Belajar Sekaligus Mengenal Kain Tenun Troso di Jepara
Rabu, 29 Jul 2015 14:30 WIB

Suryadinlaoddang
Jakarta - Bagi Anda yang liburan ke Jepara, sempatkanlah mampir ke Desa Wisata Troso. Di sana traveler bisa mengenal tenun ikat Troso yang cantik. Tidak hanya itu, Anda juga dapat belajar dan melihat langsung proses pembuatannya.Tanda bahwa saya akan memasuki sentra tenun, tampak jelas. Lepas dari Pasar Pecangaan, persis di samping utara Masjid Walisongo, Gerbang Selamat datang berdiri kokoh. Inilah pintu gerbang bertuliskan Selamat Datang di Sentra Tenun Troso yang menyambut. Hiasannya bernuasa kain tenun ikat tradisional. Ya, inilah Troso, desa tenun yang terletak 15 kilometer sebelum kota Jepara. Bagi banyak orang, Troso mungkin masih asing. Berbeda dengan Jepara, kota kelahiran Pahlawan Nasional R.A Kartini yang mahsyur dalam sejarah dan dikenal dengan sebutan kota ukir. Tapi wawasan saya bertambah setelah istri saya, Ida Masruroh, mengajak berlibur ke desa kelahirannya. Ini dia sentra tenun yang penuh pesona itu, Troso.Ketatak tak tak, ketatak tak tak, ketatak tak tak, ketatak tak tak. Suara itu membuat tidur terusik. Ingatan menerawang jauh ke kota kelahiran di Sengkang. Suara serupa kerap saya dengar di kampung halaman. Suara khas Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM), suara yang juga membangkitkan rasa rindu pada ibunda tercinta.Suara itu berasal dari rumah H. Sofwan Sukri yang berdempetan dengan ruang kerja para penenun yang terletak di pojok jalan desa. Para pekerja berseliweran membawa benang dan kain hasil tenunan. Waktu menunjukkan pukul 07.00 pagi, tapi para pekerja sudah siap di mesin masing-masing. Rutinitas dimulai dengan membuka plastik selubung dan dilanjutkan dengan membersihkan perangkat-perangkat tenun dari debu.Cahaya matahari menerobos dari balik lembaran atap transparan yang terselip di antara genteng. Atap ruang ini tak dipasangi plafon. Dengan berlantaikan tanah yang sudah dipadatkan, ruang kerja ini cukup sejuk bagi para pekerja, meski ada juga pekerja yang bertelanjang dada dan berpeluh keringat. Bekerja tanpa baju ini sih sudah tradisi saya dari dulu Mas, komentar Sukarlan (33) yang tercatat sudah 13 tahun bekerja di Industri Tenun milik Pak Kaji Sofwan (Panggilan akrab para pekerja pada sang pemilik H. Sofwan Sukri). Para pekerja sendiri umumnya adalah penduduk dari Desa Troso dan desa sekitarnya. Mengingat Desa Troso merupakan salah satu basis organisasi masyarakat Nahdatul Ulama (NU), maka di desa ini juga banyak terdapat Pondok Pesanteren dan sekolah formal bernafaskan Islam. Ini pulalah yang menjadi alasan, munculnya istilah Kamisan bagi para pekerja saat menerima gaji mingguan. Esok Jumat masyarakat Troso libur total dari segala aktivitas kerja dan sekolah. Ini berbeda dengan kota lain di Pulau Jawa yang mengenal istilah Setunan untuk penerimaan gaji pada hari Sabtu.Selain kamar mandi dan dapur khusus bagi pekerja, ruang berukuran 12 x 8 Meter ini juga punya Full Music. Lagu-lagu dangdut dari Rhoma Irama setiap hari menyambangi telinga para pekerja, kadang juga diputar lagu Iwan Fals.Berbeda dengan ATBM di Wajo Sulsel, selain memproduksi kain sutera ATBM, di Troso juga memproduksi kain katun, filamen, rayon, bahkan serat tumbuhan. Meski kebutuhan akan benang sangat tinggi, tapi sayang para pengrajin kadang harus gigit jari karena langka dan mahalnya bahan baku. Saat ini, bahan baku tersebut harus diimpor dari Tiongkok. Para pengrajin seringkali harus ke kota Bandung untuk berburu bahan baku. Itupun harus berebut dengan para perajin batik dari Pekalongan dan Solo. Sementara bahan baku berupa serat tumbuhan seperti serat nenas, serat kulit pisang, serat eceng gondok, serat pandan, atau lidi kelapa didatangkan dari kota Tegal atau kota Salatiga Jawa Tengah. Pewarna kain atau alat bantu kerja lainnya umumnya mudah didapatkan di Kota Kudus atau Kota Semarang.Proses pembuatan kain dimulai dengan memindahkan helai-helai benang dari gulungan besar ke gulungan plastik berukuran lebih kecil yang disebut pedati plastik. Pedati-pedati ini kemudian dipasang pada rangka gulir untuk selanjutnya dipindai berlapis dengan alat yang disebut bum. Proses ini disebut ngebum. Benang-benang yang telah masuk dalam has bum kemudian dipindahkan ke mesin tenun. Proses ngebum ternyata tidak dilakukan di ruang kerja milik Pak Kaji Sofwan, tetapi dilakukan di rumah adik kandungnya Lek Shodiq (56). Saat bertandang ke sana, Lek Shodiq sedang asyik memutar mesin bum-nya. Hari ini ia diminta kakaknya untuk membuat dua jenis gulungan, yakni gulungan dengan 80 kali putaran dan 140 putaran. Setiap putaran setidaknya