Berkunjung ke Kampung Megalitikum di Flores

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Berkunjung ke Kampung Megalitikum di Flores

Frida Primadia - detikTravel
Selasa, 05 Mei 2015 11:20 WIB
loading...
Frida Primadia
Salah satu rumah kepala suku
Desa Bena
Seorang anak Bena yang sedang menenun
Menhir dan Dolmen, Batu-batu megalitikum
Ngadhu yang berada di depan rumah adat
Berkunjung ke Kampung Megalitikum di Flores
Berkunjung ke Kampung Megalitikum di Flores
Berkunjung ke Kampung Megalitikum di Flores
Berkunjung ke Kampung Megalitikum di Flores
Berkunjung ke Kampung Megalitikum di Flores
Jakarta - Flores tidak hanya memiliki keindahan alam laut saja, namun juga budaya yang kaya. Salah satunya adalah kampung megalitikum yang dapat dijumpai di Desa Adat Bena, Bejawa. Anda dapat menjumpai batu dari zaman megalitikum dan rumah adat yang tradisional.Trip saya kali ini bernama overland flores, dan salah satu destinasi memuat nama Kampung Bena. Jujur saya belum pernah dengar nama desa tersebut sebelumnya. Pemandangan desa ini tidak seperti perkampungan desa pada umumnya, bukan berada di atas rerumputan hijau atau di kelilingi hamparan sawah seperti desa di daerah Jawa. Bena seperti berada di atas kapal karam yang terbuat dari batu. Iya, Bena merupakan desa megalitikum yang berada 19 km dari selatan Bejawa. Tepatnya terletak di Desa Tiwuriwu, Kecamatan Aimere, Nusa Tenggara Timur. Kiri kanan kampung berjajar rumah yang terbuat dari kayu yang kokoh beratapkan rumbia-ijuk. Panjang kampung ini sekitar 375 meter membentang dari utara ke selatan, dan memiliki lebar sekitar 80 meter. Untuk masuk dan keluar dari kampung ini cuma ada satu jalan yang berada di sebelah utara kampung. Bena merupakan satu-satunya kampung megalitikum di Indonesia. Megalith merupakan sarana yang biasanya digunakan oleh masyarakat zaman dahulu untuk melakukan upacara adat, sebagai media untuk berkomunikasi dengan roh leluhur dengan menyertakan pengorbanan hewan. Rumah Adat Bena beratapkan ijuk dan bergaya tradisional sekali. Sakalobo adalah sebutan untuk rumah keluarga inti laki-laki, sedangkan Sakapu’u adalah sebutan untuk rumah keluarga inti perempuan.Terdapat sekitar 45 rumah di kampung ini, dan hampir di setiap rumah tersebut kita bisa menemukan hiasan dari tengkorak atau tanduk kerbau serta rahang babi. Hiasan-hiasan tersebut merupakan sisa dari hewan yang di korbankan saat upacara adat. Di tengah-tengah halaman kampung berdiri susunan bangunan batu yang bernama Bhaga dan Ngadu. Bangunan tersebut merupakan simbol untuk nenek moyang mereka. Bangunan Ngadu merupakan simbol nenek moyang laki-laki, biasanya letaknya ada di depan setiap rumah adat.Sedangkan Bhaga merupakan simbol untuk nenek moyang perempuan, berbentuk seperti pondok kecil. Ngadhu berupa bangunan tiang tunggal dan memiliki atap dari serat ijuk menyerupai payung teduh. Untuk membuat tiang Ngadhu biasanya dipilih kayu khusus yang keras karena biasanya berfungsi sebagai tiang gantungan hewan kurban saat upacara adat atau pesta adat.Suasana kampung yang sarat akan hal hal tradisional membuat kampung ini menarik untuk di jelajahi. Tidak hanya itu, masyarakat Bena masih melakukan ritual, adat istiadat dan menghasilkan kesenian kerajinan tangan. Untuk sehari-harinya, masyarakat Bena menggunakan bahasa Nga’dha untuk berkomunikasi. Penduduk Bena bermata pencaharian sebagai peladang. Namun para wanita Bena juga harus dapat menenun kain. Corak kain yang mereka tenun beragam dan menarik, biasanya bermotif bentuk Ngadu atau Bagha dan hewan seperti Kuda, Gajah, atau kerbau. Bahan kain tersebut ramah lingkungan karena berasal dari serat tumbuhan. Hasil tenun tersebut sangat eksotis dan biasanya di tawarkan kepada para wisatawan yang datang.Penduduk Bena percaya akan keberadaan dewa bernama Zeta yang menghuni gunung Inirie yang melindungi kampung mereka. Sebagian masyarakat Bena memang masih menganut paham kepercayaan, sedangkan sebagian lainnya memeluk agama Katolik namun mereka tetap melaksanakan upacara adat istiadat. Sejak dulu penduduk Bena juga percaya bahwa gunung, batu, dan hewan harus dihormati sebagai bagian dari kehidupan. Saya kagum terhadap mereka masyarakat Bena yang hidup dengan memanfaatkan bahan bahan alami ramah lingkungan dan selalu menjunjung tinggi kearifan lokalSaat saya tiba di kampung ini, ada kedamaian yang saya rasakan. Penduduk disini sangat ramah dalam menyambut saya dan rekan perjalanan saya. Mereka tidak keberatan ketika kami mengambil gambar mereka dengan menggunakan kamera kami. Mereka juga tidak keberatan untuk di ajak foto bersama. Seorang bapak juga menawari kami Kemiri hasil ladang mereka. Mereka juga menawarkan kami kain hasil tenun mereka. Harga yang mereka tawarkan beragam tergantung bentuk kain ikatnya. Untuk kain ikat yang biasa di gunakan sebagai ikat pinggang atau ikat kepala, wisatawan hanya perlu merogoh kocek sekitar Rp 50.000 ke atas. Sedangkan untuk kain ikat berukuran besar yang bisa kita gunakan untuk alas meja atau lainnya, mereka menawarkan harga Rp 300.000. Harga yang mereka tawarkan sebenarnya lebih murah jika di bandingkan ketika barang tersebut sudah masuk ke toko-toko souvenir. Semakin banyak wisatawan yang datang ke sana, kesempatan mereka untuk menjual dan menawarkan hasil ladang dan hasil tenun mereka semakin besar. Untuk masuk ke kampung ini kita tidak di pungut tarif tertentu, namun jangan lupa membawa uang untuk membeli hasil tenun dan hasil ladang mereka.Masih banyak cerita yang menarik yang bisa di tawarkan saat kamu menjelajahi kampung Bena ini. Kita bisa mendengarkan cerita mengenai adat istiadat kepercayaan mereka yang sudah ada dari zaman pra sejarah, yang tidak kita temukan di perkotaan. Saat terbaik untuk mengunjungi kampung ini adalah pada tanggal 15 Januari, karena pada tanggal tersebut masyarakat Bena merayakan tahun baru dan biasanya ada upacara adat. Rasakan sendiri suasana kampung tradisional yang jauh dari pengaruh moderenisasi, apalagi kecanggihan alat telekomunikasi.
Hide Ads