Mungkin Ini Adalah Perjalanan Terbaik di Pulau Jawa

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Mungkin Ini Adalah Perjalanan Terbaik di Pulau Jawa

Nandaka Bimantara - detikTravel
Minggu, 11 Mei 2014 10:15 WIB
loading...
Nandaka Bimantara
Kawah Sikidang
Lawang Sewu
Stupa Candi Borobudur
Mungkin Ini Adalah Perjalanan Terbaik di Pulau Jawa
Mungkin Ini Adalah Perjalanan Terbaik di Pulau Jawa
Mungkin Ini Adalah Perjalanan Terbaik di Pulau Jawa
Jakarta - Di zaman sekarang, orang lebih memilih moda transportasi yang cepat seperti pesawat. Namun, bagi yang ingin mencoba pengalaman lain, roadtrip bisa jadi pilihan. Roadtrip di Jateng misalnya, menawarkan pengalaman berkesan.Saya dan teman-teman mengadakan roadtrip ke tengah-tengah pulau Jawa, yaitu Yogyakarta dan Jawa Tengah. Destinasi kami adalah Yogyakarta, Dieng, dan Semarang. Kami memilih destinasi ini karena memang kami sudah lama tidak berkunjung ke sana.Perjalanan kami mulai dari kota Yogyakarta. Kami memilih Yogyakarta sebagai starting point, karena salah seorang dari kami memang berkuliah di kota ini. Jadi kami bisa menumpang tidur semalam di kamar kosnya setelah sebelumnya menempuh perjalanan Malang-Yogyakarta. Lumayan lah, hitung-hitung bisa mengirit biaya akomodasi.Esok dini harinya, kami memulai perjalanan kami. Sekitar pukul 04.00 WIB, kami meluncur menuju destinasi pertama kami, yaitu Daratan Tinggi Dieng. Kami tertarik kesana karena menurut informasi yang kami dapat dari internet, tempat itu punya pemandangan yang indah sekali. Selain itu juga daerahnya berhawa dingin, bahkan kabarnya sempat turun salju di sana. Wah, tambah bikin penasaran kan.Tapi sebelum itu, kami memang sengaja berangkat pagi-pagi karena ingin melihat sunrise di antara Gunung Sumbing dan Sindoro yang kami dengar sangat indah.Perjalanan dari Yogyakarta ke Wonosobo memang akan melewati Kota Temanggung yang berada di antara dua gunung itu. Kalau berangkat sejak dini hari dan tidak ada halangan berarti di jalan, pasti bisa mengejar sunrise itu di lokasi. Dengan mobil Innova sewaan, kami pun memulai perjalanan kami.Memulai perjalanan sedini itu berarti Anda akan menghadapi dua hal, hawa dingin dan kantuk. Tak heran, selain teman saya yang kebagian menyetir, kami tertidur di dalam mobil. Kami baru terbangun setelah 2 jam perjalanan, saat sinar merah jingga tiba-tiba menerobos masuk jendela mobil kami.Silau karena cahaya itu, kami pun terbangun. Ternyata kami sudah sampai di Temanggung, dan memang benar, cahaya yang kami lihat itu adalah cahaya matahari terbit dari balik Gunung Sumbing. Tidak ingin melewatkan momen itu, kami pun menghentikan mobil.Luar biasa indah pemandangan yang kami saksikan saat itu. Rasa kantuk dan kedinginan pun hilang seketika. Dari ketinggian itu, kami bisa melihat hijaunya pedesaan di bawah, dengan sinar emas matahari terbit di atasnya.Kalau melihat ke arah barat, ada Gunung Sindoro yang juga tidak kalah indahnya. Wah, benar-benar momen istimewa untuk berfoto-foto. Setelah matahari agak meninggi, kami pun melanjutkan perjalanan.Sesampainya di kota Wonosobo, kami ingin mencoba makanan khas Wonosobo, yaitu mie ongklok. Tapi karena masih pagi, tidak ada warung mie ongklok yang buka. Mie ongklok adalah mie rebus yang disajikan dengan sayuran dan memiliki kuah kental. Biasanya makanan ini dihidangkan dengan sate atau lauk lainnya. Sayang sekali memang, padahal sepertinya itu enak sekali.Tidak mau kelaparan, kami pun berhenti di salah satu warung untuk menyantap sarapan. Kota Wonosobo sendiri adalah kota yang menurut saya sangat tentram. Kotanya tidak besar, namun cukup indah. Damai sekali kota ini, jauh dari keramaian. Gambaran yang sangat pas untuk mendeskripsikan kota-kota kecil di Indonesia yang ingin saya tinggali di hari tua nanti.Perjalanan dari Wonosobo ke Dieng tidak jauh, kira-kira 1 atau 1,5 jam perjalanan darat. Yang perlu diperhatikan adalah, karena Dieng berada di daratan tinggi, maka Anda harus berhati-hati di jalanan menanjak dan berkelok-kelok, terutama saat sudah ke arah puncaknya. Jalannya cukup sempit, padahal digunakan dua arah. Apalagi banyak juga truk-truk yang melintas di situ.Saat itu adalah giliran saya menyetir dan saya akui menyetir di daerah situ memang cukup memompa adrenalin. Bagaimana tidak, sudah jalannya sempit, di bawahnya jurang pula. Wah kalau tidak hati, bisa-bisa nyungsep. Bukannya liburan malah modar nanti. Untungnya pengendara di sini cukup santun dan berhati-hati, jadi walaupun medannya curam, namun tidak sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.Area wisata yang kami kunjungi pertama kali adalah Telaga Warna. Telaga Warna adalah salah satu dari beberapa telaga yang ada di dearah Dieng. Dinamakan Telaga Warna karena memang telaga ini memiliki air yang sangat jernih dan sering memunculkan warna-warna indah. Kadang airnya berwarna bernuansa merah, biru, atau hijau.Lokasinya yang berada di antara pepohonan menambah keindahan panorama telaga ini, walaupun sekaligus menyembunyikan tempat ini. Di sekitar telaga ini terdapat beberapa peninggalan agama Hindu, seperti gua tempat bertapa. Sempatkanlah berjalan-jalan mengelilingi telaga ini, atau bisa juga menyewa perahu kecil. Dengan begitu Anda bisa menikmati keindahan tempat ini seutuhnya.Puas melihat Telaga Warna, kami melanjutkan perjalanan ke atas, yaitu ke Kawah Sikidang. Karena merupakan kawah, bau belerang pun sangat terasa di daerah ini. Tapi tidak perlu khawatir, karena kita bisa membeli masker yang memang banyak dijajakan disana.Kawah Sikidang adalah salah satu dari banyak kawah di Dieng. Di kawah ini banyak lubang tempat gas panas muncul dari dalam tanah. Maka dari itu, perlu berhati-hati di sini karena air yang berada di atas tanah bisa cukup panas. Saking panasnya, banyak anak-anak kecil yang menjual telur puyuh, memasak telurnya di dalam air itu.Kawah ini dinamakan Sikidang karena karakteristik gas alamnya yang suka muncul di tempat yang berbeda-beda, seperti seekor kijang (kidang, dalam bahasa Jawanya). Selain pemandangan kawahnya yang indah, pemandangan langit dari atas situ juga cukup indah, apalagi kalau pagi-pagi. Untungnya kami mendapat kesempatan ke sana disaat cuaca sedang cerah, sehingga langit pun tampak biru sekali.Siang harinya kami memutuskan untuk meninggalkan lokasi dan melanjutkan perjalanan kami ke Semarang, karena kami tidak ingin terlalu sore sampai di kota itu. Sekitar pukul 12.00 WIB, kami pun turun gunung.Ini adalah pertama kalinya saya ke Semarang, begitu juga bagi beberapa teman saya. Satu hal yang ada di pikiran kami adalah bahwa orang-orang di daerah tengah pulau Jawa seperti Yogyakarta dan Semarang itu ramah, sopan, dan selow. Tapi ternyata kami salah.Tidak seperti orang-orang Yogyakarta yang santun di jalan, pengguna jalan di Semarang ternyata cukup agresif. Tidak jarang ada motor atau mobil yang menyalip seenaknya. Bunyi klakson di jalanan pun juga lebih parah daripada di Surabaya. Bahkan kami sempat melihat ada yang bertengkar di jalan.Saya kira pengguna jalan di Jawa Timur itu sudah cukup edan, ternyata di Semarang levelnya lebih tinggi lagi. Tak ingin berlama-lama di jalan, kami pun segera menuju ke hotel dan melewatkan sepanjang sore beristirahat di dalam kamar hotel.Suasana malam di Semarang ternyata cukup menyenangkan, seperti di Yogyakarta. Kami pun memutuskan untuk berjalan-jalan berkeliling kota ini. Tentu saja kami juga ingin mencoba makanan khas kota ini, yaitu tahu gimbal.Tahu gimbal adalah tahu goreng yang disajikan dengan lontong dan sayur-sayuran seperti kol dan tauge, serta disiram dengan bumbu kacang. Sekilas tampak seperti tahu telor di Jawa Timur, namun yang membedakan adalah tambahan udang goreng tepungnya sehingga disebut tahu gimbal.Tak sabar ingin mencoba makanan ini, kami pun berhenti di daerah Simpang Lima, dimana banyak warung lesehan pinggir jalan yang menyajikan masakan ini. Wah istimewa sekali suasananya, makan di pinggir jalan sambil menikmati suasana Kota Semarang di malam hari. Jangan ditanya rasa tahu gimbalnya, sudah pasti kalau ke sini tidak boleh melewatkan makanan satu ini.Setelah makan malam, kami pun berjalan-jalan lagi keliling kota Semarang, tepatnya ke daerah Kota Tua. Tempat ini menurut saya cukup istimewa, karena nuansa klasik khas Batavia sangat terasa disini.Jalanannya yang berpaving dan gedung-gedung tua khas Belanda menciptakan aura kelam namun misterius di tempat ini. Namun kami tidak berani berhenti karena tempat itu sepi sekali pada malam hari. Akhirnya, sekitar pukul 21.00 WIBkami pun kembali ke hotel.Hari kedua di Semarang akan kami habiskan ke salah satu tempat terangker di Indonesia, yaitu Lawang Sewu. Tempat ini memang sudah seperti ikon kota Semarang.Lawang Sewu pada awalnya dibangun oleh penjajah Belanda sebagai kantor perusahaan kereta api saat itu yang bernama Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij atau Perusahaan Kereta Api Hindia Belanda. Inilah cikal bakal sejarah perkereta apian Indonesia, karena dari sini rute kereta api di Indonesia dibangun.Layaknya bangunan khas Eropa, terdapat basement gedung yang difungsikan sebagai water reservoir atau tempat penyimpanan air. Namun pada saat penjajahan Jepang, tempat ini difungsikan sebagai penjara.Ruangan penyimpanan air itulah yang dulu digunakan sebagai penjara dan tempat mengeksekusi tentara kita. Hal inilah yang membuat tempat ini dianggap angker oleh masyarakat sekitar.Nuansa mistis memang sudah sangat terasa sejak kami masuk. Sesuai dengan namanya, tempat ini memiliki banyak pintu, walaupun tidak sampai seribu. Tempat ini memang terasa angker karena bangunannya yang tidak dirawat. Banyak tembok dan atap yang rusak.Salah satu hal yang harus dicoba kalau berkunjung disini adalah tur ke ruang penyimpanan air tadi, untuk melihat tempat bekas penjara itu. Karena penasaran, kami pun mencobanya.Ruang bawah tanah ini digenangi air hingga setinggi betis, jadi wajib mengenakan sepatu boots yang disediakan pengelola. Kesan pertama yang saya rasakan di bawah sini adalah merinding. Bagaimana tidak, tempat ini berdinding batu, lembab, dan gelap sekali. Pencahayaannya pun remang-remang.Guide kami mengajak melihat beberapa lokasi penjara. Ada penjara berdiri yang berupa tembok berisi empat bilik sempit, dimana dahulu setiap bilik itu diisi empat orang. Padahal bilik itu sudah sangat sempit diisi oleh saya sendiri, bagaimana kalau empat orang.Ada juga penjara duduk yang berbentuk seperti sumur. Tahanan dimasukkan ke sumur-sumur itu dalam posisi jongkok karena sumurnya ditutup. Membayangkan duduk disana dengan lantai yang basah dan tanpa cahaya, saya jadi merinding sendiri.Tempat eksekusinya pun juga tidak kalah ngeri, yaitu berupa bilik sempit yang berisi pasir. Tahanan akan dipenggal di situ dan agar darahnya tidak berceceran, tubuhnya diletakkan di tumpukan pasir itu. Setelah darahnya kering, baru mayatnya dibuang ke sungai. Mendengar cerita itu saya rasanya ingin cepat-cepat naik ke atas saking ngerinya.Puas melihat tempat ini, kami pun memutuskan untuk pulang saat hari sudah siang. Kami memang akan melanjutkan perjalanan kembali ke Yogyakarta. Perjalanan Semarang-Yogyakarta memang cukup jauh.Namun saya justru senang menghabiskan waktu di jalan. Mengapa? Tentu saja karena kami bisa menikmati perjalanan sambil mengobrol macam-macam, bercanda tawa sambil menikmati pemandangan yang kami lalui. Inilah esensi dari roadtrip, sesuatu yang pasti tidak bisa Anda dapatkan kalau berada di dalam pesawat. Perjalanan panjang itu pun kami tempuh dengan ceria.Tak terasa hari terakhir roadtrip kami pun tiba sebelum kembali ke kota Malang. Di hari terakhir ini kami akan mengunjungi kota Magelang, dan bisa ditebak kemana kami akan pergi. Apalagi kalau bukan Candi Borobudur. Satu-satunya alasan kami ke sini adalah karena sudah lama sekali kami tidak kesini.Saya sendiri terakhir kali ke sini saat kelas 6 SD, jadi sekitar 8 tahun yang lalu. Saya jadi penasaran bagaimana