Sinar matahari masuk melalui celah pintu gerbang, seorang lelaki usia senja duduk bertelanjang dada di pelataran rumah dengan gulungan kapas di tangannya. Pak Wayan Raji, seorang warga senior di desa adat Tenganan, sudah menjadi pemintal benang tradisional berpuluh-puluh tahun lamanya. Ajaran memintal benang yang sudah ia pelajari sejak jaman Jepang dulu, masih terpatri dalam diri Pak Wayan. Keuletannya dalam bekerja, membuat ia dikenal dan dihormati di desa tempat tinggalnya.
Setiap pagi begitu matahari sudah menampakkan diri, Pak Wayan mulai beraktivitas. Kapas sebagai bahan utama dalam membuat benang, memang tumbuh subur di kebun sebelah rumahnya. Benang-benang yang ia hasilkan nantinya akan digunakan untuk menenun kain Gringsing khas Tenganan. Inilah yang membuat Pak Wayan lebih beruntung dibanding penenun kain Gringsing lainnya, karena tidak semua penenun Gringsing dapat memintal benangnya sendiri.
Seiring bertambahnya umur, benang yang dihasilkan Pak Wayan memang tidak sebanyak dulu ketika ia masih muda dan lebih bertenaga. Kini ia hanya memintal benang tanpa ada target harus menghasilkan berapa gulung per hari. Rutinitasnya saat ini sekedar menjadi pengisi hari-hari tuanya. Dedikasi puluhan tahun terhadap sesuatu yang ia tekuni, tanpa sadar telah membuat dirinya sebagai seorang ahli dalam memintal benang tradisional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan semangat dan antusiasnya, Pak Wayan memperlihatkan tehnik-tehnik memintal benang secara tradisional. Di depan teras rumahnya, tampak beberapa alat kayu, tumpukan biji kapas, dan gulungan benang hasil pintalannya berhari-hari. Tanpa banyak berkata-kata, Pak Wayan langsung memperlihatkan tehnik pertama dalam memintal benang. Biji kapas yang baru saja dipetik, harus dipisah dan dibuang, dengan alat yang disebut pemibitan, ia menggulung kapas hingga bijinya terpisah dan menyisakan serat-serat kapas saja. Dari situ, ia lalu menyetet atau menggemburkan serat-serat kapas sekaligus membersihkan kapas dari sisa biji dan debu. Alat yang digunakan untuk menyetet tampak seperti busur. Kemudian setelah itu, kapas yang sudah gembur dan bersih digulung dengan kayu bambu yang sudah dihaluskan, hasilnya seperti kepompong di bambu. Dari masing-masing gulungan kapas itu, baru dilakukan tehnik asli pemintalan benang yang disebut dengan tehnik peminceran. Di tahap ini lah kesabaran dan ketelitian diperlukan untuk menghasilkan benang dengan ketebalan yang sama.
Alat peminceran yang digunakan Pak Wayan ada dua macam, satu bekas peninggalan Jepang berupa roda besar untuk menggulung benang, satu lagi yang lebih tradisional menggunakan alat seperti cincin sebagai tumpuan gulungan kapas di bambu. Alat peninggalan Jepang itu memang lebih gampang dan lebih cepat menghasilkan benang, tapi Pak Wayang lebih menyukai menggunakan peminceran tradisional. Baru setelah benang-benang tersebut jadi, ia menggulung kembali benang dengan kerangka kayu yang dibuatnya sendiri untuk membuatnya lebih teratur, tidak kusut, dan lebih gampang ditemukan jika ada benang yang putus.
Begitu benang dirasa sudah cukup untuk membuat kain Gringsing ukuran terkecil, ia menyerahkan hasil pemintalan benang-benang tersebut ke keluarganya untuk ditenun. Dulu memang ia masih menenun sendiri kain Gringsing, tapi keterbatasan tenaga membuatnya tidak kuat lagi menenun.
Ditemani sang istri, ia menjalani kehidupan sederhananya sebagai seorang lelaki pemintal benang satu-satunya di Tenganan. Di tengah industri pemintalan benang yang kian membesar, Pak Wayan masih bertahan menekuni profesinya tanpa beban dan ikatan apapun. Ia hanya ingin menikmati masa tuanya hingga akhir hayat nanti dengan menjalankan sesuatu yang berguna bagi masyarakat sekitar (13/10/10).
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol