Larut Dalam Pesona Alam Desa Edensor, Inggris

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Larut Dalam Pesona Alam Desa Edensor, Inggris

wahyu tamadi - detikTravel
Jumat, 03 Feb 2012 07:59 WIB
Jakarta - Jika menjejakkan kaki di tanah Inggris, maka salah satu tujuan wisata yang sudah direncanakan sejak jauh-jauh hari seorang pembaca karya-karya Andrea Hirata adalah Edensor.Edensor adalah desa yang dideskripsikan Andrea Hirata di novel Laskar Pelangi dengan kutipan-kutipan dari buku If Only They Could Talk karya James Herriot, desa yang diceritakan menjadi tujuan perjalanan Ikal di buku Edensor.Edensor berada di wilayah Peak District, dekat Kota Sheffield. Perjalanan dari Leeds menuju Sheffield bisa ditempuh dalam waktu satu jam dengan kereta yang tiketnya seharga 7 Pounds. Bus yang melewati Edensor bisa didapat di stasiun bus yang jaraknya lima menit jalan kaki dari Stasiun kereta Sheffield. Frekuensi kedatangan bus itu setengah jam sekali pada hari kerja dan hanya sejam sekali pada hari libur dengan tiket pulang-pergi seharga 5 pounds.  Pemandangan kota-kota kecil yang dilatarbelakangi bukit dan lembah kehijauan berlangsung selama satu jam perjalanan. Jalan berkelok-kelok persis seperti dalam deskripsi buku Edensor. Semakin lama ditempuh, semakin kota-kota tersebut beralih menjadi desa, semakin kecil, semakin hijau.Bus berhenti di pemberhentian Chatsworth, di mana terdapat objek wisata Chatsworth House, yaitu sebuah rumah besar tempat tinggal Dukes of Devonshire. Tempat yang menjadi salah satu setting adegan di film Pride and Prejudice, film yang diangkat dari novel berjudul sama karya Jane Austen. Bangunan kuno megah yang dikelilingi dengan taman dan air mancur yang indah serta tetumbuhan menjalar yang berbentuk labirin besar merupakan daya tarik wisata utama di sekitar tempat ini.Namun, bagi orang Indonesia yang juga menjadi pembaca Laskar Pelangi, menemukan Edensor tetap merupakan prioritas utama, tak tergantikan. Dari Chatsworth House, Edensor bisa dicapai dengan berjalan kaki melalui sebuah bukit.Sejauh mata memandang terhampar landscape hijau di antara pepohonan dengan dedaunan yang memerah menjelang musim gugur. Beribu domba menyebar dan menjalani hidup dengan damai di lahan rerumputan itu. Tanpa beban, hanya perlu makan. Orang-orang yang memiliki penyakit sulit tidur sebaiknya segera datang ke sini dan mulai menghitung domba-domba tersebut.Setelah berjalan menelusuri jalan setapak berbatu yang menembus bukit, berpapasan dengan beberapa turis lokal yang ramah, akhirnya sampai di sebuah gereja dengan rumah-rumah di sekelilingnya. Papan nama gereja itulah satu-satunya bukti formal bahwa ini adalah Edensor. Gerbang desa berukir ayam jantan dan papan nama Edensor tak ditemukan, sehingga menerbitkan niat di dalam hati untuk membuat sendiri papan nama itu di rumah dan memasangnya di salah satu jalan ke arah desa, lalu berfoto di sana.Namun demikian, suasana desa, hawa sejuknya, udara yang sangat segar sehabis hujan, bebukitan yang menghampar tak beraturan, sungai berair tenang yang berliku membelah ladang, rumah-rumah petani yang terbuat dari batu berwarna kelabu, tanaman bunga di pekarangan dan pagar, aneka pohon apel yang bertebaran di antara rerumputan hijau. Semua terangkai dengan bingkai langit biru dan sekelompok awan sisa hujan yang berarak mengejar burung-burung yang terbang bebas, melengkapi gambaran indah yang menciptakan suasana damai. Edensor, sungguh tempat dengan pesona surgawi yang dapat menentramkan hati, layaknya seorang kekasih.Jika memiliki kekasih, maka tempat ini akan menghadirkan keinginan untuk membawanya duduk dan bercengkrama di bawah salah satu pohon apel itu, di musim saat bunga-bunga bersemi, mekar berwarna-warni yang harum semerbak mewangi.  Jika telah berpisah dengan kekasih, maka tempat ini akan menghadirkan berbagai pengandaian bahwa mesin waktu bisa ditemukan untuk kembali ke masa lalu, sekedar menculiknya dan membawanya duduk dan berbagi cerita di bawah salah satu pohon apel itu, di musim saat bunga-bunga sedang berseri sehingga dapat membuat cinta bersemi kembali.Jika mempunyai domba, maka tempat ini akan menghadirkan pengandaian untuk membawa domba itu dan melepasnya untuk bergabung dengan domba-domba lain yang sedang berbahagia memakan buah apel yang jatuh sebagai kudapan di antara rerumputan hijau dan tanaman berbuah ceri.Jika hanya seorang diri, tidak punya kekasih, tidak punya mantan kekasih, dan tidak punya domba, betapa pun menyedihkannya, cukuplah duduk berdiam diri di bawah sebuah pohon apel itu, dengan kemungkinan menemukan teori gravitasi baru, yang kabarnya ditemukan Newton karena diilhami kejatuhan buah apel itu.Edensor, selalu akan menjadi sumber dari berbagai inspirasi. Menjadi inspirasi bagi banyak orang Indonesia untuk berkelana ke Negeri Britania Raya, menjadi inspirasi untuk menulis novel dan film romantis, menjadi inspirasi untuk menemukan teori gravitasi, sebagaimana juga menjadi inspirasi untuk menulis cerita perjalanan di detikTravel ini. Suatu saat di musim semi, kita akan ke sana lagi. “Sure Love, It’s Edensor.” (travel/travel)

Hide Ads