Inilah 'Cahaya Surga' di Gunungkidul

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Inilah 'Cahaya Surga' di Gunungkidul

Lee_anthony - detikTravel
Minggu, 18 Okt 2015 14:24 WIB
loading...
Lee_anthony
Mencapai Luweng Grubug setelah berjalan kaki 250 meter
Turun ke kedalaman 60 Meter
Menuju mulut Goa Jomblang
Mulut Goa Jomblang
Cahaya surga dan cerita kelam di Luweng Grubug
Inilah Cahaya Surga di Gunungkidul
Inilah Cahaya Surga di Gunungkidul
Inilah Cahaya Surga di Gunungkidul
Inilah Cahaya Surga di Gunungkidul
Inilah Cahaya Surga di Gunungkidul
Jakarta - Gua Jomblang, salah satu gua di Gunungkidul, DI Yogyakarta punya keunikan khas. Keunikan yang disebut cahaya surga, karena dari dalam guanya, ada sinar yang terang yang terlihat luar biasa mempesona.Lubang menganga berdiameter 50 meter menyambut saya begitu tiba di kawasan Gua Jomblang, Gunungkidul. Saya sendiri cukup kaget karena tidak menyangka lubangnya akan sebesar ini.Setelah menempuh hampir 2 jam dari pusat kota Yogja menuju Gunungkidul, tidak terlalu sulit untuk menemukan Goa Jomblang karena cukup banyak papan petunjuk ditempatkan di setiap belokan. Yang agak sulit mungkin untuk bermanuver di jalanan yang sempit dan sedikit rusak.Kenapa tidak di aspal? Pengelola memang sengaja membiarkan kondisi alam sekitar tetap alami, bukan hanya akses saja tapi banyak hal lain yang tetap di biarkan 'sederhana' tanpa tersentuh modernisasi.Kami berenam adalah rombongan pertama yang tiba di kantor Gua Jomblang. Ada baiknya sebelum berkunjung kita melakukan pemesanan karena kuota pengunjung 1 harinya hanya dibatasi sekitar 20 sampai 25 orang.Mas Budi yang menyambut kami menjelaskan karena pengunjung yang terlalu ramai dikhawatirkan dapat merusak kondisi alam di dalam gua. Hari itu total pengunjung yang masuk adalah 11 orang, kami berenam bersama dengan 5 turis asing yang cukup beruntung masih mendapat kuota untuk turun ke Gua Jomblang.Setelah menggunakan sepatu boot, harnes dan helm (perlengkapan wajib) kami siap di turunkan 60 meter ke dasar goa menggunakan teknik Single Rope Technic. Kita tinggal duduk manis (1 kali turun 2 orang) dan berterimakasih-lah kepada bapak-bapak berbadan besar yang menurunkan kita dengan cara manual.Pengelola sepakat tidak menggunakan mesin karena tetap ingin mengkaryakan penduduk setempat dan menghindari kerusakan mesin yang lebih sulit diatasi. Yang paling mendebarkan mungkin saat pertama kali kita harus melepaskan tangan dari tiang dan berayun ke tengah untuk diturunkan, karena saat itu nyawa kita sepenuhnya bergantung pada kuatnya bapak-bapak dan seutas tali.Pemandangan saat menggantung-gantung di ketinggian cukup menarik karena kadang kita harus melintas di antara ranting atau dahan pohon, karena lubang mengangga ini tercipta dari amblasnya dataran di atas sehingga beberapa tumbuhan ikut amblas dan tumbuh di dasar gua.Menurut Pak Gatot, pemandu yang ikut turun bersama kami, tumbuhan di dasar gua ini adalah tumbuhan purba yang tidak dapat ditemukan di mana pun dan tidak terdeteksi jenisnya karena berasal dari jutaan tahun silam.Setelah tiba di dasar Gua Jomblang kami masih harus menyusur di dalam gua menuju Luweng Grubug. Selama perjalanan, terhitung sekitar 3 atau 4 lampu disebar sepanjang 250 meter hanya untuk penanda jalan, bukan sebagai penerangan (lagi-lagi supaya unsur alaminya tetap terjaga).Hanya butuh waktu sekitar 15 menit untuk mendengar bunyi gemuruh air dan melihat seberkas cahaya terang. Di depan saya terpampang pilar cahaya yang masuk menembus dari Luweng Grubug.Rasanya sedikit tidak percaya di kedalaman 90 meter di bawah tanah ada kubah seperti Katedral dengan cahaya yang sangat indah. Suara gemuruh sungai bawah tanah terdengar jauh di bawah kami menimbulkan gema yang memantul di dinding-dinding gua. Perhatikan juga saat ada daun-daun yang jatuh dari mulut Luweng Grubug.Di sisi kanan terdapat 2 batu yang tercipta dari tetesan air yang merembes dari dinding-dinding gua. Yang satu berbentuk seperti jamur, yang satu lagi memilik tekstur seperti otak. Pak Gatot berkali-kali mewanti-wanti kami untuk tidak berfoto di atas batu, menginjak ataupun memukul batu tersebut.Menurut beliau, batuan dengan tekstur unik ini tercipta ratusan tahun lalu dan untuk membuat satu motif garis sepanjang 1 cm saja butuh waktu sekitar 2 sampai 3 tahun. Kami melihat sendiri betapa pedulinya Pak Gatot saat mendapati salah satu turis menginjak batu, beliau spontan berteriak melarang, mendekati batu dan langsung membersihkan batu dengan tangannya. Kembali beliau berpesan untuk menjaga alam agar tidak terjadi kejadian yang tidak diinginkan.Pak Gatot bercerita, dulu di tahun 1983, Jomblang pernah sepenuhnya terendam air karena luapan aliran sungai bawah tanah dan tingginya curah hujan. Tahun 2013, kejadian tersebut terulang karena aliran sungai yang tersumbat sampah, walaupun tidak separah tahun 1983, luapan di tahun 2013 sampai menutupi kedua batu kesayangan pak Gatot dengan lumpur.Selain itu Pak Gatot juga sempat bercerita khusus kepada saya setelah sedikit berbisik saya bertanya tentang kelamnya cerita Jomblang jaman dahulu. Dulu, tepat di tempat kita menatap indahnya cahaya surga di Luweng Grubug adalah tempat eksekusi pemberontak G30-S/PKI.Mereka dieksekusi dengan cara di dorong ke aliran sungai bawah tanah di bawah yang nanti mayatnya jika masih utuh akan muncul di Pantai Baron Gunungkidul. Eksekusi jenis ini masih dilaksanakan hingga tahun 1982 untuk menghilangkan nyawa pelaku kriminal kelas kakap.Saran dari saya bagi yang ingin ke Jomblang, ada baiknya memperhatikan cuaca karena buat apa turun ke bawah saat cuaca mendung dan tidak bisa menyaksikan 'cahaya surga' di Luweng Grubug. Waktu kunjungan Jomblang hanya dari pukul 10.00-13.00 WIB dengan kuota 25 orang sekali kunjungan, disarankan untuk memesan tempat terlebih dahulu.
Hide Ads