Pesona Ranah Minang, dari Bukittinggi Sampai Sawahlunto

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Pesona Ranah Minang, dari Bukittinggi Sampai Sawahlunto

Novi Kusumayanti - detikTravel
Senin, 08 Des 2014 14:45 WIB
loading...
Novi Kusumayanti
Jembatan Siti Nurbaya - Padang
Informasi Objek Wisata - Sawahlunto
Istano Basa Pagaruyuang
Museum Goedang Ransum - Sawahlunto
Pesona Ranah Minang, dari Bukittinggi Sampai Sawahlunto
Pesona Ranah Minang, dari Bukittinggi Sampai Sawahlunto
Pesona Ranah Minang, dari Bukittinggi Sampai Sawahlunto
Pesona Ranah Minang, dari Bukittinggi Sampai Sawahlunto
Jakarta - Rancak Bana, istilah Minang yang sangat menggambarkan indahnya Sumatera Barat. Mulai dari Jam Gadang, Jembatan Siti Nurbaya, Lembah Harau, hingga kulinernya yang pedas tapi nikmat. Traveling ke Sumatera Barat pasti mengasyikkan!Kali ini saya akan terbang ke wilayah barat Indonesia, tepatnya menuju Sumatera Barat. Tentunya masih akibat beli tiket pesawat promo yang murah dan lagi-lagi bepergian seorang diri. Pastinya tetap dengan penerbangan pertama, agar saya punya cukup waktu.Sempat bingung setelah keluar dari bandara. Saya harus naik apa ya untuk menuju Bukittinggi? Kata teman saya, di bandara nanti banyak travel yang langsung ke Bukittinggi.Β Tapi kok saya tidak melihat orang naik travel ya? Yang saya lihat justru calo yang menawarkan angkutan ke berbagai kota. Kalau saja ada penumpang lain dalam mobil yang menuju Bukittinggi, saya pasti ikut.Β Tapi ini mobilnya saja masih kosong, saya tidak mau ambil resiko apapun. Akhirnya saya memutuskan untuk naik bus Tranex. Karena informasi yang saya dapat, dari pool Tranex di Padang, ada kendaraan Tranex yang langsung menuju Bukittinggi.Ongkos Tranex ini Rp 22 ribu. Tapi saat saya bayar dengan Rp 25 ribu kok tidak dikasih kembaliannya ya? Kalau memang tidak ada uang kecil untuk kembalian, ya bilang saja. Lumayan jauh jarak antara bandara ke pool Tranex, dan melewati mall dan Hotel Basco.Sampai di pool Tranex saya beli tiket Tranex untuk ke Bukittinggi. Harga tiket Rp 18 ribu, dan saya memberikan Rp 50 ribu. Masa cuma dikasih kembalian Rp 30 ribu, mungkin karena saya terlihat seperti turis kali ya.Di tengah perjalanan, hujan turun dengan derasnya. Dari Padang menuju Bukittinggi ada dua rute, yaitu melalui Sicincin atau melaui Padang Pariaman. Jalan menuju Bukittinggi berkelok-kelok.Β Sayang saya menggunakan travel bukan mobil pribadi. Saat melewati lembah Anai, saya hanya bisa melihat dari kejauhan air terjun yang keluar dari tebing di lembah Anai.Akhirnya hampir pukul 13.00 siang sampai di Bukittinggi. Saya turun di dekat terminal Aur Kuning dan lanjut dengan angkutan umum menuju Hotel Jogja, melewati martabak kubang Hayuda. Mungkin nanti sore bisa mencicipi martabak yang namanya sudah terkenal itu.Β Angkutan umum berhenti persis di depan penginapan saya. Hotel Jogja, konon hotel ini merupakan salah satu hotel bersejarah dan berada tepat di bawah Jenjang Gudang, tangga menuju Pasar Atas, Los Lambuang dan Jam Gadang! Penginapan dengan lokasi yang sangat strategis.Setelah menyerahkan KTP, kunci kamar pun diberikan kepada saya. Saya dapat kamar di depan, dekat dengan front desk. Kamar tidak dilengkapi dengan kipas angin atau bahkan AC. Disediakan juga sajadah di setiap kamar.Oiya, di Bukittinggi tidak ada minimarket atau convenience store yang sudah terkenal namanya seperti yang ada di kota lainnya. Hanya ada minimarket lokal, tapi yang dekat dengan penginapan cukup besar dan lengkap.Setelah beberes, saya bergegas meninggalkan penginapan menuju Pasar Atas untuk melihat-lihat kerudung dengan aneka warna dan teknik sulam. Wah, kalap belanja kerudung di Pasar Atas. Padahal saya hanya berbelanja di satu toko loh.Akhirnya setelah lumayan lama memilih, tujuh kerudung aneka warna dengan berbagai teknik sulaman berpindah dari Uni penjual ke tangan saya. Selain kerudung, di Pasar Atas ini jugal di jual mukena ataupun kain bahan baju dengan aneka sulam.Selesai belanja aneka kerudung, saya menuju Los Lambuang yang masih dekat Pasar Atas ini. Akhirnya saya tahu kenapa disebut Los Lambuang, karena di tempat ini adalah tempat makan dan aneka jajanan. Semacam foodcourt gitu.Β Tapi foodcourt ini istimewa, karena hampir semua counter menjual nasi kapau. Tinggal pilih mau makan di kedai mana. Namanya juga nasi kapau ya, yang dijual nasi dengan aneka lauk yang sebagian besar dimasak dengan santan dan pedas.Karena saya tidak suka makanan pedas, saya pilih lauk yang aman saja. Daging dendeng cabe hijau dan tahu. Cabe hijau bisa disingkirkan biar tidak terlalu pedas. Uni penjual juga menambahkan kuah gulai di nasi saya. Sedikit sih, tapi efeknya dasyat.Β Itu makanan jadi pedas banget! Salut sama dua anak kecil itu yang dengan lahapnya makan. Oiya, ternyata tahu yang saya pesan tuh tahu yang dimasukkan ke dalam usus sapi yangan namanya gulai Tambusu. Pantas saja agak alot waktu saya potong.Selesai makan siang dengan kepedasan, langsung menuju Jam Gadang. Dari sekitar Jam Gadang bisa terlihat Kota Bukittinggi. Mungkin karena letaknya di bukit dan tinggi tempatnya, maka disebut Bukittinggi. Mungkin loh.Yang unik dari Jam Gadang ini adalah angka empat Romawi yang ada pada jam tersebut, tercetak IIII bukan IV. Sebetulnya kalau diperhatikan, jam dengan angka Romawi seperti ini juga ada di stasiun Kota, Jakarta. Cuma yang di stasiun Kota jauh lebih kecil.Di dekat Jam Gadang ada Mall Plaza Bukittinggi dan beberapa outlet makanan yang sudah saya kenal, seperti pizza dan ayam goreng. Yah kalau nanti malam saya tidak menemukan makanan yang tidak pedas, bisa makan disitu.Ternyata dengan berjalan kaki saya sampai di Kampung Cina. Disini banyak berdiri restoran dengan aneka menu. Di Kampung Cina ini juga saya menemukan kelenteng, juga Jembatan Limapeh di atas jalan raya di Kampung Cina yang menyerupai tembok gerbang.Tadinya saya mau ke Janjang Seribu, tapi setelah bertanya dengan warga setempat, ternyata lokasi Janjang Seribu cukup jauh dari tempat saya berada saat ini. Tidak ada angkutan umum dengan rute ke sana, harus jalan kaki dulu.Saya perhatikan tempat di Bukittinggi ini naik dan turun. Jadi kalau terletak di atas, kita harus menaiki tangga berundak. Kampung Cina termasuk berlokasi di bawah. Untuk menuju kebun binatang, saya naik tangga berundak.Kebun binatang di Bukittinggi ini disebut Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan. Setelah membayar tiket masuk yang juga sekaligus tiket menuju Fort De Kock, saya mulai menelusuri kebun binatang ini.Β Tidak terlalu luas sih kebun binatang ini, tapi lumayan bersih. Di tengah kebun binatang ada sebuah rumah gadang. Ternyata itu adalah museum yang dinamakan Museum Rumah Adat Baanjuang.Di depan rumah gadang ini terdapat sepasang patung manusia yang memakai baju adat khas Minang. Untuk masuk ke rumah gadang ini harus membayar tiket masuk. Di dalam rumah ini terdapat beberapa hewan yang sudah diawetkan.