Pagi yang Romantis di Ranu Kumbolo
Jumat, 28 Des 2012 15:45 WIB

Jakarta - Pendaki mana yang tak kenal Ranu Kumbolo? Danau cantik ini menjadi surganya para pendaki Gunung Semeru, Jawa Timur. Terlebih saat alamnya berselaras saat pagi hari. Pemandangan ini terasa begitu sangat romantis.Dingin sedikit masih terasa, sambil duduk di pinggiran Danau Ranu Kumbolo, aku berdiskusi bersama pendaki lainnya, Chandra tentang banyak hal. Tentang konservasi, sosial kehutanan, dan hakikat manusia dalam kehidupan. Kami berlindung di bayang pohon yang meneduhkan dari sengatan matahari pagi. Sabtu pagi (27/10/2012) sambil memandang jauh ke sekeliling Ranu Kumbolo, aku berpikir tentang begitu besarnya jasa dan beratnya pekerjaan yang sebenarnya ada di hadapan kami juga: menjaga kawasan hutan dan melindunginya. "Coba sesekali Menteri Kehutanan di bawa ke sini ya, Chan," aku memulai obrolan dengan membayangkan seandainya Menetri Kehutanan juga ada di sana saat itu. Aku ingin banyak bercerita tentang betapa luasnya hutan yang harus dijaga, dan berapa beratnya pekerjaan yang harus dilakukan.Sepanjang perjalanan ketika memasuki kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) kami disuguhkan pemandangan yang memprihatinkan. Kanan-kiri hutan yang menguning akibat kemarau panjang sebagiannya telah habis terbakar. Di beberapa titik, asap masih terlihat mengepul ke udara, bukit-bukit tandus menjulang terjal menggambarkan kerasnya kehidupan di sana. Aku tidak bisa bicara banyak, dalam hati aku menggumam tentang mereka: sahabat-sahabat yang dengan teguh terus berjuang menjaga ekosistem hutan dan rela hidup jauh di ujung-ujung bukit dan di pedalaman hutan.Kemarau tahun ini memang terbilang panjang, rumput dan pohon-pohon tampak kering serta sebagian menguning. Semuanya memang mudah termakan api. Di sini, Gunung Semeru memberi raut wajah dengan jurang-jurang dalam dan bukit-bikut menjulang. Aku semakin merinding membayangkan pekerjaan mereka yang luar biasa.Pembicaraan kami berlanjut, dengan pekerjaan yang begitu besar, yaitu menjaga kawasan hutan tidak mungkin bisa dilakukan sendiri. Konsep pembelajaran dan penularan pemahaman akan konservasi kepada masyarakat mungkin menjadi hal yang layak dipilih. Mustahil jika hanya mengandalkan orang kehutanan untuk menjaga hutan. Bayangkan saja seandainya di Ranu Kumbolo kita tempatkan satu petugas yang bisa menjamin kelestarian Ranu Kumbolo. Itu tidak akan bisa terjadi dan bayangkan apabila harus menjaga kawasan yang luasnya ribuan hektar. Diskusi ini kami jalani entah dengan motifasi apa, mungkin karena jiwa lelah atau memang atas kecintaan pada alam, entahlah.Ranu Kumbolo masih tenang, segumpal kabut sepertinya akan datang dan mulai memasuki celah dua bukit yang ada di timur danau. Kami masih duduk sambil menghisap kretek yang tinggal sebatang. Sesekali gadis-gadis berlalu-lalang di depan kami untuk mencuci peralatan makan mereka ke tepian danau. Angin lembut terasa menaikkan bulu roma, dingin, dan segar sekali. Kabut tipis mulai menutupi permukaan danau yang tenang, aku masih berdiskusi tentang sudut pandang manusia tentang alam. Kami berbicara tentang satu hal. Tentang keinginan dan hasrat memiliki yang selalu di tonjolkan manusia. Sebegitu kuatnya hasrat ini sehingga hampir setiap orang bisa mengklaim bahwa mereka memiliki sumberdaya alam. Sampai akhirnya kami tertawa lepas, menertawai diri kami yang juga mungkin termasuk kedalam manusia itu sendiri. Dingin semakin terasa, aku lingkarkan selimut pemberian Mama di Flores untuk sekadar menghangatkan tubuh. Sesekali aku melihat bukit-bukit yang menguning di sekeliling Ranu Kumbolo. Meresapi angin dinging dan jejeran tenda penuh warna yang menghampar di pinggiran danau.Matahari mulai tinggi, kabut semakin lama semakin menutupi permukaan Ranu Kumbolo. Perut yang tadi diisi dengan sarapan nasi goreng sudah mulai terasa lapar. Sambil berjalan di tepian danau, kami sesekali singgah di tenda-tenda pendaki lainnya. Salam dan sapaan hangat selalu beriring tawa, inilah gaya khas pendaki gunung.Entah kenal atau tidak, di alam kita semua menjadi sahabat. Aku sedikit memahami, 3 bulan lebih aku hidup di Surabaya, hampir dibilang tidak pernah menemukan teman baru. Namun di gunung, 2 hari saja semua sudah seperti berteman sejak lama.Riuh suara pendaki mulai terdengar kembali, siang di Ranu Kumbolo banyak didatangi pendaki-pendaki yang baru sampai. Mereka memulai perjalanan dari Ranu Pane sejak pagi. Tempat-tempat yang tadinya kosong kini mulai berdiri tenda-tenda pendaki. Aku, Chandra, dan Ari memilih untuk naik ke sebuah punggungan bukit dan menjajal Tanjakan Cinta. Tanjakan Cinta sangat terkenal di kalangan pendaki, khususnya mereka yang sudah pernah ke Gunung Semeru. Ada banyak cerita dan pandangan mengapa tanjakan ini diberi nama Tanjakan Cinta.Ah, tapi saya tidak mau ambil pusing. Yang saya pikirkan mungkin ini diberi nama Tanjakan Cinta karena tanjakan ini menjadi jalur pertama pendaki meninggalkan Ranu Kumbolo untuk menuju Puncak Mahameru. Tentunya itu sangat berat mengingat keindahan dan kenyamanan yang disajikan Ranu Kumbolo.Sore datang dengan kabut tipis yang mulai menutupi Ranu Kumbolo. Di pinggiran danau aku merasakan rindu yang cukup besar. Kabut yang begitu romantis, ingin rasanya aku kemas dan aku bawa pulang atau memikirkan bagaimana caranya untuk bisa membawa ini semua dalam kehidupan yang setiap hari dijalani. Aku mulai berimajinasi. Ah, semakin gila saja rasanya untuk memuaskan hasrat dan saat itu aku lupa hakekat menjadi manusia. Sambil berkaca di air danau yang bening, setelah mencuci muka dan sikat gigi aku melihat teka-teki alam dan diriku sendiri. Entah sampai kapan aku bisa menjadi jiwa yang mengambang seperti ini. Pikiran yang terus diracuni oleh data-data kerusakan alam dan bayang bencana luar biasa. Angin tipis datang menberi riak di pinggir kayu tempat aku berdiri. Sebelum menjadi lebih gila aku buang jauh-jauh pemikiran ini. Air danau yang tenang, menjadi beriak ketika aku masukkan botol air untuk mengisi air minum. Sore datang, dalam tawa kami nikmati santapan hangat bersama kabut dan Ranu Kumbolo begitu tenang."Uno! Hahaha.." tawa selalu lepas dari dalam tenda yang berisi tiga orang ini. Aku masih belajar bermain Uno, permainan yang sebenarnya tidak asing dikalangan anak muda. Kami bertiga berlomba entah untuk apa, bermain Uno dan mencoba memenangkan permainan untuk bisa mengalahkan lawan. Kegiatan ini dilakuakan hanya untuk bisa menimbulkan tawa. Waktu di Ranu Kumbolo tidak semahal waktu-waktu di kota besar.Malam sudah cukup dingin, gelap sudah pekat, dan kebosanan bermain Uno sudah datang. Aku memilih keluar tenda dan Chandra ingin tidur sebentar. Dijejeran tenda-tenda pendaki, aku ikut bergabung bersama teman-teman dari Malang yang tengah melingkar di api yang mereka buat. Sambil meminum kopi kami banyak belajar bahasa Polandia dari beberapa pelajar asal Polandia yang juga ikut mendaki. Tawa pecah menghangatkan suasana keakraban, cahaya yang ditimbulkan dari api yang kami buat memberi cahaya samar menerpa wajah kusam. Panas dari api cukuplah untuk menghangatkan malam yang mulai dingin. Di atas, bulan memang belum penuh namun cukup memberi penerangan untuk Ranu Kumbolo malam ini. Waktu sudah mulai malam, beberapa pendaki juga masih berdatangan dan membangun tenda di beberapa tempat yang masih kosong. Semua pendaki sibuk dengan acara masing-masing, menikmati hidup mereka dengan malam Ranu Kumbolo yang beku dan tenang.Pagi, 28 Oktober 2012, hari ini sebagian orang telah berkumpul di pelataran Ranu Kumbolo. Mereka berbaris membentuk lingkaran, menghadap pada satu titik fokus: tiang bendera. Tepat pukul 10 Pagi, upacara peringatan Hari Sumpah Pemuda dimulai. Cuaca begitu cerah, langit begitu biru, dan angin yang tenang. Merah putih berkibar tenang di ujung tiang bambu. Ranu Kumbolo kembali menjadi saksi semangat dari pemuda-pemuda Indonesia yang berada di sana. Sampai aku pulang, aku masih terus memaknai kalimat penyemangat yang tadi bergema, "Suatu negara tidak akan kekurangan pemimpin bangsanya jika negara tersebut masih memiliki banyak pemuda yang mencintai alamnya!" teriak Bapak Pramuka, Baden Powell.
(travel/travel)
Komentar Terbanyak
Warga Harap Wapres Gibran Beri Solusi Atasi Banjir Bali
Belum Dibayar, Warga Sekitar Sirkuit Mandalika Demo-Tagih ke ITDC
Potret Sri Mulyani Healing di Tanah Air & Pesan Jangan Pernah Lelah Mencintai Indonesia