Naik Motor dari Yogyakarta Demi Sempu yang Menawan

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Naik Motor dari Yogyakarta Demi Sempu yang Menawan

Wawan Abe Rossi - detikTravel
Minggu, 03 Nov 2013 13:45 WIB
loading...
Wawan Abe Rossi
Perjalanan menuju Sempu
Malam Bung Karno
Sempu
Naik Motor dari Yogyakarta Demi Sempu yang Menawan
Naik Motor dari Yogyakarta Demi Sempu yang Menawan
Naik Motor dari Yogyakarta Demi Sempu yang Menawan
Jakarta - Perjalanan panjang akan dilakukan demi menyambangi tempat menawan. Misalnya, naik motor sejauh 350 Kilometer dari Yogyakarta ke Malang, untuk melihat Pulau Sempu yang menawan.Jam menunjukkan pukul 11.20 WIB. Sebuah pesan pendek muncul di ponsel. "Aku udah pulang. Bentar lagi ke tempatmu," begitu tulisan yang kubaca. "Aku belum selesai belanja. Nanti klo udah di rumah aku SMS," balasku melalui pesan pendek pula.Rencana 'ngebolang' memang sudah kami rencanakan jauh hari untuk mengisi liburan hari Raya Idul Fitri tahun lalu. Hal itu membuatku begitu antusias menjalani hari menuju keberangkatan. Walaupun sudah terbiasa naik motor Yogyakarta-Kudus PP dan juga pernah Yogyakarta-Pangandaran PP, tapi bagiku ini adalah perjalanan pertama dan lama naik motor dari Yogyakarta ke Malang. Ditambah lagi rencana untuk singgah di beberapa tempat yakni menuju Pulau Sempu dan Puncak Mahameru.Β Dari rencana pukul 12.00 WIB, perjalanan terpaksa molor. Dari semula 4 orang yang akan berangkat akhirnya hanya berdua. Tapi 'the show must go on'. Semua perbekalan kemping sudah masuk ke dalam tas keril masing-masing.Β Peta perjalanan saya persiapkan untuk mengantisipasi agar tidak nyasar dan membuang banyak waktu. Bahkan jarak dan waktu tempuh dari kota ke kota pun saya tempel di setang motor. Pukul 15.00 WIB akhirnya perjalanan kami mulai. Disertai doa yang kupanjatkan kepada Tuhan memohon restu dan perlindungan-Nya, saya beserta Geovan mulai menyusuri jalanan Yogyakarta menuju Solo.Β Sekitar pukul 18.00 WIB kami berhenti di basecamp pendakian Gunung Lawu untuk beristirahat sejenak dan mengisi perut yang sudah mengempis menahan hawa dingin Tawangmangu. Semangkok mie dan minuman hangat cukup untuk menambah energi demi sate Ponorogo yang sekitar 2-3 jam lagi akan kami santap.Β Ya, sate ayam Ponorogo yang maknyus memang menjadi tujuan wisata kuliner menemani petualangan ini. Sekitar pukul 20.30 wib kami tiba di Kota Reog. Berkat petunjuk seorang bapak petugas parkir sampailah kami di kampung sate. Wah, benar-benar mantap satenya!Β Wisata kuliner yang memuaskan. Dengan perut kenyang kami meninggalkan kampung sate menuju Kota Blitar. Kami sangat berterima kasih kepada seorang ibu dan sopirnya yang bersedia menemani kami menunjukkan arah ke luar Kota Ponorogo menuju Blitar.Β Wah, betapa keramahan dan keakraban yang walaupun hanya sebentar selalu berbuah kebaikan. Tuhan memang pada dasarnya sudah menanamkan kebaikan di hati manusia. Menyusuri Kota Trenggalek dan Tulungagung dalam gelapnya malam sambil sesekali berpapasan dengan kendaraan roda empat ataupun motor membuat kami berkonsentrasi penuh.Β Tak sedikit pun rasa kantuk menyerang. Sekitar pukul 01.00 WIB dini hari kami memasuki kota kelahiran Sang Proklamator. Disambut sisa-sisa rombongan konvoi mobil yang malam itu selesai parade merayakan malam menyambut 17 Agustus.Β Memasuki sebuah perempatan kami menanyakan arah jalan ke makam Soekarno kepada seorang bapak yang masih membuka warungnya. Ternyata tidak jauh dari tempat itu, tidak sampai 5 menit kami sampai di perisitirahatan terakhir mendiang Proklamator RI.Β Seorang figur presiden dan pemimpin negara yang aku kagumi. Terlihat pintu gerbang masih sedikit terbuka dengan 2 orang pemuda yang sepertinya masih bertugas menjaga pintu masuk. Kami agak ragu memasuki kompleks di dalam makam dini hari begini.Akhirnya kami memutuskan untuk berziarah keesokan harinya saja dan beristirahat sejenak di areal parkir tidak jauh dari komplek makam. Malam itu Geovan sedikit mengalami suasana mistis. Menurut ceritanya, menjelang fajar dia mendengar suara letusan-letusan senjata dan pekikan-pekikan merdeka yang sangat ramai.Β Padahal sedikit pun aku tidak mendengar suara gaduh, walaupun malam itu aku tidak bisa tidur nyenyak. Ya, mungkin sudah rejeki dia saja. Sekitar pukul 04.30 wib kami memberanikan diri memasuki komplek makam. Motor kami parkir di pinggir jalan tanpa ada pikiran takut bakal diambil orang.Β Dengan perasaan was-was takut ditangkap petugas karena dikira mau maling, kami melihat-lihat bangunan museum dan berfoto dan kemudian berjalan-jalan mencari area makam. Sayup-sayup aku mendengar suara batang-batang lidi bergesekan dengan lantai-lantai batu.Β Spontan kami mendekati arah suara itu dan kami melihat dibalik pagar pintu besi seorang bapak sedang menyapu membersihkan area makam dari daun-daun layu yang telah jatuh. Agak ragu kami untuk meminta bapak itu membukakan pintu.Β Tapi tak berapa lama muncul seorang bapak dari bangunan yang ternyata adalah kantor administrasi komplek makam Soekarno. Dari mana dan keperluan apa sampai di sini ditanyakan kepada kami, sekedar memulai obrolan. Kemudian kami dipersilahkan mengisi buku tamu dan memberi bantuan dana sukarela untuk pemeliharaan.Β Setelah itu beliau mengantar kami ke area makam. Berfoto dan berdoa memanjatkan syukur kepada Tuhan yang sudah menganugerahkan seorang Soekarno kepada negara ini. Pukul 05.30 WIB kami berpamitan dan meninggalkan Blitar menuju petualangan sesungguhnya.Β Perjalanan dari Blitar menuju Pantai Sendang Biru melewati batas waktu yang telah ditentukan Google Maps karena rute jalan yang kami tempuh berbeda dengan peta yang saya cetak. Maklum GPS masih manual alias bertanya dengan penduduk setempat.Setelah singgah sebentar di SPBU Gondanglegi untuk mandi agar tubuh ini merasa bugar untuk perjalanan yang cukup panjang, akhirnya sekitar pukul 11.00 WIB kami tiba di Pantai Sendang Biru. Hanya hamparan kapal-kapal nelayan yang mengisi bibir pantai ini.Β Tidak ada yang istimewa. Minimnya informasi yang ada pada kami membuat kami agak bingung untuk menyeberang ke Pulau Sempu. Bahkan info dari beberapa penduduk setempat tentang rumitnya perizinan dan mahalnya biaya penyeberangan untuk jarak yang sedekat itu, sempat membuat kami ingin membatalkan rencana ke Pulau Sempu.Β Tapi syukurlah Tuhan mengirimkan rombongan yang kemudian bersedia menerima kami untuk bergabung bersama mereka menyeberang. Hal yang perlu diperhatikan bagi mereka yang ingin memasuki Pulau Sempu adalah bahwa pulau ini statusnya adalah cagar alam bukan tempat wisata.Β Jadi sebenarnya tidak seorang pun tanpa izin dari pihak berwenang Perhutani boleh memasuki kawasan ini. Jika pun diizinkan kita harus berterima kasih, di antaranya dengan memberi sumbangan sukarela untuk pemeliharaan sarana dan prasarana dan tetap menjaga kelestariannya.Β Dengan kesadaran yang telah dituturkan oleh Bapak Setyadi selaku kepala pengawas cagar alam Pulau Sempu ini kami berangkat menuju Pulau Sempu. Berjanji pada diri sendiri dan mencoba menyadarkan yang lain untuk ramah lingkungan, tidak meninggalkan sampah apapun di Pulau Sempu.Β Tidak lebih dari 15 menit menyeberang kami menginjakkan kaki di Teluk Semut. Titik awal menempuh perjalanan yang mendebarkan dan penuh antusias menuju Segara Anakan.Β Berjalan di jalan setapak yang masih keras di antara rimbunnya pohon-pohon besar sungguh membuat rasa lelah tak pernah menghambat rombongan kami untuk tetap terus berjalan. Walaupun keadaan jalan setapak yang tidak semulus jalan tol karena beberapa kali harus menanjak atau harus menunduk karena jalan terhalang pohon tumbang.10 orang dewasa dan 1 anak kecil berjalan beriringan sambil sesekali bercanda mengusir kesunyian hutan. Beberapa kali kami berhenti untuk tukar beban atau sekedar melihat monyet-monyet yang sedang bergelantungan di atas pohon.Β Setelah kurang lebih 2 jam berjalan sayup-sayup saya mendengar suara aliran air yang membentur batu-batu karang. Wah, sudah hampir sampai ke Segara Anakan. Sudah tidak sabar lagi rasanya ingin berlari. Berjalan lagi, dan kami mulai melihat air di antara rimbunnya pohon-pohon yang berdiri menahan tanah dari proses pengikisan air laut.Β Tak lama kemudian kami sudah mulai berjalan menyusuri tebing di pinggir pantai di antaranya rimbunnya hutan. Tak sabar menunggu antrean orang-orang yang harus menuruni tebing untuk sampai ke pasir putih Segara Anakan saya memilih untuk langsung loncat saja. Hap! begitu menginjakkan kaki di pasir pantai, wow! tak usah pake koprol pun saya tetep bilang wow.Semua kelelahan menempuh perjalanan panjang hilang seketika menikmati pemandangan di depan mata. Menakjubkan, ini benar-benar ajaib. Tuhan sungguh luar biasa. Apa yang saya lihat laksana kolam renang super besar dengan dinding batu karang dan bukit yang mengelilingiAda juga sebuah lubang di antara batu karang di sana dimana Sang Pencipta seolah mengisi kolam ini tiap malam dan pagi hari. Saya sungguh bersyukur bisa menikmati kesempatan ini. Tak ada kata-kata yang bisa melukiskan eloknya Segara Anakan.Β Hanya pujian kepada Sang Pencipta yang begitu luar biasa menghadirkan sebuah sudut di belahan dunia yang begitu eksotis. Langsung saya rebahkan diri di atas pasir putih menikmati sejuknya angin dan dinginnya air laut yang membasahi pasir.Β Oh indahnya dunia bila manusia bisa menjaganya dengan bijak. Ingin rasanya bisa terlelap tidur di atas pasir. Tapi hari sudah sore saya dan Geovan harus segera mencari spot yang nyaman untuk mendirikan tenda. Hari itu sudah ada beberapa tenda berdiri baik berkelompok atau pun terpisah.Β Sudah banyak orang rupanya yang telah menginap di sini. Semua nampak bahagia, semua bermain menikmati indahnya alam Segara Anakan. Indonesia memang indah kawan. Sungguh benar apa yang dikatakan Ibu Soed dalam karya lagunya Tanah Air.Β Tanah air ku tidak kulupakanKan terkenang selama hidupkuBiarpun saya pergi jauhTidakkan hilang dari kalbuTanah ku yang kucintaiEngkau kuhargaiΒ Terima kasih Tuhan saya bisa hidup di negeri seribu pulau ini.
Hide Ads