Β Tidak jelas juga sih konsep dari museum ini. Di museum ini bisa sewa baju adat khas Minang. Kan keren tuh pake baju Minang terus foto-foto di depan rumah gadang.Saya melanjutkan jalan siang menuju Jembatan Limapeh. Jika kita berjalan hampir ke tengah jembatan, maka kita bisa merasakan jembatan bergoyang-goyang. Saat saya ke sana tidak banyak orang yang berkunjung ke kebun binatang, hanya beberapa orang saja yang melintasi Jembatan Limapeh.Akhirnya sampai juga di seberang kebun binatang yang berarti saya sudah sampai di area Fort De Kock. Tempat ini lebih sepi dari pada di kebun binatang, dan tempatnya seperti hutan kota. Bangunan yang saya lihat di sini tuh seperti bangunan gudang air, yang ternyata itulah Benteng De Kock.Β Saya membayangkan bentuk benteng itu seperti yang saya lihat di Pulau Kelor, Benteng Martello, atau paling tidak seperti yang di Yogyakarta, Benteng Vredeburg. Fort De Kock tidak terlihat seperti benteng, bangunannya kecil. Kalau saja tidak ada meriam di depannya, orang pasti bertanya dimana bentengnya.Selesai dari sini, saya melanjutkan perjalanan ke Ngarai Sianok. Jalan di Bukittinggi ini menurun dan menanjak. Demikian pulan jalan menuju Ngarai sianok. Kalau pas turun enak jalannya, tapi saat menanjak lumayan bikin kaki pegal.Jalan menuju Ngarai terlihat cukup sepi. Saya sempat bertanya ke anak sekolah arah menuju Ngarai. Mulai memasuki kawasan Ngarai, suasana berubah sejuk. Di sebelah kiri bukit dan di kanan lembah.Β Ternyata bukit yang saya lewati itu adalah gua Jepang yang merupakan benteng pertahanan Jepang pada masa penjajahan Jepang. Berbentuk seperti bunker yang berkelok. Informasi yang saya dapat, pintu masuk ke gua ini ada beberapa, dan salah satunya di Ngarai Sianok.Β Saat saya ke sana tidak ada pengunjung yang masuk ke dalam gua. Sempat lihat dari luar, tapi akhirnya saya memutuskan untuk tidak masuk. Di dalam terlihat gelap, namun penjaga gua akan menemani kita dan membawa senter saat masuk ke dalam.Menuju Jenjang Koto Gadang yang katanya nih disebut juga The Great Wall-nya Bukittinggi. Menuju Janjang Koto Gadang harus jalan menurun dan agak menanjak. Setelah itu jalan mendatar melalu jalan setapak yang sudah di paving.Β Selanjutnya kita harus menaiki anak tangga yang tidak tahu jumlahnya, yang pasti banyak deh! Di sinilah disebut the Great Wall of Koto Gadang, karena di pinggir anak tangga dibangun tembok yang mirip seperti Tembok China.Saat sedang menaiki tangga, saya bertemu dengan sesama pengunjung. Sambil naik anak tangga kita ngobrol. Akhirnya sampai juga di tangga terakhir. Pemandangannya lebih keren dari yang di bawah tadi.Β Ada papan selamat datang di Panorama View, Ngarai Sianok, juga ada Tugu Janjang Koto Gadang. Seandainya saja ada ojek motor untuk turunnya, saya sewa deh. Membayangkan harus menuruni tangga, kok berasa berat banget ya.Selesai foto, saya dan teman baru itu segera turun. Pas turun saya iseng menghitung berapa anak tangga yang dilalui, ternyata lebih dari 350 anak tanggal. Pantas saja kaki pegal, karena untuk naik dan turun tinggal dikali dua saja jumlah anak tangganya.Bertanya dalam hati, apa ada angkutan yang menuju Pasar Atas dari sini? Akhirnya saya menumpang mobil Uni bersama keluarganya. Uni sekeluarga ini datang dari Solok dan menyempatkan untuk ke Janjang Koto Gadang.Β Alhamdulillah saya ditolong si Uni, karena tidak lama kemudian gerimis. Sampai di parkiran Pasar Atas kita pisah. Terimakasih ya Uni dan Uda yang sudah memberikan tumpangan mobil kepada saya.Sampai di penginapan, saya tanya ke resepsionis untuk angkutan umum di Bukittinggi sampai jam berapa beroperasinya, dan dijawab hanya sampai pukul 18.00.Β Setelah Maghrib, saya keluar penginapan lagi, kali ini mau mencari makan malam. Ternyata semakin malam, udara di Bukittinggi ini semakin dingin. Pantas saja saya lihat banyak orang yang memakai sweater.Ternyata di sekitar Jam Gadang ramai saat malam. Banyak penjual kaos yang menjajakan dagangan. Selain itu juga banyak pedagang makanan dengan gerbobaknya. Saya sih jalan terus menuju Kampung Cina. Kampung Cina di waktu malam seperti bukan di Bukittinggi deh. Banyak makanan non Minang bertebaran.Hari berikutnya setelah matahari muncul sedikit, saya langsung keluar penginapan untuk berkeliling. Kali ini rutenya menyisir mulai depan Hotel Antokan. Ini hotel juga direkomendasikan untuk backpacker loh.Wow, pemandangan pagi hari dari sekitar Jam Gadang tidak kalah cantik! Kota Bukittinggi yang dikeliling dua gunung, Marapi dan Singgalang nun di kejauhan.Β Kembali ke penginapan, dari seberang penginapan saya naik angkutan umum sampai depan rumah sakit. Dari situ lanjut dengan angkot ke Terminal Aur Kuning untuk naik angkutan umum ke arah Batusangkar.Akhirnya setelah menunggu selama nyaris 30 menit, elf pun berangkat. Terlihat di sekitar Terminal Aur Kuning ini sedang ada pekerjaan jalananan, entah perbaikan atau pembangunan jalan. Saya sangat menikmati perjalanan dari Bukittinggi menuju Batusangkar.Β Lumayan jauh perjalanan ini, sekitar 1,5 jam. Satu per satu penumpang turun. Untuk menuju Istana Pagaruyung saya harus naik ojek, karena tidak ada angkutan umum yang menuju ke sana. Bapak tadi juga bilang, biasanya ongkos ojek sekali jalan Rp 10 ribu.Sepanjang jalan menuju Istana Basa Pagaruyuang, saya melewati rumah gadang yang besar dan megah, seperti istana. Saya juga melewati Museum Prasasti Adityawarman. Tahu gitu saya minta Uda ojeknya untuk berenti ke tempat tersebut dulu deh.Akhirnya sampai juga di depan Istan Basa Pagaruyuang. Uda ojeknya bilang, kalau nanti kembali mau dengan ojeknya saya tinggal telepon saja. Ada angkutan umum yang langsung menuju Sawahlunto, tapi harus keluar dulu dari Pagaruyung.Beda dengan rumah gadang seperti istana yang saya lihat sebelumnya yang memakai banyak warna, Istana Pagaruyung ini hanya satu warna, yaitu cokelat dan terlihat gagah berdiri. Setelah membeli tiket masuk, saya mulai melangkah menuju istana ini.Setiap pengunjung diharuskan melepaskan alas kaki dan disimpan di tempat yang sudah disediakan. Istana ini terbuat dari kayu dan bertingkat 3. Di dalamnya penuh ornamen dari kain yang berwarna cerah, seperti pelaminan Minang. Eh di sini juga bisa sewa baju adat Minangkabau loh.Sempat dengar informasi dari papak yang ada di pintu masuk, bahwa bangunan ini mempunyai satu tiang utama, yaitu tiang yang pertama kali ditegakkan sebagai penopang rumah. Hanya tiang ini Β yang berdiri tegak lurus, sementara tiang penyangga lainnya berdiri sedikit miring.Β Tapi kalau kita perhatikan, tidak terlihat kalau tiang lainnya itu miring. Hebatnya lagi, semua bentuk, ornamen, dan ukiran di istana ini dibuat persis seperti asli. Seperti istana sebelum kebakaran.Kemudian saya lihat di halaman istana ini banyak umbul2 adat Minangkabau (yang disebut Marawa) yang berwarna hitam, merah dan kuning seperti bendera Jerman. Ternyata ketiga warna ini ada artinya loh. Masing-masing warna melambangkan wilayah (luhak).