Sang Legendaris, Penulis Daun Lontar, I Wayan Muditadnana

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Dwi Wisuda Saptarini|12496|BALI|20

Sang Legendaris, Penulis Daun Lontar, I Wayan Muditadnana

Dwi Wisuda Saptarini - detikTravel
Selasa, 19 Jul 2011 15:20 WIB
loading...
Dwi Wisuda Saptarini
I Wayan Muditadnana hendak memperlihatkan salah satu karyanya
Selain menulis di daun lontar, keahlian lain beliau adalah bermain musik Gendar Wayang
Memeriksa hasil tulisannya di daun lontar
Pojokan tempat kerjanya sehari-hari
Inilah mahakarya beliau yang sudah beredar di seluruh dunia
Sang Legendaris, Penulis Daun Lontar, I Wayan Muditadnana
Sang Legendaris, Penulis Daun Lontar, I Wayan Muditadnana
Sang Legendaris, Penulis Daun Lontar, I Wayan Muditadnana
Sang Legendaris, Penulis Daun Lontar, I Wayan Muditadnana
Sang Legendaris, Penulis Daun Lontar, I Wayan Muditadnana
Jakarta -

Siang sudah menjelang, desa Tenganan baru saja menyelesaikan jamuan makan siang bersama di balai desa. 100 meter dari balai desa tersebut, terdapat sebuah rumah dari sang legendaris I Wayan Muditadnana. Di sela-sela waktu istirahatnya, beliau menyempatkan diri berbincang bersama Tim Bali.

Sosoknya yang renta dengan rambut putih menghiasi mahkota kepalanya, Pak Wayan, 79 tahun, masih kuat berjalan mengeliling desa. Ingatannya masih tajam, hasrat keingintahuannya begitu besar jika menyangkut tentang sejarah kerajaan kuno Indonesia ataupun kesusastraan bahasa-bahasa kuno seperti Sansekerta, Kawi, maupun bahasa Bali kuno. Beliau memang satu-satunya sosok yang menguasai sepenuhnya ketiga bahasa tersebut di dunia. Pemahaman akan bahasa kuno itu merupakan modal beliau dalam menoreh tulisan di lembar daun lontar.

Setiap hari mulai pukul 3 pagi, beliau duduk di pojokan teras rumah, memulai ritual penulisan daun lontar. Yang ia tulis merupakan Wira Cerita Ramayana maupun Mahabarata. Perlu waktu setidaknya 5 bulan untuk dapat menyelesaikan cerita tersebut. Begitu cerita terselesaikan, selalu saja ada orang yang berniat membelinya dengan harga berapapun yang ia minta. Keinginannya untuk memiliki sendiri mahakarya buatannya, tidak pernah dapat terpenuhi. Meski demikian, karya-karya beliau sudah terpampang di museum-museum di seluruh dunia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sambil memperagakan cara penulisan di daun lontar, beliau bercerita bahwa perlu waktu 30 tahun untuknya mempelajari semua ilmu yang diperlukan untuk keahlian ini. Tidak hanya cara menoreh yang benar di daun lontar, tapi juga mempelajari secara mendalam kesusastraan Sansekerta, Kawi, dan Bali kuno. Sama halnya membuat kaligrafi, penulis daun lontar perlu mempelajari seni menulis indah. Lebih sulit lagi karena bidang daun lontar tidak seperti kertas, ia harus menorehnya dengan alat yang disebut pengrupak. Huruf-huruf yang tertoreh pun disesuaikan dengan ukuran daun lontar. Kecilnya media penulisan dan huruf yang rumit, menjadi tantangan tersendiri bagi para penulis daun lontar. Dari hasil torehan pengrupak itu, kemudian diberi kemiri yang sudah dibakar untuk membuat warna hitam pada tulisan.

Penulis daun lontar sebenarnya ada banyak di Bali, tapi yang benar-benar mempelajari makna dan filosofi dari setiap huruf Sansekerta dan Kawi yang tertoreh dalam daun lontar dan mengetahui secara mendalam kesusastraan bahasa tersebut hanyalah Pak Wayan seorang. Beliau amat senang jika ada seseorang yang hendak berguru padanya. Dulu ia memiliki banyak murid, hanya saja ditengah perjalanan murid-muridnya berguguran. Mempelajari bahasa-bahasa kuno memang memerlukan waktu yang lama dan kesabaran yang tinggi. Hingga kini, ia berusaha mewariskan keahliannya pada sang anak. Mengingat usianya yang sudah tidak muda lagi, besar harapan beliau taruhkan pada sang anak untuk meneruskan keahliannya demi penerusan warisan budaya kuno Indonesia.

Sejenak ia masuk ke dalam rumah, mengambil hasil karyanya yang sudah dipesan oleh seseorang dari Jakarta. Beliau membuka ikatan pada daun lontar tersebut dan membacakan apa yang tertulis di dalam. Terdengar alunan indah seperti sebuah nyanyian, nada-nada khitmah keluar dari mulut sang penciptanya. Bahasa kuno itu terdengar begitu indah dan memesona. Beliau mengatakan, bahasa Sansekerta tidak hanya rumit dalam hal penulisan, tapi cara membacanya pun harus diperhatikan lekukan-lekukan nada dan panjang kecil hurufnya. Sama seperti membaca Al-Qur’an, kitab suci umat Islam. Bahasa Sansekerta pun seperti itu. Tidak bisa dibaca biasa tanpa nada seperti bahasa latin.

Tamu-tamu terhormat dari seluruh dunia, pernah mendatangi beliau di rumahnya. Mereka semua hendak bertemu muka dengan sang legendaris yang karya-karyanya bisa disejajarkan dengan pelukis terkenal Michaelangelo. Mereka mau bersusah payah datang ke Bali, memasuki desa Tenganan hanya untuk bertemu dengan beliau. Pak Wayan memang berprinsip tidak akan keluar dari rumahnya. Yang berkepentingan, harap datang ke rumahnya di Tenganan. Beliau tidak ingin meninggalkan kampung halaman, ada rasa tanggung jawab dengan apa yang terjadi di kampung halamannya. Seandainya penduduk desa ataupun orang di luar desa Tenganan yang memerlukan bantuannya tapi beliau tidak ada di tempat, rasa bersalah akan terus menyelimutinya. Pak Wayan memang menjadi orang yang dituju oleh seluruh penduduk Bali di desa lain jika mereka ingin mengarsipkan kembali hukum-hukum adat desa mereka. Jasanya sudah amat besar bagi pelestarian budaya Bali itu sendiri.

Menutup akhir perbincangan, beliau masih menaruh harapan besar ada penerus yang mau mengikuti jejaknya. Sosok seperti beliau merupakan harta yang tak ternilai harganya bagi pelestarian budaya kuno Indonesia. Harapan beliau menjadi harapan besar kami semua.

Dan hari itu, 13 Oktober 2010, berakhir dengan pertunjukan keahlian lain seorang I Wayan Muditadnana sebagai seorang dalang dan pemusik Gendar Wayang.

Hide Ads