Menelusuri Legenda Gua Kreo di Semarang
Minggu, 21 Jun 2015 10:31 WIB

Asih Rahayu
Jakarta - Gua Kreo di Semarang, Jawa Tengah bukanlah gua biasa. Gua ini dipercaya sebagai tempat petilasan para wali songo dan legenda kawanan kera. Mari, kita jelajahi Gua Kreo!Gua terkadang identik dengan hal yang berbau mistis. Ketika mendengar kata 'gua' pikiran terbayang pada tempat yang lembab, gelap dan horor. Saya pun merasa demikian. Tetapi saya tidak begitu takut untuk masuk dan menelusuri gua, selama niatnya baik. Terutama saat datang ke Gua Kreo.Gua Kreo adalah salah satu objek wisata yang terletak di Kelurahan Kandiri Kecamatan Gunung Pati, Semarang. Warga Semarang mungkin tidak asing lagi dengan objek wisata yang satu ini dan masih dalam satu lokasi yang sama dengan Bendungan Jatibarang. Perjalanan menuju Gua Kreo dari Semarang Kota menempuh waktu Β± 30 menit apabila lancar.Bagi yang ingin berkunjung, saya sarankan menggunakan motor atau mobil. Sebab, tidak ada angkutan yang langsung menuju tempat tersebut. Harga tiket masuk Gua Kreo sebesar Rp 2.500/orang (termasuk asuransi).Gua Kreo merupakan gua tempat hidupnya ratusan ekor kera. Oleh karena itu, ada asuransinya (kalau ada traveler yang diterkam). Tapi jangan khawatir, kera di sini baik-baik kok tidak nakal, tidak seperti kera yang ada di Bali yang suka pecicilan mengambil barang pengunjung. Kera di Gua Kreo, asalkan jangan disentuh dan hanya sekedar memberi makan, dia akan mendekat dengan senang hati.Legenda Gua Kreo berdasarkan informasi yang saya dapat dari guide bernama Bapak Syafei, dulunya sebagai tempat petilasan Sunan Kalijogo, Sunan Bonang, Sunan Ampel, dan Sunan Gunung Jati. Sunan-sunan tersebut ingin membangun sebuah Masjid di daerah Demak dengan menggunakan batang pohon sebagai pondasi. Ketika batang ingin ditebang oleh para sunan, kejadian aneh terjadi dimana batang tidak bisa ditebang.Dalam perjalanan, Sunan bertemu dengan kawanan kera ekor panjang. Mereka pun saling berkomunikasi. Kera yang ditemui memiliki warna bulu yang berbeda, ada warna hitam, putih, kuning dan merah. Masing-masing warna memiliki arti tersendiri. Kera hitam melambangkan tanah yang subur, kera putih melambangkan kesucian, kera kuning melambangkan angin dan kera merah melambangkan keberanian.Kawanan kera mengajak Sunan ke sebuah tempat untuk meminta petunjuk Yang Kuasa. Dalam persemediannya, sunan diberikan petunjuk agar batang pohon bisa ditebang. Sunan pun kembali ke dalam hutan untuk menebang batang dengan menggunakan selendang yang dibawanya. Seketika itu, batang pohon berhasil ditebang. Lalu, batang dibelah menjadi dua bagian dan dibawa ke tempat persemedian.Keesokan harinya, Sunan membawa kembali batang tersebut menuju Masjid. Kawanan kera saat itu ingin ikut dengan para Sunan. Akan tetapi, Sunan tidak mengijinkan kawanan kera untuk ikut. Sunan menitipkan amanah untuk kawanan kera agar menjaga tempat ini (yang sekarang dikenal dengan nama Gua Kreo).Kera pun menuruti kata-kata Sunan. Dalam perjalanan, batang yang dibawa oleh para Sunan terjatuh dan tenggelam. Namun, batang sisanya tertanam (ditancapkan) yang dikelilingi oleh pohon kecil bernama Pohon Kerinci.Semasa hidupnya, Sunan suka dengan makanan sate kambing. Sampah berupa tusukan sate dibuangnya ke tanah dan tumbuh menjadi bambu yang tercium seperti bau kambing. Bambu tersebut kini dijaga dan dipelihara oleh warga sekitar.Gua Kreo yang hingga saat ini dijaga olehΒ sekitar 650 ekor kera panjang yang konon jumlahnya tetap (konstan) tidak bertambah dan berkurang. Warga tidak pernah menemukan bangkai kera yang mati. Kawanan kera membagi kelompoknya menjadi 2 kubu yaitu kubu atas dan kubu bawah.Masing-masing kubu mempunyai 2 raja. Alasan kenapa kera tidak boleh disentuh atau dipegang karena selalu dilindungi oleh rajanya. Rajanya akan marah, jika anak buahnya disentuh.Kera di sini mudah sekali berinteraksi dengan para pengunjung. Setiap bulan Syawal di Gua Kreo digelar tradisi Sesaji Rewondo, sebagai bentuk rasa peduli terhadap kera-kera dengan memberinya makan. Makanan (layak seperti makanan manusia) yang khusus diperuntukkan oleh kera tidak boleh dimakan oleh manusia.Pernah kejadian ada yang memakan makanan tersebut tiba-tiba merasakan hal aneh pada dirinya. Fisik Guaa Kreo yang saya lihat beberapa waktu lalu masih terjaga dengan baik walaupun ada coretan tangan jahil para pengunjung. Hingga saat ini, masih ada segelntir orang yang melakukan semedi di dalam gua mulai pukul 24.00 WIB hingga pukul 04.00 WIB.Guide saya menuturkan bahwa ketika dia memasuki gua ini (meskipun sudah berkali-kali), rasa merinding terkadang muncul. Dan saya mendapatkan kejadian aneh, ketika saya memasuki gua di samping, ada hawa yang berbeda, tiba-tiba kamera ponsel saya tidak bisa digunakan saat ingin memotret.Gua Kreo ini memiliki kedalaman 7 m. Masih dalam satu tempat yang sama, adapun gua lain yang berada di sisi kiri Gua Kreo yaitu Gua Landak dengan kedalaman 8m. Gua Landak konon katanya, gua yang dahulu dihuni oleh putri landak dan kawanan hewan landak. Tapi saat ini gua tersebut sudah kosong, tidak ada hewan landak yang hidup di sana.Sehabis dari gua, selanjutnya saya diajak oleh guide (Pak Syafei) ke atas untuk menyusuri kawasan ini lebih dalam. Tanjakan ke atas lumayan bikin saya capek, tapi pemandangannya bagus dan tidak boleh dilewatkan. Bagian atas, saya ditunjukkan dan diceritakan oleh Pak Syafei tempat yang biasa digunakan oleh warga untuk reriuangan selametan yang diadakan setiap Selasa kliwon dan Jumat kliwon.Lalu, Pak Syafei pun bercerita tentang lumbung padi yang dahulu dibuat oleh warga sekitar. Lumbung yang berbahan dasar batu sebanyak 3 buah dipikul oleh warga berjumlah 9 orang. Tidak kuat menahan beban yang dibawa, lumbung tersebut pun ada yang terbelah dan hingga saat ini belahannya belum ditemukan.Saran terakhir saya, seandainya traveler ingin berkunjung ke tempat ini siapkan fisik dan jaga kesehatan. Sebab, 150 anak tangga siap menanti Anda. Selamat bertualang di Gua Kreo!
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!