Mendaki Kerinci, Atapnya Sumatera

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Mendaki Kerinci, Atapnya Sumatera

Rita Syifa Rosiana - detikTravel
Jumat, 30 Mei 2014 14:35 WIB
loading...
Rita Syifa Rosiana
Sunrise di Kerinci berlatar Danau Gunung Tujuh
Perkebunan teh di kaki Gunung Kerinci
Patung Macan loreng kuning berdiri gagah menyambut pendaki
Tugu Yudha, dari sini Puncak Kerinci sudah semakin dekat
Puncak Kerinci, ditandai tugu bertuliskan Puncak Kerinci
Mendaki Kerinci, Atapnya Sumatera
Mendaki Kerinci, Atapnya Sumatera
Mendaki Kerinci, Atapnya Sumatera
Mendaki Kerinci, Atapnya Sumatera
Mendaki Kerinci, Atapnya Sumatera
Jakarta - Menjulang dengan tinggi 3.805 mdpl, Gunung Kerinci merupakan gunung tertinggi di Indonesia di luar Cartenz Pyramid. Setiap pendaki pasti memimpikan untuk dapat menjejakkan kaki di gunung yang berjuluk atap Sumatera ini.Setelah menempuh penerbangan Jakarta-Padang sekitar 1,5 jam, dilanjutkan dengan perjalanan darat sekitar 8 jam, saya dan teman-teman sampai di Desa Kersik Tuo, dimana Gunung Kerinci Berada. Kami bermalam di rumah Heru, yang biasa dijadikan tempat menginap pendaki sebelum mendaki kesokan harinya.Keesokan harinya, setelah sarapan sambil menunggu mobil yang akan mengantar hingga ke Pintu Rimba, saya berjalan-jalan menghirup udara segar di sekitar rumah Heru. Saya menikmati hamparan perkebunan teh yang membentang hijau.Di kejauhan tampak Gunung Kerinci berdiri gagah berselimut kabut. Kupandangi Puncak Kerinci, teringat kembali percakapan dengan ibunda Heru saat sarapan tadi, bahwa biasanya kalau pertama kali mendaki Kerinci tidak sampai puncak.Ah, saya benar-benar memohon dengan sangat supaya Allah SWT berkenan mengizinkan menggapai Puncak Kerinci. Pagi ini juga kami bertemu dengan Ferdie, mahasiswa STAIN Sungai Penuh yang akan menjadi guide kami selama pendakian.Pukul 08.30 WIB, mobil jemputan yang akan mengantar kami ke Pintu Rimba tiba. Saya, Balak, Kucay, Anjar, Ferdie, Erick, Luqman, Opiq, Om Ridho, Johan, Murdam, Dany, dan Bang Mumu merupakan tim pertama yang dijemput. Saat tiba di Tugu Macan, kami turun dahulu untuk mengabadikan momen dengan patung macan loreng kuning tersebut.Pukul 09.00 WIB, perjalanan kami lanjutkan kembali menuju Pintu Rimba yang merupakan titik awal pendakian. Menyusuri lebatnya hutan, kami terus mendaki sambil sesekali berhenti untuk beristirahat. Dua jam kemudian kami tiba di Pos 3.Trek selanjutnya Shelter 1-3 benar-benar sangat menguras tenaga, menembus rapatnya hutan yang membuat oksigen yang kami hirup terasa menipis. Belum lagi kabut yang turun, trek licin berlumut, dan jalur air dan trek sempit.Sesampainya di Shelter 2, kami berhenti agak lama, mengatur kembali nafas yang mulai tersengal, dan mengira-ngira seperti apa lagi trek yang akan kami lalui. Setelah cukup istirahat, perjalanan kami lanjutkan kembali. 'Gurihnya' trek makin terasa.Untuk menuju shelter 3, kembali kami harus melewati lagi jalur air yang licin berlumut dengan vegetasi yang menyatu sehingga membentuk terowongan, dengan trek yang terkadang hanya pas untuk 1 tubuh. Seolah terowongan dan tanjakan yang tak berujung harus kami lalui. Kami melipir di antara pohon-pohon tanaman cantigi, sembari berpegangan erat-erat ke akar atau batangnya.Hari sudah mulai gelap, ketika akhirnya kami keluar dari terowongan itu (pinjam istilah Ferdie lorong tikus), dan tak lama kemudian tiba di Shelter 3. Kami mendirikan tenda dan bermalam di sini, untuk selanjutnya summit attack keesokan harinya.Pukul 03.00 WIB, suara-suara gaduh dari tenda tetangga sebelah sudah cukup membuatku benar-benar terjaga, padahal mata ini baru saja akan terlelap. Sembari menahan hawa dingin yang menusuk, saya dan Erick memasak air untuk membuat teh manis, menyiapkan roti bakar, dan sosis goreng yang kami santap sebelum muncak.Pukul 05.00 WIB, kami mulai meninggalkan camp di Shelter 3, melawan dinginnya udara, menapaki jalur menuju Puncak Kerinci. Dingin udara membuat saya berjalan tertatih, semakin ke atas trek yang dilalui semakin berat karena pasir dan kerikil yang kami injak sering longsor.Saya mendongak memandangi Puncak kerinci, oh bisakah saya menginjakkan kaki di tanah tertinggi di Sumatera ini? Terlihat beberapa teman sudah ada yang sampai di puncak, sementara saya masih terseok-seok menapaki jalur selangkah demi selangkah.Kami masih berada di Batu Gantung saat matahari mulai terbit. Sungguh pemandangan yang menakjubkan, perlahan sang surya mulai menampakkan sinarnya. Dari kejauhan, Danau Gunung Tujuh nampak mempesona dengan warna kebiruan. Kami mengabadikan momen ini dengan berfoto secara bergantian di Batu Gantung.Kembali pasir yang gembur dan kerikil harus kami lalui, ditambah lagi kemudian bau belerang yang sangat menyengat menusuk hidung, membuat nafasku tersengal dan paru-paru terasa penuh.Rupanya angin menerbangkan bau belerang dari kawah di Puncak Kerinci dan arahnya ke arah kami. Hampir menyerah karena kondisi menjadi semakin sulit, berkali-kali saya hentikan langkah karena nafas semakin sesak, terlihat teman-teman pun mengalami hal serupa.Setelah membasahi bandana dengan sedikit air lalu dipakai sebagai masker, bau belerang yang menusuk lumayan tidak terlalu mengganggu lagi. Pukul 07.00 WIB kami tiba di Tugu Yudha, dari sini Puncak Kerinci terlihat semakin dekat.Go..go..go! Semangat kawan, sedikit lagi kita akan sampai di puncak, membuat kaki ini semakin bersemangat melangkah. Tiga… dua… satu, akhirnya pukul 07.30 WIB kami menapaki Puncak kerinci sang atap Sumatera.Rasa haru menyelimuti, tidak sia-sia segala perjuangan kami karena semua terbayar. Setelah cukup puas berpose aneka gaya dengan latar Puncak Kerinci dan Danau Gunung Tujuh di kejauhan, kami bergegas turun karena asap belerang sudah mulai naik. Berbahaya kalau kami masih berada di puncak.Kami mulai menuruni trek kembali untuk menuju camp di Shelter 3. Perjalanan turun agak sedikit mudah dibandingkan dengan saat naik, karena kami bisa sedikit meluncur seperti sedang bermain ski.
Hide Ads