Kesempatan Langka, Menyaksikan Pemakaman Toraja

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Kesempatan Langka, Menyaksikan Pemakaman Toraja

Saskia Rajayani - detikTravel
Senin, 21 Apr 2014 11:24 WIB
loading...
Saskia Rajayani
Babi yang siap disembelih
Bersama beberapa backpacker di upacara pemakaman
Tulang belulang di Kete Kesu
Tautau di Lemo
Upacara pemakaman, jenazah di dalam peti
Kesempatan Langka, Menyaksikan Pemakaman Toraja
Kesempatan Langka, Menyaksikan Pemakaman Toraja
Kesempatan Langka, Menyaksikan Pemakaman Toraja
Kesempatan Langka, Menyaksikan Pemakaman Toraja
Kesempatan Langka, Menyaksikan Pemakaman Toraja
Jakarta - Satu lagi cerita backpacking saya di Tanah Sulawesi. Destinasi paling diinginkan di Sulawesi Selatan adalah Tana Toraja.Kali ini saya ditemani dua orang pemuda asal New Zealand. Saya menyebutnya Dave Young dan Will Kerr. Trip ke Toraja itu dimulai dari rumah plus tanah kelahiran saya, kampong yang namanya Watampone, Bone, Kab Bone, Sulsel.Pagi-pagi sekitar pukul 08.00 Wita, berangkatlah saya dan 2 laki-laki ini ke Toraja. Sekitar pukul 19.00 Wita malam hawa sejuk, hiruk pikuk nyala kendaraan, tongkonan yang hampir di tiap sudut jalan menyapa kami. Welcome to Toraja.Tapi karena kecapekan seharian di mobil, akhirnya kami putuskan mencari penginapan dulu. Tentunya yang nyaman, dan murah meriah, didapatlah wisma sekitaran Kota Rantepao. Tarif semalam di sana bervariatif, mulai dari Rp 80 ribu/malam sampai Rp 300 ribu/malam. Karena saya bertiga, maka saya ngambilnya room yang 3 bed untuk 3 orang yang letaknya di lantai 2 paling depan, Rp 150 ribu/malam.Suasana malam hari di Toraja agak ramai dan dingin pastinya. Kami ke warung nasi campur yang nggak jauh dari penginapan. Keesokan paginya, Kete Kesu, Lemo dan Londa menjadi incaran kami bertiga. Kami turun untuk mencari motor sewa perhari Rp 70 ribu. Kami putuskan untuk sewa 2 matic. Saya boncengan dengan Dave dan tentunya Will sendirian.Bruum! Sekitar sejam, tibalah kami di Kete Kesu. Tempat ini bisa dibilang ikonnya Tana Toraja. cukup bayar Rp 10 ribu, bisa menikmati banyak view di sana mulai dari deretan rumah Tongkonan yang berdiri cantik, gunung dan sawah yang sedap dipandang.Pas di loket tiket masuk, saya dikira guide dan tidak perlu bayar. Tapi boleh juga hitung-hitung gratis. Sekitar 3 jam-an di sana, foto-foto sudah, lihat suvenir sudah, bincang-bincang dengan orang lokal sudah dan kebetulan ketemu dengan bule-bule cantik dari tiga Negara yang berbeda. Saling kenalan dan buat planning untuk menghadiri acara paling spiritual di Toraja yaitu upacara pemakaman. Janjian tempat dan waktu pun dibuat lalu kembali ke kelompok masing-masing.Tujuan selanjutnya adalah Lemo. Ini salah satu tempat yang cukup menarik juga untuk dikunjungi. Disebut Lemo, karena pekuburan batu utama memiliki dinding yang berkerut-kerut seperti kulit jeruk limau atau lemo dalam bahasa setempat. Lemo paling identik dengan pemandangan sawah, gunung dan tebing-tebing yang sangat cantik. Nggak sembarang tebing dilubangi. Diperkirakan ada sekitar 75 buah lubang batu kuno di tempat ini. Di dalam lubang-lubang batu tersebut juga ditemui patung-patung dari mereka yang sudah meninggal dan dimakamkan di sini, disebut Tau-tau. Ini sengaja dipahat oleh