Meninggal dengan Meriah di Tana Toraja

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Meninggal dengan Meriah di Tana Toraja

lulabi - detikTravel
Rabu, 16 Jan 2013 08:53 WIB
Jakarta - Tana Toraja di Sulsel, adalah tempat di mana adat istiadat dan agama hidup dengan harmonis. Berkunjung ke sana tak ubahnya seperti berziarah. Ada pesta kematian dan kuburan yang menjadi daya tarik paling menarik untuk turis."Kami orang Toraja lebih meriah dalam merayakan pesta kematian ketimbang kelahiran atau pernikahan," itulah yang dikatakan ibu pemilik rental motor di Rantepao pagi hari kepada saya.Beruntungnya, ibu pemilik rental motor yang kami datangi adalah mantan pemandu wisata. Dengan cuma-cuma, saya pun diberi peta gratis, berserta rekomendasi tempat-tempat menarik yang dibisa dikunjungi selama 2 hari.Ditempuh melalui darat, perjalanan dari Makassar-Tana Toraja memakan waktu cukup lama, yaitu 7 jam. Meski begitu, tidak menyurutkan semangat kami untuk menjelajahi daerah yang terkenal dengan aura magisnya.Jika dilihat secara administratif, Tana Toraja terbagi menjadi dua, yaitu Kabupaten Tana Toraja dengan Ibukota Makale, dan Kabupaten Toraja Utara dengan Ibukota Rantepao.Di Rantepao inilah para turis biasanya menjejakkan kaki. Maklum, destinasi-destinasi menarik di Toraja lebih banyak tersebar di utara, sehingga lebih mudah untuk dicapai dari sini.Setelah mendapat motor, kami segera bergegas mencari sarapan dan penginapan. Meskipun mayoritas penduduknya beragama Kristen, mencari makanan halal di Rantepao bukanlah hal yang sulit.Di sana sudah tersedia banyak warung makan berlabel halal di tiap sudutnya. Biasanya penjual di warung ini adalah para perantau dari Jawa. Mereka mencari peruntungan di kota yang dulu merupakan wilayah paling misterius di Sulawesi ini. Tana Toraja memang misterius. Konon, Belanda sempat mengacuhkan tempat ini selama dua abad karena sangat sulitnya akses menuju ke sana.Daerah yang dikelilingi oleh gunung dan tebing-tebing curam ini baru benar-benar dikenal oleh dunia internasional pada tahun 1970-an. Hal itu terjadi setelah National Geographic mendokumentasikan upacara pemakaman bangsawan terakhir Toraja yang berdarah murni, Puang dari Sangalla.Mencari penginapan di sini juga mudah. Ada bermacam penginapan dengan harga dan fasilitas yang bervariasi. Tetapi karena saya berkunjung pada bulan Desember, bulan di mana warga Toraja dari berbagai penjuru dunia akan mudik untuk merayakan natal bersama keluarga. Inilah bulan di mana turis lebih banyak berdatangan demi melihat upacara-upacara yang bakal lebih banyak dilaksanakan. Konsekuensinya jelas, penginapan lebih banyak yang penuh dan harga sewanya dinaikkan. Saya dan tiga orang teman yang lain mendapat satu-satunya kamar yang tersisa di sebuah home stay yang tidak terlalu nyaman. Setelah tawar-menawar, disepakati harga Rp 250 ribu untuk semalam dan bisa diisi empat orang.Destinasi hari pertama adalah ke utara, ke arah pegunungan. Motor sewaan bekerja keras untuk melewati jalanan menanjak yang berlubang. Satu dua motor yang 'membonceng' babi melewati kami. Tak lama kemudian, melintas pula beberapa mobil pick-up yang mengangkut kerbau. Saya diberitahu sebelumnya, jika ada orang yang membawa babi atau kerbau di jalan, kemungkinan besar mereka sedang menuju tempat pesta. Ternyata benar, di daerah Bori sedang dilaksanakan pesta kematian.Kami memarkirkan motor di pinggir jalan, berdampingan dengan motor-motor lain yang entah milik keluarga, kerabat, atau mungkin sama-sama orang asing seperti kami. Satu hal yang saya tangkap dalam pesta kematian orang Toraja adalah meriah.Para pemuda menyembelih babi, menampung darahnya dalam batang-batang bambu. Kemudian membakar bulunya hingga rontok menggunakan selang panjang yang terhubung dengan tabung gas. Beberapa ibu memasak daging yang telah siap diolah di dalam wajan-wajan besar, sedangkan anak-anak berlarian kesana-kemari. Sebagian besar sisanya asyik berbincang di bawah sederetan tongkonan (rumah adat Toraja), sambil mendengarkan semacam pidato, doa, serta mantra. Untaian doa dan mantra ini diucapkan oleh seorang tetua adat lewat pengeras suara. Sama sekali tidak ada aura duka. Belum lagi rangkaian adu kerbau dan pembantaian kerbau yang alih-alih mengundang kesedihan, tetapi malah mengundang sorak-sorai dari siapa pun yang hadir.Terbesit dalam pikiran saya, apa yang dirasakan keluarga yang ditinggalkan dalam pesta semacam ini. Apakah mereka bahagia, atau justru menyembunyikan kesedihannya di sela gelak tawa. Jawabannya datang dari seorang pemuda Toraja yang saya temui. Dia bilang, pada saat ada orang meninggal, orang-orang di sekitarnya pastilah sedih. Tapi adat adalah adat. Pesta tetap harus dilakukan. Akhirnya kesedihan itu akan tergantikan oleh kesibukan menyiapkan pesta. Orang Toraja menganggap kematian adalah sesuatu yang sakral. Bagi mereka kematian bukanlah akhir dari perjalanan hidup seseorang. Ketika meninggal, arwah seseorang akan melakukan perjalanan menuju tempat bernama Puya. Untuk mempermulus perjalanan orang arwah tersebut, orang-orang yang masih meninggal akan mempersembahkan kerbau sebagai kendaraan, dan babi sebagai makanannya. Maka bisa dipahami, mengapa keluarga yang ditinggalkan akan berusaha sekuat tenaga untuk mempersembahkan kerbau dan babi sebanyak mungkin. Selain untuk mempermudah perjalanan si arwah, kuantitas persembahan juga berpengaruh pada status sosial keluarga tersebut. Orang Toraja juga percaya, jika pesta kematian tidak dilakukan dengan "layak", ketidakberuntungan akan menaungi keluarga mereka serupa mendung.Karena salah satu teman saya tidak tahan melihat darah babi yang menggenang di tanah, kami pun melanjutkan perjalanan. Destinasi berikutnya adalah Bori Parinding, sebuah komplek kuburan untuk masyarakat dari desa sekitarnya.Harap diingat, orang Toraja tidak mengubur mayat di dalam tanah, tetapi di dalam batu. Mereka menganggap tanah adalah elemen suci yang menumbuhkan kehidupan, sehingga mayat lebih baik disimpan dalam batu. Kondisi geografis Tana Toraja yang dikelilingi oleh batu-batu granit raksasa pula lah menurut saya yang memungkinkan budaya itu ada.Di Bori Parinding, selain terdapat batu-batu besar yang telah diisi dengan peti mati, foto almarhum yang dibingkai rapi serta keranda-keranda mayat juga ada. Selain itu juga terdapat banyak sekali batu menhir berbentuk phallus.Batu-batu menhir dengan berbagai ukuran itu merupakan buatan masyarakat sekitar sebagai penanda jika ada pemuka masyarakat yang meninggal. Tradisi unik tersebut sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Saya tidak tahu apa alasan tepatnya pembuatan menhir-menhir ini. Namun kehadiran batu-batu tegak berbentuk alat kelamin pria di berbagai budaya dipercaya merupakan simbol. Simbol ini mewakili oposisi biner yang jika dikawinkan akan menumbuhkan kehidupan baru. Mungkin di sini juga seperti itu.Di antara menhir-menhir tersebut terdapat semacam rumah pohon bernama lakian. Lakian merupakan tempat untuk membagikan daging kerbau dan babi yang telah dipotong. Kemudian semua yang hadir akan makan bersama di salah satu tongkonan bernama Balai Kayam.Destinasi berikutnya adalah kuburan bayi di Pana. Perjalanan ke Pana merupakan pengalaman yang menyejukkan, karena melewati sebuah daerah yang luar biasa indah bernama Batutumonga. Daerah ini merupakan dataran tinggi di mana kita bisa melihat Kota Rantepao dan hampir keseluruhan Tana Toraja dengan begitu jelas. Sungai-sungai kecil yang mengairi area persawahan, yang sebenarnya merupakan pemandangan yang biasa ditemui di Jawa, menjadi tampak sangat istimewa dengan kehadiran kerbau dan burung jalak yang mencari kutu di atasnya.Tak ketinggalan beberapa atap tongkonan yang menyembul dari kejauhan. Sungguh ganjil pikir saya, kehidupan justru terasa sangat hidup di daerah yang identik dengan kematian ini.Satu hal yang sangat saya sayangkan dari Toraja Utara adalah minimnya papan penunjuk arah. Kalau pun ada papan penunjuk, itu adalah buatan mahasiswa KKN (Kuliah Kerja Nyata) yang seringkali malah membingungkan. Untuk sampai ke kuburan bayi ini, kami harus berkali-kali bertanya kepada warga sekitar. Tempatnya tersembunyi di sebuah tebing di balik kebun dan pepohonan. Tebing setinggi belasan meter dilubangi untuk di sana-sini untuk kemudian dimasukkan peti-peti mungil berisi jenazah bayi.Di dasar tebing terlihat beberapa tengkorak dan belulang yang terkumpul dalam peti panjang. Entah jatuh atau sengaja diletakkan di sana, karena ada pula beberapa daerah yang menaruh peti berisi jenazah bayi di atas pohon, bukan di dalam batu.Mungkin karena tempatnya yang tersembunyi dari keramaian dan lembab oleh embun dan pepohonan, suasana di kuburan bayi itu terasa sunyi dan dingin, sangat dingin. Mungkin juga karena semesta sengaja mendesain tempat yang nyaman untuk para arwah bayi itu agar mereka lelap dalam tidur panjangnya. Hari itu kami habiskan dengan berkeliling kota karena hujan tak lama turun dengan derasnya. Esoknya kami lanjut berkendara menuju selatan. Untuk mengunjungi objek wisata di sana, membutuhkan lebih banyak usaha ketimbang di utara.Dibandingkan akses jalan menuju utara yang sempit dan berlubang, jalan menuju selatan sangat lebar dan mulus. Maklum, ini adalah jalan penghubung Rantepao dan Makele yang selalu ramai dilewati.Pengaruhnya jelas, yaitu objek-objek wisata di selatan Rantepao begitu mudah didatangi. Apalagi telah ada papan penunjuk raksasa yang disponsori oleh satu satu perusahaan operator selular. Pengelolaannya pun lebih bagus. Lebih bersih, lebih tertata, dan lebih rapi.Tempat pertama yang kami datangi adalah Londa. Ini adalah kuburan di dalam gua. Di dinding luar gua, terdapat jajaran boneka-boneka kayu berbentuk manusia yang merupakan perwujudan dari orang yang meninggal. Boneka-boneka itu bernama tau-tau. Tau-tau tidak dibuat untuk sembarang orang, boneka yang terbuat dari kayu pohon nangka ini hanya dibuat untuk para bangsawan. Untuk masuk ke dalam gua, kita membutuhkan jasa pemandu yang merangkap sebagai pembawa lampu petromak. Menurut guide kami, kuburan gua ini khusus digunakan oleh keluarga Tongkele. Pertama jenazah akan diawetkan dengan balsem agar tidak berbau. Kemudian dimasukkan ke dalam peti dan ditaruh di sudut-sudut gua yang cukup panjang. Peti-peti yang sudah lapuk akan hancur, dan tengkorak serta tulang-belulang si jenazah akan dikumpulkan di satu tempat."Kenapa tidak dimasukkan ke peti yang baru?" tanya saya kepada guide."Karena untuk mengganti peti harus melalui upacara lagi, biayanya sangat besar," jawab guide kami.Melihat ke salah satu sudut gua, terdapat sepasang tengkorak yang diletakkan berdampingan. Masyarakat sekitar sini menyebut mereka sebagai "Romeo & Juliet"-nya Toraja.Mereka adalah sepasang kekasih yang hubungannya tidak direstui oleh orangtua, lantaran hubungan mereka masih sepupu dekat. Kemudian suatu hari keduanya gantung diri bersama-sama. Saya tersenyum, kematian justru malah membuat mereka dengan tenang bisa berdampingan selamanya. (travel/travel)

Hide Ads