bukan, karena cuaca yang saat itu kurang bersahabat. Sebelum arah jarum jam menuju ke arah pukul 10 tepat, kami mulai berkemas-kemas dan menata barang yang tersisa ke dalam tas dan carrier kami. Tas dan carrier kami pun sekarang menjadi jauh lebih ringan jika dibandingkan ketika naik ke puncak.Setelah dua setengah jam berada di tengah hutan yang lebat, jalan setapak yang kami lalui menjadi lebih terbuka. Namun, langkah yang kami ayunkan perlu diperhatikan secara seksama. Karena, seringkali di sebelah kanan jalan yang dilalui adalah berupa jurang yang cukup curam. Di sini saya mendapatkan pelajaran penting bahwa Tuhan itu Maha Hadir. Jika memang kita mau bergantung pada-Nya, Tuhan akan hadir di sekitar kita dengan berbagai macam cara.Dalam keadaan ini, jika tangan kita mau mencoba berpegang pada ranting-ranting pohon atau rumput-rumput di sebelah kanan-kiri kita, kita bisa menghindari terperosok di jalan yang licin. Maka, yang perlu kita lakukan saat itu adalah cukup percaya pada apa yang kita pegang dan bersabar serta berhati-hati dalam melangkah. Dengan kata lain, kita perlu yakin, bahwa Tuhan senantiasa menyediakan pertolongan bagi hamba-Nya yang benar-benar percaya akan kehadiran-Nya. Itulah pelajaran utama yang bisa saya petik dari perjalanan pulang pada saat itu.Dari cerita perjalanan ini, saya mendapatkan pelajaran. "Apapun yang kita lalui dalam hidup ini, berilah makna yang berarti di dalamnya." Kami tak pernah peduli pada seberapa tinggi atau rendah gunung yang kami daki. Karena pencapaian pemaknaan dari proses pendakian yang kami lalui, lebih berarti daripada pencapaian pendakian itu sendiri.β"Mendaki gunung itu memang mempertaruhkan nyawa, namun itu cukup setimpal dengan hasil yang didapat. Dengan mendaki gunung, aku mengenal diri sendiri, kawan seperjalanan, dan Tuhan. Sifat asli akan muncul saat merasa lelah. Sesampai di puncak, aku merasa kecil dan tak berdaya melihat hamparan daratan luas ciptaan Tuhan. Tuhan dengan mudahnya menciptakan gunung, daratan, dan langit seluas ini. Memang benar bahwa Allah Maha Besar."Seperti halnya mendaki gunung menuju puncak. Banyak rintangan, banyak godaan. Itulah namanya kehidupan. Terkadang kita salah mengambil langkah dan terjatuh. Terkadang kita juga terluka, tapi mari bangkit lagi. Puncak hidupmu sudah menunggu, lalu kamu menunggu apa? Segeralah melanjutkan perjalanan. Hidup ini sebuah tantangan.
Komentar Terbanyak
Bandung Juara Kota Macet di Indonesia, MTI: Angkot Buruk, Perumahan Amburadul
Prabowo Mau Beli 50 Pesawat Boeing dari Trump: Kita Perlu Membesarkan Garuda
Prabowo Mau Borong 50 Boeing 777, Berapa Harga per Unit?