penduduk setempat untuk menaruh mayat-mayat sang pendahulu. Motto-nya orang Toraja, semakin tinggi menaruh tubuh, semakin dekat ke surga.Sore harinya sebelum petang, lanjut lagi ke Londa. Londa itu gua makam paling populer di Toraja. Habis dari sana, kami balik ke penginapan buat istirahat sejenak, mandi terus wisata kulineran lagi dan belanja di lapak-lapak khas Toraja yang juga sangat beragam di sini, mulai dari panganan, aksesoris, miniatur tongkonan, dan banyak lainnya.Keesokan harinya, pagi–pagi udah rapi. Janjian dengan bule-bule cewek kemarin buat upacara pemakaman di salah satu kampung terpencil. Cukup jauh tempatnya, Sangata kalo nggak salah. Kali ini kami dipandu beneran oleh orang lokal, lelaki separuh baya.6 Pelancong yang berasal dari negara berbeda. Yang cewek dari Inggris, Lithuania, Prancis, Dave dan Will dari Selandia Baru dan saya Indonesia sendiri. Perjalanan ke desa tempat upacara itu cukup jauh, kami banyak berbincang dengan guide itu. Mulai dari tata cara bertamu, berpakaian, sampai pantangan-pantangan yang harus diperhatikan pada saat acara berlangsung.Sebelumnya, kami dianjurkan membawa semacam kado untuk dikasih ke keluarga yang membuat acara. Rokok salah satunya. Jadi dari 6 orang, kami membeli 2 pak rokok untuk dibawa ke upacara. Itu katanya, simbolik saja sih sebagai bentuk belasungkawa kami.Setibanya di tempat pemakaman, ratusan orang sudah ada di tempat, ramai banget dan cukup besar perayaannya. Pakaian adat khas toraja, ornamen-ornamen di setiap sudut bangunan rumah dipermak abis dengan warna-warna yang khas Toraja banget. Di sana kami langsung dikasih satu tempat untuk duduk sambil menunggu jamuan. Orang-orangnya ramah-ramah.Acara pemakaman ini cukup berlangsung lama. Rambu solo namanya. Selama acara berlangsung, yang terdengar cuma musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita. Ada juga suara hewan untuk disembelih, babi dan kerbau alias tedong. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok.Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya (akhirat) jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhumTidak terasa upacara sudah kelar. Saatnya berpamitan. Karena kebetulan, mobil yang tadi ditumpangi sudah pulang, mau tidak mau harus cari tumpangan lain. Jalanlah kita beramai-ramai di bawah sengatan matahari. Sekitar 15 menit jalan, eh ada truk kosong yang melintas. Kami minta untuk dikasih tumpangan, dan yup berhasil. Truk itu tadinya membawa kerbau, sekarang berubah jadi bule-bulePersinggahan terakhir kami adalah pemakaman bayi. Penasaran dengan kuburan bayi yang ditanam di dalam pohon. Sedikit ngeri, tapi penasaran dibuatnya. Kata guide, bayi yang ditanam di dalam pohon itu hanya bayi yang giginya belum sempat tumbuh. Baru bisa dimakamkan. Itu semua tergantung dari keluarganya si bayi masing-masing. Bayi-bayi yang disimpan dalam pohon itu, dianggap sebagi malaikat/bidadari kecil. Sedikit miris lihatnya, tapi sangat terpukau.Menjelajah Tana Toraja tidak ada habi-habisnya. Kagum dengan alamnya, kepercayaanya, penduduknya, dan tentunya tradisi budayanya. Tidak salah orang-orang dari seluruh belahan dunia bela-bela ke sana untuk bersentuhan langsung dengan pesona Tana Toraja.
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads