Menyelami Kehidupan Suku Sasak di Lombok Tengah

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Menyelami Kehidupan Suku Sasak di Lombok Tengah

Darwance Law - detikTravel
Rabu, 16 Jul 2014 15:10 WIB
loading...
Darwance Law
Berfoto bersama masyarakat Suku Sasak
Pemukiman Suku Sasak di Dusun Ende
Bale Tani sebagai bangunan utama
Berugak, tempat menyimpan padi
Mas Atrium dengan beberapa orang warga dengan tenun Sasak
Menyelami Kehidupan Suku Sasak di Lombok Tengah
Menyelami Kehidupan Suku Sasak di Lombok Tengah
Menyelami Kehidupan Suku Sasak di Lombok Tengah
Menyelami Kehidupan Suku Sasak di Lombok Tengah
Menyelami Kehidupan Suku Sasak di Lombok Tengah
Jakarta - Melancong ke Lombok tidak hanya melulu ke pantainya saja. Anda juga bisa melihat keragaman dan keluhuran budaya melalui suku setempat yaitu Suku Sasak, yang ada di perkampungan Suku Sasak Dusun Ende, Lombok Tengah.Pulau Lombok adalah salah satu pulau cantik di negeri ini yang paling ingin saya datangi. Alhamdulillah, setelah menang dalam kategori The Most Published Article di program D'traveler of The Year 2013 oleh detikTravel, akhirnya keinginan itu terwujud.Selain menawarkan panaroma wisata bahari berupa pantai-pantai cantik dengan airnya yang jernih, salah satu daya tarik Lombok yang saya ketahui adalah perihal pemukiman suku Sasak. Suku Sasak adalah suku asli pulau Lombok yang konon katanya masih hidup dalam lingkup adat istiadat mereka yang masih kukuh terjaga hingga kini.Bukan hanya adat istiadat saja, rumah yang mereka tempati katanya pun masih berupa rumah berarsitektur tradisional, yang jauh dari kesan modern. Pemukiman suku Sasak di Pulau Lombok yang paling terkenal adalah Desa Sade yang terletak di Rembitan, Lombok Tengah, beberapa menit saja dari Praya International Airport atau Bandara Internasional Lombok (BIL) di Praya.Namun, ada juga Desa Wisata Dusun Ende. Saya sendiri kurang paham, apakah pemukiman ini masih satu kesatuan dengan Desa Sade, atau merupakan wilayah administrasi tersendiri. Seorang teman, Hendry namanya, mengira-ngira bahwa ini mungkin bagian integral dari Desa Sade, karena Sade mungkin saja singkatan dari Sasak Ende.Saya tak menganggap apa yang dikemukakan Hendry kala itu salah, namun tak pula membenarkannya. Yang jelas, letak Desa Wisata Dusun Ende hanya terletak beberapa ratus meter saja dari Desa Sade di bagian selatan. Letak kawasan ini pun berada tepat ditepi jalan saat ita hendak menuju Pantai Kuta dan Pantai Tanjung Aan dari arah Mataram atau Praya.Saat melancong di Lombok bersama Adam, Hendry dan Ridho, nama suku Sasak memang menarik perhatian kami, apalagi saya. Saya sering membaca perihal keunikan suku ini di sejumlah media, sehingga saya pun menjadi penasaran sehingga tertarik untuk mengunjungi tempat itu. Di peta Pulau Lombok, kami dapati letak pemukiman suku itu berada satu garis lurus dengan Pantai Kuta dan Pantai Tanjung Aan, dua pantai yang kelak pun berencana ingin kami datangi.Saat berkonsentrasi pada jalur menuju Pantai Kuta dan Tanjung Aan, disebuah ruas jalan tiba-tiba kami melihat sebuah pemukiman yang terkesan unik, lengkap dengan sebuah tulisan didepannya. "Welcome to Sasak Village", begitu bunti tulisan itu. Ya, itulah pemukiman suku Sasak yang sudah kami rencanakan untuk dikunjungi itu.Sesampainya di depan gerbang masuk, tepat di depan papan nama bertuliskan "Welcome to Sasak Village", seseorang laki-laki muda bersarung kotak-kotak warna cokelat dan baju kemeja yang pula kotak-kota berwarna perpaduan antara biru, hijau dan abu-abu, berlari kecil menghampiri kami.Rupanya, laki-laki yang kemudian memperkenalkan diri dengan nama Atrium itu, berkata perihal tata tertib memasuki kawasan itu. Menurut penuturan Mas Atrium, untuk memasuki kawasan suku Sasak itu kami harus ditemani minimal seorang guide lokal yang berasal dari suku Sasak itu sendiri. Selain itu, kami pun dikenakan biaya Rp 20.000/orang.Setelah sepakat dengan Mas Atrium, kami pun memarkirkan sepeda motor yang kami sewa dengan harga Rp 50.000/hari itu, dan langsung mengikuti langkah Mas Atrium memasuki kawasan pemukiman Susu Sasak di Desa Wisata Dusun Ende. Sebelumnya, kami menyempatkan diri untuk mengabadikan diri di depan papan nama selamat datang.Mas Atrium mulai mengajak kami mengelilingi pemukiman suku Sasak seraya menjelaskan satu demi satu setiap bangunan yang ada di dalam, persis seorang guide profesional. Bahasa Indonesia yang digunakan Mas Atrium pun begitu fasih, nyaris tak ada cengkok Lombok-nya. Saya pun menyimak penjelasan detil yang diutarakan Mas Atrium, seraya sesekali mengajukan pertanyaan manakala ada yang ingin saya ketahui lebih dalam.Sebelum memasuki Bale Tani, nama rumah adat suku Sasak, Mas Atrium terlebih dahulu menjelaskan perihal nama dan filosofis mengapa Bale Tani berbentuk seperti itu. Menurutnya, nama Bale Tani sendiri berasal dari kata "Balai' yang berarti tempat tinggal dan "Petani", sehingga artinya harfiahnya adalah tempat tinggal petani.Bale Tani sendiri terbuat dari bambu sebagai tiang utama, bilah-bilah bambu yang sudah dianyam sedemikian rupa sebagai temboknya, serta jerami (tumbuhan padi) sebagai atap. Nah, ada satu fakta yang membuat kami sedikit agak bergidik sore itu, ternyata lantai Bale Tani yang kami injak kala itu terbuat dari kotoran sapi!Saya lupa penjelasan Mas Atrium perihal kotoran sapi ini. Namun, yang jelas, dalam beberapa kurun waktu tertentu, lantai yang sudah dirasakan tak lagi nyaman kembali dilapisi kotoran sapi yang baru.Anda bisa membayangkan bagaimana rupanya lantai Bale Tani bukan? Tapi jangan salah, sekalipun terbuat dari kotoran sapi murni, lantai Bale Tani lebih mirip terbuat dari tanah liat, atau malah lebih telihat terbuat dari semen sungguhan bila dilihat dari kejauhan. Yah, mungkin inilah keunikan suku Sasak yang ingin selalu menyatu dengan alam yang telah memberi keberkahan kepada mereka.Selain lantainya yang unik, ternyata ada cerita lain yang tak kalah unik, yaitu perihal pasangan rumah tangga yang tidak boleh tidur dalam satu ruangan. Menurut penjelasan Mas Atrium, yang boleh tidur dalam ruang utama Bale Tani hanyalah para pengantin baru.Setelah masa tertentu, mereka pun harus berpisah saat malam tiba. Perempuan dan laki-laki ternyata dipisahkan kala malam, perempuan tidur di dalam, sedang yang laki-laki tidur di bagian luar bale yang lebih menyerupai teras. Bayi laki-laki diperbolehkan tidur dengan ibunya sampai usia tertentu, sebelum akhirnya diharuskan berpisah dengan sang ibu.Setelah melihat-lihat Bale Tani dari dalam, kami diajak Mas Atrium untuk melihat-lihat bangunan lain. Sesekali kami ditunjukkan oleh Mas Atrium beberapa ekor sapi yang sedang tenang-tenang saja dalam sebuah kandang, yang oleh Mas Atrium sendiri disebut sebagai "pabrik semen".Selain Bale Tani, ada bangunan lain yang dikenal dengan sebutan Berugak, berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen padi. Ada yang unik perihal bangunan yang satu ini, yakni cara memasuki Berugak yang harus melewati pintu utama yang lebih menyerupai jendela pada rumah pada umumnya, manakala hendak mengambil padi yang sudah lama disimpan.Saat mengikuti Mas Atriumm menyelami kehidupan suku Sasak kala itu, tiba-tiba kami bertemu dengan sekelompok orang suku Sasak yang sedang berada di luar Bale Tani. Mereka selalu tersenyum dengan ramah setiap berpapasan dengan kami. Saat itu pula, kami langsung mengajak beberapa orang dari mereka untuk berfoto bersama, termasuk dengan seorang bayi yang masih dalam gendongan sang bapak atau kakeknya.Penelusuran kami menyelami kehidupan suku Sasak tak berhenti sampai disitu. Setelahnya, kami masih diajak oleh Mas Atrium berjalan-jalan menelusuri pemukiman mereka. Pada sebuah sudut, kami memasuki sebuah rumah yang sedikit agak besar, tempat dimana suku Sasak menyimpan hasil kerajinan tenun khas suku Sasak serta jenis kerajinan lain untuk selanjutnya dijual sebagai suvenir bagi wisatawan yang datang.Setelah mengunjungi bagian paling dalam pemukiman, penelusuran kami sepertinya akan segera selesai. Secara bergiliran, kami pun berfoto bersama dengan Mas Atrium dengan latar Bale Tani aneka rupa, sebagai kenang-kenangan. Saat hendak menuju pintu keluar, saya pun menyempatkan diri berfoto dengan anak-anak suku Ssak yang dengan senang hati memberikan senyuman terbaiknya di hadapan kamera.Sungguh pengalaman yang berharga bisa berada di sini. Setelah kembali berfoto bersama dengan Mas Atrium tepat digerbang utama, kami pun segera berpamitan hendak menuju Pantai Kuta dan Pantai Tanjung Aan. Sampai jumpa, Mas Atrium!
Hide Ads