Β Bapak itu juga bilang bahwa barang pusaka yang dulunya berada di dalam Istana Pagaruyung ini sudah di pindah ke Istana Silinduang Bulan. Disamping Istana Pagaruyung ini ada sebuah rumah gadang kecil yang ternyata itu adalah bangunan lumbung yang disebut rangkiang, tempat untuk menyimpan hasil panen.Selesai berkeliling Istana Pagaruyung, saya menelepon Uda ojek untuk mengantar saya ke Batusangkar, tempat menunggu angkutan umum ke Sawahlunto.Hari bertambah siang, pemandangan sepanjang Batusangkar menuju Sawahlunto gak seindah Bukittinggi ke Batusangkar. Tapi ada jalan yang keren banget, jalan itu berupa turunan tajam yang langsung disambung dengan tikungan tajam. Seram tapi seru!Setelah menempuh perjalanan selama sekitar 2 jam, elf yang saya tumpangi sampai di Sawahlunto. Sawahlunto ini kota tambang, tepatnya tambang batubara. Sebelum masuk ke Sawahlunto tadi saya melewati PLTU Ombilin.Β Tujuan pertama saya adalah ke museum kereta api. Jadi dari tempat saya turun dari Elf tadi, menuju ke Pasar Sawahlunto yang terletak di seberang pool elf untuk menuju Museum Kereta Api.Koleksi yang terkenal dari Museum Kereta Api Sawahlunto adalah lokomotif yang bernama Mak Itam. Dan di hari dan jam tertentu diadakan wisata keliling Sawahlunto dengan menggunakan kereta wisata dan Mak Itam sebagai lokomotifnya, dengan tarif yang terjangkau.Β Sayang saya datang diluar jadwal operasi Mak Itam. Tidak seperti di Museum Kereta Api Ambarawa, untuk berwisata keliling dengan menggunakan lokomotif uap harus sewa satu gerbong yang mahal sewanya.Dari sini saya langsung menuju Loebang Mbah Soero yang merupakan tambang batubara yang sudah tidak dipakai. Mbah Soero sendiri adalah mandor dari tanah Jawa yang dikirim bersama orang lainnya sebagai orang rantai (rante) untuk dijadikan buruh di tambang batubara di Sawahlunto pada masa penjajahan Belanda.Di depan jalan masuk menuju tambang Mbah Soero, terdapat gedung perkantoran PT Bukit Asam, yang kalau dilihat dari bentuknya ini pasti bangunan kuno. Jalan menuju Loebang Mbah Soero dan Museum Gudang ransum bukan jalan raya besar, melainkan jalan kecil tapi beraspal halus.Sama seperti di Museum KA, di sini pun masih tutup. Akhirnya jalan liat sekeliling. Ternyata di sekitar sini tuh memang kota tua. Terlihat ada gedung pusat kebudayaan Sawahlunto, hotel Ombilin, gedung koperasi Ombilin, dan beberapa bangunan tua peninggalan Belanda lainnya.Β Oiya, saya juga sempat melewati Societeit Cafe untuk sekedar menikmati secangkir kopi dan leyeh-lehe. Lokasinya berdekatan dengan gedung pusat kebudayaan Sawahlunto. Ah, sayang waktu saya sangat terbatas, kalau tidak saya sudah memesan secangkir kopi di tempat itu.Saya juga bertanya dengan penduduk setempat, travel atau kendaraan umum untuk menuju kota Padang. Ternyata ada! Saya menuju counter kecil Jasa Malindo, travel yang akan mengantar saya ke Padang. Bergegas saya menuju pool travel Jasa Malindo dan membeli tiket untuk keberangkatan yang agak sore.Kembali ke Loebang Mbah Soero yang untuk loket pembelian tiket masuk berada di galery info box. Setelah membeli tiket, seorang pemandu menemani saya. Sebelumnya saya harus memakai sepatu boot dan helm. Sebelum masuk ke lubang tambang batu bara, di depan gerbang saya lihat Pak Win berdoa.Menurut Pak Win, semua pengunjung yang akan tour ke lubang Mbah Soero harus didampingi oleh pendamping, secara gelap dan seperti labirin gitu di dalam, bisa nyasar kalau tanpa pemandu.Semua komponen bangunan dari lubang ini masih asli, kayu dan besi. Untuk jalan memang sudah diplester agar tidak kotor dan licin oleh tanah. Kata pemandu, sebelum ditemukan, lubang ini tertimbun tanah dan didalamnya penuh dengan air.Β Jadi setelah dibersihkan dari tanah, kemudian dikuras air di dalamnya. Sepanjang perjalanan saya berdecak kagum karena saya berjalan diantara batubara dan bisa memegang dinding lubang yang terbuat dari batubara!Β Ada beberapa jalur di dalam lubang ini yang ditutup dan tidak boleh dilewati karena masih terendam air, dan masih ada air mengalir di dalamnya. Memang lubang Mbah Soero ini lokasinya dekat dengan Sungai Batang Lunto.Setelah keluar, saya tanya mengenai sejarah tambang ini. Dan benar saja, banyak kejadian pilu di sana. Entah sudah berapa banyak buruh yang meninggal di dalam tambang ini. Ada yang terkubur longsor, ada akibat disiksa.Herannya, ternyata yang menyiksa adalah orang Indonesia sendiri yang dijadikan antek tentara Belanda. Biasanya pengunjung yang memiliki indra keenam, gak mau untuk masuk ke dalam lubang tambang. Hii!Setelah selesai dari Loebang Mbah Soero, saya melangkah ke Museum Gudang Ransum yang letaknya tidak jauh. Museum ini pada zaman penjajahan Belanda digunakan sebagai dapur umum yang menyediakan makanan untuk pekerja tambang dan paramedis.Β Setelah selesai berkeliling di Museum Gudang Ransoem, saya melanjutkan ke Museum Kereta Api Sawahlunto, dan tidak sabar mau melihat Mak Itam, lokomotif uap koleksi museum ini.Museum ini tidak terlalu luas, dan ternyata garasi tempat Mak Itam berada di tempat terpisah dari museum ini. Tidak diperlukan tiket untuk lihat Mak Itam. Mak Itam dalam perbaikan, karena kondisinya yang rudak akibat tersambar petir.Lanjut nasik bus menuju Jembatan Siti Nurbaya. Akhirnya saya kesampaian berjalan kaki melewati Jembatan Siti Nurbaya yang kondang itu. Eh jangan salah ya, jembatan tuh semacam jalan layang, dan kalau sore hingga malam di trotoarnya banyak pedagang menjajakan aneka makanan.Β Brigitte's House, yaitu New Padang House dengan kondisi dan harga yang sama seperti di Brigitte's. Saya bilang saya tidak mau kalau penginapannya lebih blusukan ke dalam daripada Brigitte's, mereka bilang justru New Padang lebih dekat ke jalan raya.Β Setelah mandi, saya keluar penginapan untuk mencari makan malam dan jalan2 sekitar daerah tempat saya menginap. Di dekat penginapan terlihat ada restoran ayam penyet yang terkenal dan lainnya restoran ikan bakar.Makan malam di Ikan Bakar Pak Tris. Agak mahal sih makan di sini, tapi sekali boleh lah memanjakan perut. Setelah selesai makan malam, saya melanjutkan jalan malam menuju daerah pecinan kota Padang yang lebih dikenal dengan sebutan Pondok.Kalau di sekitar jalan Cokroaminoto tempat saya menginap suasananya cukup sepi, di daerah Pondok ini justru ramai. Terlihat restoran Ganti Nan Lamo yang sangat terkenal dengan spesialisasinya menyediakan aneka menu minuman dengan duren.Dari sini saya pengen sekali mencicipi kopimil di dekat klenteng HBT. Kemana kaki harus melangkah nih, karena tidak terlihat bangunan yang menyerupai klenteng atau bangunan dengan ornamen Cina.Di daerah ini suasanya lebih ramai. Lebih banyak orang menikmati malam dengan makan dan minum yang dijajakan di sepanjang jalan. Juga banyak mobil dan motor yang berseliweran. Jadi yang namanya kopimil itu adalah air kopi yang dicampur dengan Milo dan ditambahkan susu kental manis dan es. Wuih!Setelah menghabiskan satu gelas kopimil saya menyudahi perjalanan malam ini dan kembali ke penginapan. Setelah menunggu sampai matahari muncul sedikit, saya keluar penginapan untuk jalan pagi.Melanjutkan perjalanan, di daerah Pondok ini banyak sekali ditemui rumah perkumpulan keluarga Chinese yang memiliki nama marga yang sama. Juga ada klenteng, pada akhirnya saya tau klenteng ini tidak digunakan lagi karena rusak berat saat gempa Padang.Berkeliling di daerah Pondok. Rupanya kopimil memang menjadi minuman favorit disini. Terlihat di beberapa tempat tumpukan sachet bekas pembungkus milo.Hanya mengikuti kemana kaki melangkah, saya menemukan sebuah rumah tua. Diatasnya tercetak angka 1908. Sayang, kondisi rumah ini dalam keadaan tidak terawat. Kusam, kotor, dan kaca jendelanya banyak yang pecah. Dibelakang rumah tua itu adalah bukit.Cukup sudah saya tercengang di Pondok, sekarang waktunya meneruskan berjalan. Nah kali ini pulang lewat rute yang semalam. Lewat pasar Tanah Kongsi. Selalu suka sama pasar tradisional terlebih yang berada di pecinan. Sayur, buah, ikan dll.