Sangihe: Hangatnya Tahuna dan Eksotisme Mahengetang
Senin, 10 Okt 2011 13:48 WIB

Jakarta - Sepanjang malam itu kami habiskan di atas KM Terra Sancta yang membawaku, Nabhan, Diffi dan Ferdinan dari Manado menuju Sangihe, sebuah pulau di bagian utara Sulawesi yang Β termasuk wilayah perbatasan RI-Filipina.Subuh dini hari kami kami tiba di Tahuna, Ibu Kota Kabupaten Kepulauan Sangihe. Kondisi masih gelap. Kami berempat, masing-masing membawa ransel 'carrier' besar plus tas jinjing berisi alat-alatsnorkeling, berjalan keluar dari pelabuhan kecil yang tidak terlalu ramai itu. Penampilan dan wajah asing kami mengundang suara riuh supir mikrolet atau ojek yang menawarkan jasanya.Sambutan HangatKami dijemput oleh teman yang telah kami hubungi sehari sebelumnya melalui sms dan baru kami ketahui wajahnya saat bertemu: Fenly dan Inot. Dengan menyewa 'oto', sebutan bagi mikrolet, kami menuju sekretariat MPA (Mahasiswa Pecinta Alam) Anemon di Politeknik Nusa Utara, satu-satunya perguruan tinggi di wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe. Sambutan dan perkenalan hangat dengan teman-teman MPA Anemon pagi itu rupanya merupakan awalan dari kehangatan-kehangatan lainnya yang kami dapat selama berada di Sangihe.Pagi itu juga, kami mengunjungi Pangkalan TNI-AL Tahuna dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sangihe untuk mendapatkan informasi dan bantuan menuju destinasi utama kami, Pulau Mahengetang. Di lokasi ini kami akan ber-snorkeling.Pulau Mahengetang, sebuah pulau vulkanis dengan luas hanya kurang lebih satu kilometer pesegi, memiliki potensi alam yang sangat luar biasa dengan keberadaan gunung api bawah laut di perairannya.Luar biasa! Kami mendapat respon yang sangat baik dari Komandan Pangkalan TNI-AL Tahuna dengan memberikan kami tumpangan menuju Pulau Mahengetang. Respon yang sangat baik juga kami dapat dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sangihe dengan mengutus Pak Nirwan untuk memandu dan membantu keperluan mediasi kami.Siang itu, ponselku berdering. Suara diseberang, yang rupanya utusan Pak Komandan, menyampaikan mendat untuk mengajak kami makan malam bersama. Kehangatan lain yang kami dapat pada hari pertama di Sangihe.Pertunjukan SoreCerah langit sore itu membawa kami ke Kampung Tidore, perkampungan Muslim diantara mayoritas penganut Kristen di Sangihe.Anak-anak lelaki bermain bola di ruas jalan beraspal yang belum rampung. Seekor anak kambing melompat-lompat lincah di atas bebatuan yang menahan air laut menggerus daratan. Seorang ibu mengajari anak balitanya berenang di laut yang sangat tenang. Segerombolan bapak-bapak berdiri berjajar, memancing sambil sesekali mengobrol, namun tak terlihat satupun ikan yang didapat.Kami berempat duduk di atas beton pembatas antara jalan dan lautan sambil menikmati kopi Tidore yang disajikan oleh Ridwan, pemuda Kampung Tidore yang juga merupakan senior di MPA Anemon. Kopi ini yang membuat kami betah melek sepanjang malam. Dari tempat kami duduk, suasana sore disajikan dengan keindahan sempurna. Kami berada di titik dimana kami dapat memandang keseluruhan Teluk Tahuna dengan bukit-bukit indah yang mengelilinginya. Dan inilah pertunjukan utama! Matahari tergelincir turun, membiaskan cahaya-cahaya jingga yang hangat, membiarkan langit memantulkan bias-bias jingga yang sama. Pertunjukan dengan keindahan Spektakuler.Β Kami bercakap-cakap santai dan akrab dengan Pak Komandan pada jamuan makan malam informal itu. Kami merasa terhormat duduk satu meja dengan beliau. Sajian seafood diatas meja benar-benar menggugah selera. Kakap merah bumbu pedas yang pedasnya tidak hanya di permukaan kulit namun hingga ke dalam dagingnya, cumi goreng berbalut tepung yang kenyal renyah dan yang khas dari Sulawesi Utara, yaitu Sop Kuah Asam dengan potongan besar ikan tuna di dalamnya. Satu peraturan yang baru aku ketahui, tidak boleh berhenti makan sebelum Komandan berhenti makan.Pak ArujiSesosok pria separuh baya keluar dari rumah besar itu. Garis wajahnya keras, kulitnya legam terbakar matahari, badannya kekar, suarnya lantang membelah kesunyian pagi yang diselimuti mendung dan gerimis. Perdebatan kecil dengan beliau tak terelakkan. Beliau adalah Pak Aruji, tokoh