rupa candi itu sekarang. Satu hal yang wajib diketahui kalau berkunjung ke Borobudur adalah suhunya yang sangat panas. Tidak heran banyak orang yang menyewakan payung di sini, karena matahari memang sangat terik. Apalagi saat itu kami datang saat siang hari.Tiket masuk Borobudur memang cukup mahal, yaitu Rp 30.000. Bahkan untuk wisatawan asing bisa sampai Rp 190.000. Sebenarnya ini membuat saya heran sekaligus kecewa, mengapa ada pembedaan antara wisatawan lokal dan asing? Bukankah candi ini adalah warisan umat manusia, yang selayaknya bisa dinikmati semua orang?Baru pertama kali saya melihat yang seperti ini, seharusnya memang tidak boleh ada penggolongan seperti itu karena kalau kita berlibur ke luar negeri, tidak ada tempat wisata yang membedakan wisatawan lokal maupun asing.Saya yakin uang segitu memang tidak ada artinya bagi turis asing, namun dengan pembedaan harga tiket begini, berarti secara terang-terangan kita mendiskriminasi mereka. Apalagi tempat ini termasuk UNESCO World Heritage Site, saya yakin pemerintah juga mendapat bantuan dana dari PBB untuk merawat tempat ini. Tapi ya sudahlah, saya kesini untuk berlibur, bukan untuk berdebat.Memasuki area candi, memori saya 8 tahun lalu pun kembali secara tiba-tiba. Walaupun saya tidak terlalu ingat banyak hal, tapi saya bisa mengingat lokasi-lokasi yang saya kunjungi 8 tahun lalu. Tidak banyak yang berubah. Tempatnya tetap indah dan terawat.Tidak ingin berlama-lama, kami pun segera naik ke puncak candi yang agung ini. Pemandangan dari puncak candi memang indah, kita bisa melihat pepohonan dan pegunungan di sekitar candi.Saya memang dari dulu kagum dengan candi ini. Bangunan ini memiliki tingkat kerumitan tinggi dan konstruksinya tidak seperti bangunan pada zamannya. Bagaimana bisa manusia pada abad ke-9 dengan teknologi seadanya bisa membangun candi sebagus ini?Lelah berpanas-panasan di Borobudur, siangnya kami pun memutuskan untuk pulang kembali ke Yogyakarta. Kami memang tidak punya banyak waktu karena ingin mengunjungi Malioboro sorenya sebelum pulang ke Malang, karena kereta kami berangkat malam hari.Malioboro selalu menjadi tempat favorit saya di kota ini. Ini adalah tempat paling enak buat nongkrong se-Yogya. Tempatnya memang ramai, tapi bukan ramai yang bising, tapi ramai yang menyenangkan. Kalau mau membeli suvenir, ini juga tempat paling bagus. Banyak pilihan dan harga bisa dinego. Di tempat inilah saya merasakan Yogyakarta yang banyak dibicarakan orang.Hal terbaik yang bisa dilakukan di tempat ini adalah nongkrong di warung lesehan yang tersebar di sepanjang jalan. Begitulah kami melewatkan malam terakhir kami di kota ini, menyantap kerang goreng di salah satu warung. Beruntungnya warga kota ini, punya tempat nongkrong seasyik ini.Akhir perjalanan kami pun tiba. Di Stasiun Tugu kami pun berkumpul untuk berpisah dengan teman saya yang berkuliah di sini. Bagi saya, inilah kesempatan terakhir bertemu dia sebelum bertemu lagi tahun depan.Perpisahan memang momen yang lucu, ada awkward moment yang kami rasakan tiap kali berpisah; yaitu berpura-pura tidak akan kangen dengan semua ini, namun faktanya kami semua pasti akan merindukan momen-momen ini.Keadaan bertambah canggung saat teman saya itu tampak meneteskan air mata. "Wah harus cepat-cepat berangkat ini," batin saya. Memang itulah yang terjadi. Kereta kami datang dan kami harus bergegas masuk peron. Dengan berat hati, kami pun mengucapkan sampai jumpa pada teman kami itu.Andai kami memutuskan untuk naik pesawat, pasti tidak ada momen-momen konyol di dalam mobil saat perjalanan, pasti tidak ada kesempatan memfoto sunrise di Gunung Sumbing dan Sindoro, dan banyak lagi momen lain yang pasti kami lewatkan.Momen-momen menyenangkan selama perjalanan ini pun seketika menyerbu saya, membuat saya tersenyum sendiri. Pikiran-pikiran menyenangkan itu hinggap di dalam benak saya, perlahan mengantar saya terlelap tidur di kereta.
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads