Kami sempat was-was saat mengetahui sejak subuh waktu setempat turun hujan dan paginya cuaca masih sedikit mendung. Biasanya kalau sudah begini penerbangan bisa tiba-tiba dibatalkan, terutama jika cuaca di Ewer yang mendung. Jika sudah batal, kami harus menunggu dua hari lagi untuk dapat terbang. Alhamdulilah beberapa saat kemudian cuaca kembali cerah. Sekitar pukul 07.30 WIT, Pak Dede – supir taksi bandara Mopah – sudah datang untuk menjemput kami di Hotel Nirmala.
Setelah chek in di bandara Mopah, kami masih harus menunggu beberapa saat lagi hingga pesawat datang. Sekitar pukul 09.45 WIT, pesawat Merpati jenis Twin Otter yang kami naiki pun tinggal landas menuju Ewer. Setelah beberapa berpetualang di kota Merauke dan sekitarnya, hari ini petualangan selanjutnya dimulai. Kami akan menuju Agats – kota di atas papan, kemudin berlanjut menuju ke pedalaman tempat Suku Korowai – suku yang tinggal di atas pohon.
Menuju Bandara Ewer
Penerbangan selama hampir dua jam dengan pesawat berpenumpang 10 orang di atas Papua bagian timur selatan ini benar-benar sungguh mengagumkan. Pemandangan luar biasa dahsyat. Lepas dari bandara Mopah, nampak lautan dan langit membiru. Sungai-sungai bagaikan ular raksasa meliuk-liuk membelah kerapatan hutan. Terlihat juga dari atas kawasan Boven Digul – tempat pembuangan tokoh-tokoh pergerakan nasional pada masa penjajahan Belanda.
Sungai-sungai di Papua besar dan lebar. Hutanya terlihat masih sangat rapat. Bang Leo memberitahukan kepada kami nama beberapa sungai dan muara yang terlihat dari atas. Sebagian menggunakan bahasa asing dan lainnya bahasa asli Papua. Seperti Teluk Flaminggo, Sungai Ajewets, Sungai Sirets, Sungai Betsj – tempat tewasnya Michael Rocheffeller tahun 1961. Beliau meupakan anak dari Senator Nelson Rocheffeller yang dua tahun kemudian menjadi Wakil Presiden AS. Musibah inilah yang membuat Suku Asmat terkenal ke seluruh dunia. Untuk mengenangnya, dibangunlah Museum Asmat pertama di dunia yang berada di Kota New York.
Waktu menunjukkan hampir pukul setengah satu siang waktu setempat. Setelah terbang hampir dua jam setengah, pesawat Twin Otter, milik Pemda Merauke yang dijuluk Musamus ini mendarat di bandara Ewer, Kab. Asmat. Inilah salah satu bandara peninggalan Jepang saat Perang Dunia kedua. Pesawat yang mendarat disini harus bergantian. Karena bandara hanya dapat menampung satu pesawat jenis Twin Otter. Tikar baja yang menjadi landasannya hingga kini masih digunakan. Diantara tikar-tikar baja tersebut tumbuh rerumputan. Jadi seolah-olah pesawatpun mendarat diantara rerumputan.
Inilah awal perjalanan kami yang penuh petualangan menuju pedalaman Papua. Petualangan di mana waktu dan agenda perjalanan dapat berubah setiap saat. Sebagaimana saat kami berada di Merauke. Waktu menuju Agats, harus mundur karena jadwal penerbangan yang tiba-tiba berubah. Papua negeri petualangan, itulah mungkin ungkapan yang cocok untuk Bumi Cendrawasih.
Saat turun dari pesawat, anak-anak dari Ewer manyambut kami. Walaupun sederhana, mereka memberikan kami senyum khasnya. Wajah Indonesia di timur Nusantara. Dari bandara, kami langsung menuju pelabuhan untuk menuju Kota Agats, Ibu Kota Kab. Asmat. Boni, driver speed boad yang telah kami hubungi beberapa hari sebelumnya telah menunggu. Dialah yang akan mengantar kami menuju Agats.
Petualangan telah di mulai. Dari pelabuhan Sungai Ewer, speed boad melaju menembus hutan bakau untuk kemudian melalui Teluk Flaminggo. Teluk yang indah sesuai namanya. Tidak sampai 30 menit kami tiba di pelabuhan lama Agats.
Kota di atas papan, itulah julukan Agats, Ibu Kota Kabupaten Asmat ini. Segala aktifitas semuanya dilakukan di atas papan. Kota Agats memang berdiri di atas rawa. Kota yang unik dan menarik. Hotel Assedu, tempat kami bermalam pun berada di atas papan. Inilah salah satu kekayaan dan kekhasan negeri Kasuari. Gerbang timur nusantara.
Komentar Terbanyak
Bus Pun Tak Lagi Memutar Musik di Perjalanan
Ogah Bayar Royalti Musik, PO Bus Larang Kru Putar Lagu di Jalan
Hotel di Mataram Kaget Disurati LMKN, Ditagih Royalti Musik dari TV di Kamar