Dari Cibeo, rombongan mulai bergerak. Keadaan kampung sungguh-sungguh sepi minta ampun. Bahkan, saya tidak sempat pamit kepada Pak Surjaya (tuan rumah) dan anak-anaknya; Kang Juli dan Kang Sanip. Yang tersisa di rumah ini hanyalah si ibu yang tidak ke ladang karena sengaja ingin melepas kepulangan kami, dan Sarinah, anak perempuan bungsu Pak Surjaya.
Setelah bersedih-sedih sejenak, kami berjalan pelan-pelan menerabas pagi. Saya berjalan dengan begitu diam seraya merasakan ulu hati yang perih dan perut yang mual. Yang lain juga sunyi, mungkin karena sindrom pagi yang masih mereka rasakan, kecuali Pak Erwin yang masih bisa berkelakar walaupun pagi itu dia puasa. Oya, untuk masalah kepercayaan, masyarakat Baduy masih menganut Sunda Wiwitan. Intinya adalah mereka begitu hormat dan memuja nenek moyang. Hari libur mereka bekerja di ladang adalah setiap tanggal 15 dan 30 setiap bulannya. Itu sudah diatur dalam aturan adat.
Sambil dikisahkan, tahu-tahu kami tiba di Kampung Cipaler. Kampung itu sepi. Karena itu, kami terus saja melanjutkan perjalanan. Sampai setelahnya, kami menemukan Jembatan Tembayan yang di bawahnya mengalir Sungai Ciujung. Rasanya saya familiar dengan nama sungai ini. Dan lalu, Pak Erwin cerita. Menurutnya, dulu sungai ini adalah salah satu pelabuhan besar, tempat bersandarnya kapal-kapal pedagang dari seluruh dunia. Saya memandang sungai yang tidak bisa dibilang luas ini dan menatap dengan kagum.
Melewati Jembatan Tembayan, saya, Arif, dan Bella mulai bersuara. Dan, ketika sampai di kampung berikutnya, Kampung Cicakal, kami istirahat sejenak. Waktu sudah menunjukkan pukul 08.30.
Kebetulan, aktivitas di kampung ini agak berbeda dari kampung-kampung lainnya yang sepi. Kampung Cicakal sedang mengadakan pelebaran kampung. Oleh sebab itu, banyak lelaki yang lalu lalang kelihatan di kampung. Ada yang sedang memotong bambu, memasang bilik, merajut tirai-ijuk untuk atap, dan lain-lain. Para perempuan juga tidak semuanya ke ladang. Beberapa bolak-balik mengangkut kayu bakar, ada pula yang menenun di rumah. "Ini sudah Baduy Luar, Neng Atre. Kalau mau foto sudah tidak apa-apa," kata Pak Erwin. Wah, saya sontak bersemangat, meski masih juga mual-mual.
Sekitar setengah jam beristirahat, kami melanjutkan perjalanan. Betapa senang ketika sudah bisa memotret. Perjalanan jadi tidak terlalu membosankan. Beruntungnya ketika beberapa kali ada orang-orang Baduy Dalam sedang melintas di kampung Baduy Luar, saya bisa memotret mereka. Senang!
Tak berapa lama, kami tiba di Kampung Gajeboh. Di sini, Pak Erwin memutuskan istirahat dan berbuka puasa. Di rumah Mi'dii, Pak Erwin membuka bekal dan mulai makan nasi dengan lauk (hanya) garam. Biasanya, untuk bekal begitu, lauknya adalah ikan asin. Tapi, kebetulan karena belum lama Pak Erwin baru saja digigit ular, jadi ia belum diperbolehkan makan ikan asin. Garam-lah yang jadi penggantinya.
Tak terasa, setelah Pak Erwin kelar dengan buka puasanya, hari sudah panas, padahal baru pukul 10.00. Perjalanan pasti akan lebih berat karena terik matahari ini. Dan benar saja, setelah Kampung Gajeboh I, kami harus melintasi jalur di puncak bukit. Alamak, panas menggila. Tapi, mau istirahat pun tidak mungkin karena seluruh kawasan begitu gersang, tidak ada tempat berteduh. Jalan satu-satunya ya kami memang harus terus berjalan.
Sampai beberapa jam kemudian, kami tiba di Kampung Gajeboh II dan kami beristirahat kembali di rumah warga yang juga adalah warung. Saya pesan Teh Botol, yang lain air mineral. Aih, lega. Di sebelah warung, ada seorang wanita sangat manula--mengenakan kain dan baju dalaman (semacam tank top)--yang sedang menenun. Usianya kata Pak Erwin sudah lebih dari 100 tahun. Wah, luar biasa, dia masih segar. Sempat saya tertarik untuk bincang-bincang dengannya, tapi sayang, sang nenek sibuk bolak-balik masuk rumah dan yang paling parah, saya tidak mengerti bahasa yang dia pakai; bahasa Sunda-Banten.
Akhirnya, perjalanan harus diteruskan. "Sebentar lagi sampai," kata Pak Erwin. Ya, ya, semangat, kata saya pada diri sendiri. Untungnya, track perjalanan kembali memasuki hutan dan tidak lagi digempur panas di puncak bukit. Bagusnya lagi, sebelum mual saya sampai tenggorokan, sekitar setengah jam kemudian, kami sudah sampai di Kaduketuk, kampung tempat Pak Erwin tinggal. Selama dua malam mendatang, saya dan teman-teman akan tinggal di rumah Pak Erwin, rumah yang hampir serupa dengan rumah Pak Surjaya di Kampung Cibeo, hanya saja lebih rapat dan lebih kecil, serta sudah pasti lebih hangat.
Kesan paling awal yang muncul ketika berada di Kaduketuk adalah betapa kampung ini sudah menikmati yang namanya teknologi dan segala yang urban. Contoh, di dekat rumah Pak Erwin ada pos Posyandu yang menyediakan televisi. Inilah hiburan masyarakat desa yang berbatasan dengan Baduy Luar dan masyarakat Baduy Luar. Tayangan favorit mereka tiap malam adalah sinetron Julia Perez yang disiarkan di Indosiar (judul Superboy, kalau saya tidak salah).
Soal modern lain, beberapa dari mereka sudah memiliki ponsel--walaupun setiap kali men-charge baterai harus ke pos Posyandu itu untuk nebeng listrik. Di sini, mereka pun sudah punya kamar mandi, walaupun airnya masih berasal dari air sungai yang dipasangi selang panjang yang dipasang sepanjang jalan. Sabun mandi, sampo, pasta gigi, dan sebangsanya itu pun sudah diperbolehkan.
Hal modern yang lain lagi, di Ciboleger yang notabene berbatasan dengan Kaduketuk, berdiri Alfamart. Ya, Alfamart yang seperti kita kenal, minimarket dengan ikon lebah itu. Pak Erwin sedikit mengeluh, "Sejak ada Alfa, anak-anak sini senang belanja di sana. Pedagang yang di bawah itu (pedagang yang berjajar rapi di sisian jalan menuju terminal) jadi kurang laku. Sudah gitu, kalau jajan di Alfa tidak cukup hanya bawa uang seribu (Rp1.000, red)." Wah, orang Baduy Luar sudah 'diajarkan' untuk konsumtif, pikir saya.
Dan, memang benar, selama 2 malam di Kaduketuk, nuansa dan suasana yang syahdu seperti di Cibeo tidak saya dapatkan. Rasanya hanya sedang menginap di desa-desa 'biasa' di luar Jakarta. Tapi, bukan berarti tidak menarik. Tetap saja bisa menarik karena kita bisa belanja kerajinan tangan khas Baduy yang setiap rumah punya jajaannya sendiri. Sekaligus, bisa bincang-bincang dengan para perempuan penenun yang terbuka terhadap orang luar Baduy. Hal menarik lain, ada beberapa tempat "ajaib" yang bisa dikunjungi di Baduy Luar. Nah, mengenai tempat-tempat ini, simak tulisan saya yang berikutnya.
Komentar Terbanyak
Koper Penumpangnya Ditempeli Stiker Kata Tidak Senonoh, Transnusa Buka Suara
Kronologi Penumpang Lion Air Marah-marah dan Berteriak Ada Bom
Tanduk Raksasa Ditemukan Warga Blora, Usianya Diperkirakan 200 Ribu Tahun