Β Di dekat jembatan Siti Nurbaya terdapat toko oleh-oleh Christine Hakim. Terlihat banyak orang berolah raga atau jalan kaki di jembatan ini. Menyeberang jembatan Siti Nurbaya terdapat kota tua jalan Batang Aur. Mirip di daerah sekitar kota tua Jakarta.Pulangnya saya mampir ke toko Christine Hakim untuk membeli keripik singkong balado dan dakak. Dakak adalah potongan atau irisan singkong yang digoreng kering dengan berbagai bumbu.Ada 2 macam dakak, berbentuk kotak seperti dadu atau irisan tipis. Walaupun bebentuk kotak, namun dakak tersebut tidak keras. Saya lebih suka dakak yang irisan tipis daripada singkong balado karena tidak pedas.Setelah sarapan dan beberes, saya keluar rumah lagi. Kali ini tujuannya Jalan Diponegoro. Penginapan ini memang sangat strategis. Cuma selemparan batu untuk ke Pantai Padang.Di jalan Diponegoro terdapat museum Adityawarman yang berisi busana tradisional pengantin dari tiap wilayah, beserta dengan jenis makanan yang dibawa saat acara pernikahan. Juga ditampilkan aneka senjata tradisional dan rumah adat tiap wilayah.Oiya, jika hendak menggunkan bus DAMRI dari Kota Padang menuju Bandara Internasional Minangkabau, calon penumpang menunggu di Taman Melati yang terletak di depan museum Adityawarman ini. Dan persis di seberang museum Adityawarman adalah toko oleh-oleh Shirley.Β Puas keliling di sini saya kembali ke penginapan. Packing terakhir dan cek ulang semua barang. Setelah beres, saya check out, kemudian saya melanjutkan jalan ke daerah Pondok lagi. Kali ini mau nyobain Es Duren di Ganti Nan Lamo. Saya juga akan bertemu dengan teman saya di tempat ini.Es duren yang sangat enak dengan full durian yang dihaluskan. Restoran ini juga menyediakan menu lain selain yang berbau durian, bahkan ada empek-empek juga loh.Tak lama kemudian teman saya beserta adik iparnya datang. Akhirnya kita bertiga keliling kota Padang dengan mobil teman saya. Kita tidak mampir ke Pantai Air Manis, tempat batu Malin Kundang karena waktu saya terbatas.Menurut teman saya, ada dua pelabuhan di Padang, Teluk Bayur dan Muara. Banyak orang yang akan ke Mentawai melalui Pelabuhan Muara. Hari beranjak siang, dan teman saya menawari kita makan siang di restoran Padang tapi tidak otentik.Β Aneka makanan hadir dalam piring kecil seperti layaknya di restoran Padang. Semua bisa saya makan karena tidak terlalu pedas dan enak semua. Oiya, salah satu jus yang disediakan di restoran ini adalah jus merah putih yang terdiri dari buah pinang dan sirsak.Setelah tadi hujan, kota Padang berubah menjadi panas terik. Di beberapa jalan utama di Padang ada kemacetan juga walaupun tidak separah di Jakarta, dan macet di Padang pada jam masuk dan pulang kantor ini lebih disebabkan karena banyak angkutan umum yang ngetem di sembarang tempat.Saya berasa seperti turis hari ini tapi tanpa bayar. Ditraktir es duren dan makan siang, keliling city tour dengan mobil plus diantar sampai kembali ke penginapan.Akhirnya berakhir sudah petualangan saya keliling sebagian wilayah di Sumatera Barat. Saya menuju Taman Melati untuk naik bus DAMRI menuju BIM.
Hide Ads