Seru! Perjalanan Penuh Tantangan Menembus Thailand
Selasa, 30 Okt 2012 10:35 WIB

Rakhmad Fadli
Jakarta - Pertama kali ke negara orang ternyata tidaklah mudah. Beda bahasa sering kali menjadi tantangan tersendiri, seperti di Thailand. Inilah traveling penuh tantangan menembus Negeri Gajah Putih. Dari Kuala Lumpur, saya pun menembus Thailand. Kota pertama yang saya jejaki di Thailand adalah Hat Yai. Tepat pukul 09.00 waktu setempat, bus Kuala Lumpur, Malaysia-Hat Yai, Thailand mulai berangkat. Di dalam bus sulit sekali untuk membedakan antara penumpang Malaysia, Thailand, dan Indonesia karena hampir semuanya memiliki garis wajah seperti orang Melayu.Suasana di dalam bus cukup nyaman dan bersih. Pemandangan di kiri dan kanan sepanjang perjalanan dari Kuala Lumpur menuju Hat Yai, terlihat monoton karena didominasi oleh deretan pepohonan kelapa sawit.Selama perjalanan menuju Hat Yai, bus berhenti di dua tempat. Pertama berhenti di tempat pengisian bensin. Di sini bus berhenti cukup lama sehingga penumpang bisa memanfaatkan waktu untuk mampir ke toilet dan membeli makanan di mini market yang berada di lokasi pengisian bensin ini.Kemudian, tempat pemberhentian kedua jaraknya tidak jauh dari perbatasan Malaysia-Thailand. Di sini, petugas bus akan melakukan pendataan paspor penumpang. Di tempat pemberhentian kedua ini juga terdapat tempat penukaran uang. Saya pun menukarkan rupiah yang saya miliki menjadi baht, mata uang Thailand.Lama berselang bus akhirnya tiba di Imigrasi Malaysia. Semua penumpang turun dari bus untuk melakukan pengecekan paspor. Selesai pengecekan, semua penumpang masuk kembali ke dalam bus untuk menuju Imigrasi Thailand yang hanya membutuhkan waktu sekitar 3 menit dari Imigrasi Malaysia.Setelah melintasi perbatasan negara, akhirnya bus tiba di Imigrasi Thailand. Semua penumpang kembali turun melakukan pengecekan paspor agar bisa memasuki Thailand.Bus mulai berjalan menapaki tanah Thailand. Saya pun mulai mempersiapkan mental untuk menghadapi wilayah baru ini. Tidak akan saya temui lagi bahasa yang bisa dimengerti dan huruf latin yang bisa dengan mudah saya eja. Kalau pun ada, dipastikan sangat kecil sekali kemungkinannya. Di sini saya mulai kesulitan mencari masjid atau musala terdekat. Ya, tidak segampang di Malaysia atau Indonesia. Bus terus melaju semakin jauh dari perbatasan Thailand-Malaysia. Perjalanan ini pun ditemani dengan hujan yang tidak begitu deras sampai hari semakin gelap.Tak lama kemudian, bus berhenti di salah satu deretan ruko di Kota Hat Yai, persis di depan agen bus pada pukul 19.30 waktu setempat. Semua penumpang turun satu per satu. Saya memasuki agen bus tersebut dan menanyakan keberangkatan bus tujuan Phuket, Thailand. Salah seorang petugas tiket yang ternyata bisa berbahasa Melayu itu, menyarankan saya untuk menuju terminal Bus Hat Yai dengan menggunakan tuk-tuk.Saya pun mengikuti sarannya dengan menaiki tuk-tuk menuju Terminal Bus Hat Yai. Untuk menaiki tuk-tuk menuju terminal, saya harus membayar seharga 40 baht atau Rp 12.500. Saya yakin, tarif tuk-tuk ini lebih mahal dari biasanya karena ia mengetahui kalau saya pendatang dan bukan orang asli Thailand.Tetapi karena waktu yang mendesak dan harga yang ditawarkan masih terjangkau, terpaksa saya merelakan membayar lebih mahal. Supir tuk-tuk ini ternyata seorang Muslim bernama Hasan. Wajahnya mirip seperti orang Melayu, tapi sayangnya dia hanya mengerti bahasa Thailand.Tak lama kemudian, tuk-tuk yang saya naiki berhenti di depan salah satu agen tiket yang terdapat di antara deretan ruko. Saya langsung disambut oleh seorang petugas tiket dengan menggunakan bahasa Thailand. Supir Tuk-tuk yang mengetahui saya bukan orang Thailand langsung memberitahukan kepada petugas tiket tersebut, kalau saya tidak mengerti bahasanya. Bentuk wajah yang tidak jauh berbeda membuat saya sering dikira orang Thailand.Saya memasuki agen tempat penjualan tiket dan mulai menanyakan keberangkatan bus tujuan Phuket dengan menggunakan Bahasa Inggris. Si petugas tiket tidak mengerti apa yang saya ucapkan. Terpaksa Saya menggunakan bahasa isyarat sambil mengucapkan kata "Phuket" kepadanya.Akhirnya si petugas tiket itu mengerti sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia langsung mengambil kalkulator dan mengetikkan tiga digit angka dan menunjukkannya kepada saya sambil mengucap kata Phuket.Uniknya, harga tiket bus di sini bisa ditawar. Harga tiket tujuan Phuket yang ditawarkan, awalnya sebesar 600 Baht atau Rp 187.600. Saya tidak setuju dengan harga yang ditawarkannya. Karena menurut informasi yang saya dapatkan melalui internet, tiket dari Hat Yai ke Phuket sekitar 300-400 Baht atau Rp 93.800-125.000.Kemudian Saya tawar menjadi 300 Baht. Ia pun mulai menurunkan harga menjadi 400 baht. Karena sudah terlalu lama tawar menawar dan tidak mau membuang waktu akhirnya saya menyetujui harga tiket Hat YaiβPhuket sebesar 400 Baht (Rp 125.000). Setelah selesai membeli tiket, saya menanyakan dimana letak keberadaan terminal bus kepada petugas tiket tersebut.Karena kesulitan dalam berkomunikasi dengan petugas tiket tersebut, terpaksa saya mengambil secarik kertas dan pena untuk menggambarkan sebuah terminal. Kemudian saya tunjukkan gambar tersebut kepadanya sambil dibantu dengan menggunakan bahasa tubuh.Harapan saya, dia bisa mengerti dengan apa yang saya maksudkan. Setelah melihat gambar yang saya buat kemudian ia pun mengangguk-angguk. Saya merasa, lega karena direspon baik olehnya. Pada saat mendengar jawabannya saya kembali mengerutkan kening karena ia kembali mempermasalahkan harga tiket. Saya pun hanya bisa bersabar.Akhirnya datang seorang ibu-ibu berkewarganegaraan Filipina yang bisa berbahasa Inggris. Saya pun bertanya kepada ibu tersebut. Begitu mendengar jawabannya, saya cukup kaget karena ternyata terminal bus yang saya cari dari tadi terdapat persis di seberang jalan.Suasana malam yang gelap dan terminal bus yang dipagari dengan tembok tinggi, membuat saya kesulitan untuk mengenali keberadaan terminal bus tersebut. Jika dilihat dari luar, terminal bus tersebut lebih mirip dengan kantor kecamatan di Indonesia atau sebuah sekolah.
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum
Hutan Amazon Brasil Diserbu Rating Bintang 1 oleh Netizen Indonesia