nelayan setempat yang kapalnya akan kami tumpangi untuk menuju Pulau Mahengetang.Gerimis berubah menjadi hujan. Dengan suara lantangnya, Pak Aruji menyuruhku, wanita satu-satunya dalam tim, masuk ke rumahnya agar terlindung dari hujan. Aku berlari-lari kecil menuju rumahnya. Sesaat, aku melirik beliau, ada sorot mata lembut dibalik karakter fisiknya yang keras.Eksotisme MahengetangCahaya matahari dibiaskan oleh titik-titik air di udara. Kami berlayar melewati lorong pelangi dari Tahuna menuju Pulau Mahengetang. Kapal kami bak membelah hamparan cermin biru tak berujung. Air laut pagi itu sangat tenang. Burung-burung laut beraksi. Terbang menukik masuk ke dalam air dan keluar membawa ikan kecil di paruhnya. Ikan-ikan 'indosiar' terbang diatas permukaan air dengan tubuh keperakan yang bersinar memantulkan cahaya matahari. Aku berharap dapat melihat lumba-lumba.Kami melewati beberapa pulau indah, antara lain Pulau Kalama dengan Gua Walet yang sangat besar dan Pulau Kahakitang dengan pantai dan terumbu karangnya yang indah, sebelum tiba di Pulau Mahengetang.Sepanjang kepulauan Indonesia berada dalam jalur 'ring of fire' atau Sabuk Api Pasifik yang merupakan zona teraktif dengan deretan gunung vulkanis aktif. Dari beberapa penelitian dan survei kelautan, sebagian besar gunung api yang telah terdeteksi berada di kedalaman puluhan hingga ribuan kilometer. Di antara banyak gunung berapi yang berada di perairan cukup dangkal terdapat di Pulau Mahengetang, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.Banua Wuhu, demikian masyarakat menyebut gunung api bawah laut yang berada hanya 300 meter dari sisi barat daya Pulau Mahengetang. Titik kepundan gunung ditandai oleh keluarnya gelembung di antara bebatuan di kedalaman 8 meter dengan suhu air rata-rata 37-38 derajat Celsius dimana di sejumlah lubang mengeluarkan air panas. Keunikan yang terdapat pada gunung berapi bawah laut di perairan Pulau Mahengetang ini sangat jarang dijumpai di tempat lain diseluruh dunia, titik lokasi kepundan gunung yang cukup dangkal, sangat memungkinkan untuk diselami. Selain itu didukung kondisi ekosistem bawah laut di perairan Pulau Mahengetang yang termasuk dalam wilayah 'World Coral Triangle' yang indah dan masih terjaga dengan baik.Tengah hari, kami tiba di pulau tersebut. Mengisi tenaga, kami memasak didepan rumah kepala desa dan makan siang. Masker, snorkel dan fins telah terpasang. kami βnyeburβ ke titik penyelaman. Jarak pandang sangat bagus, namun arus cukup kencang membuat tenaga begitu cepat terkuras.Eksotis! Batuan-batuan berwarna kecoklatan akibat tertutup sulfur kontras dengan perairan yang kebiruan. Gelembung-gelembung kecil dan air hangat keluar dari titik kepundan gunung. Menjauh dari titik kepundan, karang-karang soliter mulai terlihat. Pada batuan yang kecoklatan terdapat bercak-bercak putih, yang menurut Ferdinan adalah Kalsium Karbonat, substrat untuk tumbuhnya karang, sehingga ada kemungkinan kelak lokasi ini akan menjadi tempat tumbuhnya terumbu karang yang sangat baik. Jauh ke bawah, terdapat wall yang hanya dapat kami pandangi dari permukaan dengan ribuan ikan-ikan berenang disekitarnya.Lelah dan waktu yang terbatas, kami kembali menuju Tahuna, disambut oleh hujan deras. Malam itu juga kami kembali ke Manado.Perpisahan HaruKami bergegas, karena tepat pukul 19.00 WITA kapal akan berangkat. Lagi-lagi, kami dibantu oleh Pak Komandan. KM Teratai yang akan membawa kami ke Manado ditunda keberangkatannya hanya untuk menunggu kami! Kami berlari dari gerbang pelabuhan menuju kapal dengan 'carrier' di punggung. Waktu yang mendesak menyingkat perpisahan kami dengan teman-teman MPA Anemon yang mengantarkan kami ke pelabuhan. Entahlah, perpisahan kali itu membuatku sangat terharu.Tahuna, kota kecil yang indah, tenang dan nyaman. Sekretariat MPA Anemon yang bagai rumah sendiri. Dan teman-teman MPA Anemon yang walaupun baru berkenalan beberapa hari, tapi terasa sangat dekat. Bayang-bayang Tahuna masih membekas di hati dan pikiran.
(travel/travel)
Komentar Terbanyak
Bus Pun Tak Lagi Memutar Musik di Perjalanan
Ogah Bayar Royalti Musik, PO Bus Larang Kru Putar Lagu di Jalan
Takut Bayar Royalti, PO Haryanto Ikut Larang Kru Putar Lagu di Bus