berukuran 2 meter benang, sehingga masing-masing gulungan akan menghasilkan 160 Meter dan 280 Meter kain. Proses ini memerlukan ketekunan dan ketelitian. Tidak jarang ada benang yang putus sehingga harus diurai dan disambung kembali. Uniknya penyambungan benang putus tidak memerlukan simpul ikatan, tetapi cukup mengaitkan benang yang putus ke benang sampingnya dengan cara diplintir. Untuk memudahkan pekerjaan, mesin ini dilengkapi alat penghitung putaran analog, yang bekerja seiring dengan berputarnya has mesin bum itu sendiri.Selain kain polos, tenunan Jepara juga mengenal tenun ikat. Disebut kain ikat, karena proses pewarnaannya dibantu dengan cara mengikat, lebih tepatnya dibebat. Benang-benang polos setelah diuntai seukuran gengaman tangang, pada bagian yang tidak ingin diwarnai dibebat dengan tali rafia. Untaian benang tersebut selanjutnya diwarnai dengan cara direbus sesuai warna yang dikehendaki. Jika bagian yang tidak dibebat tadi hendak diwarnai lagi, maka bebatan tali rafianya dibuka. Sedangkan bagian yang sudah diwarnai sebelumnya gantian dibebat. Selanjutnya proses pewarnaan diulangi kembali. Sebelum dilakukan proses pewarnaan kedua dan seterus, benang hasil perwarnaan pertama harus dijemur terlebih dahulu.Hasil dari tenun ikat ini sering disebut motif ikat Jepara. Warna hitam, putih, ungu dan merah adalah warna dominan yang sering ditemui. Ini merupakan motif tradisional khas Troso Jepara. Ini pulalah yang menjadi alasan sehingga motif ikat ini dipilih untuk dipajangkan pada pintu gerbang Desa Troso.Hari itu, setelah menikmati makan siang dengan hidangan laut hasil racikan Bu Kaji Solekhah (istri pak Kaji), obrolan dilanjutkan dengan keluh kesah Pak Kaji tentang pasar kain yang akhir-akhir ini lesu.Sementara di sudut lain meja makan, telah tertata potongan-potongan kain hasil tenunan minggu ini yang siap dikirim ke Jepara. Uniknya, Pak Kaji ternyata lebih senang mengantarkan langsung kain-kain tersebut ke Bali. Lebih enak di hati, katanya. Dengan menggunakan fasilitas bus malam, saban minggu ia berangkat ke Bali. Setibanya di Pulau Dewata, ia menyewa sepeda motor untuk mengantar dan menawarkan pesanan ke Ubung, Ubud, Legian, Kuta, dan Pasar Sukawati. Sementara untuk pesanan ke Kota Pekalongan diurus oleh saudara iparnya. Begitu pula di Yogyakarta, pesanan kain ditangani oleh anak dan menantunya. Tidak jarang para pembeli dari Solo, Klaten, Yogyakarta, Jember, Tasikmalaya dan kota Jepara sendiri datang langsung ke rumah Pak Kaji Sofwan. Berdiri sejak tahun 1989 dengan nama Industri Tenun Ikat Tradisional Pusaka Jaya, Usaha Pak Kaji Sofwan sedikitnya telah mempekerjakan 20 Orang, belum termasuk pekerja yang mengerjakan pesanan di rumah masing-masing. Sejak kasus Bom Bali I dan II, omset penjualan turun drastis. Untuk itulah, sejak tahun 2009 berbagai inovasi dilakukan oleh Pak Kaji, salah satunya dengan memberi merek pada hasil tenunannya. Merek A.Z Fin adalah merek yang diambil dari nama putranya Ahmad Zainal Arifin. Selain itu, kain produksinya juga sudah diberi kemasan tersendiri. Adanya kemasan ini memberi kesan berkelas pada kain dengan merek A.Z Fin ini. Untuk menyasar pasar dan pembeli baru, ia juga mulai memproduksi taplak meja dan hiasan dinding dari kain atau kombinasi antara tenun ikat dan lidi daun kelapa.Kediaman Pak Kaji Sofwan yang pada awal usahnya hanyalah rumah berdinding gedek bambu dan papan, kini telah berubah menjadi bangunan permanen dengan 6 kamar tidur, ruang makan, ruang keluarga, dan garasi. Sebagaimana rumah orang Jepara pada umumnya, perabotnya terbuat dari kayu Jati hasil ukiran khas Jepara. Perabot-perabot tersebut ternyata sangat pas jika diaplikasikan dengan kain hasil tenunan pak Kaji sendiri. Ruang tamu dengan taplak kain tenun bermotif batik Jawa-Bali dan taplak dari lidi daun kelapa adalah buktinya. Hal ini ditemui pula pada meja makan, dan seprei dan selimut. Tak ketinggalan pada busana keluarga besar Pak Kaji Sofwan sendiri.Di usianya yang ke-58, Pak Kaji Sofwan masih terlihat segar bugar, meski rokok Dji Sam Soe tidak pernah lepas dari jarinya. Cukup saya yang jadi perokok, anak dan cucu-cucu saya nanti tidak boleh mewarisi kebiasaan buruk ini, itu pesan beliau yang menurut putrinya, sering diungkapkan. Ayah 8 anak dan kakek dari 4 cucu ini bertekad untuk terus mempertahankan usaha tenunnya. Ia ikut mengabadikan nama Troso sebagai sentra tenun.
Komentar Terbanyak
Bandung Juara Kota Macet di Indonesia, MTI: Angkot Buruk, Perumahan Amburadul
Prabowo Mau Beli 50 Pesawat Boeing dari Trump: Kita Perlu Membesarkan Garuda
Bandara Kertajati Siap Jadi Aerospace Park, Ekosistem Industri Penerbangan