Akibat ketinggalan pesawat ke Timika (12/10), hampir saja kami menjadi sepasang Tom Hanks dalam film The Terminal. Kami merasa asing di Bandara Sentani, tidak tahu harus berbuat apa kecuali menunggu pesawat lagi keesokan hari.
Tapi kebingungan kami tidak berlangsung lama, hingga Yohanes Arwam, station manager Garuda Indonesia di Bandara Sentani memberikan bantuan. Dengan senyum yang tak lepas dari wajah, ia menyilahkan kami rehat di kantornya. Saya dan Ayos bebas menggunakan listrik untuk mengisi tenaga Nexian Journey yang sudah mulai berkedip-kedip mau mati.
Selanjutnya kami mulai menyusun ulang itinerary, mau kemana kami selama di Jayapura?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tak apa, mulai sekarang Anda saya anggap sebagai keluarga, mari saya antar keliling!" kata Pak Arwam hangat. Kami merasa tersanjung, sekaligus tidak bisa menolak tawaran menarik ini.
Akhirnya selepas tengah hari, ia mengajak saya dan Ayos makan di sebuah rumah makan Padang. "Setelah ini kalian mau kemana?" katanya. Ayos pun melontarkan sebuah ide, ia ingin sekali mengunjungi Laboratorium Kupu-Kupu Papua. Pak Arwam pun setuju,"Wah kebetulan, saya malah tidak tahu ada tempat itu," katanya bersemangat.
Selama perjalanan ia bercerita banyak hal. Tentang kisah hidupnya untuk melanjutkan sekolah, tentang bagaimana ia menanam kangkung putih untuk membiayai kuliah, tentang anak istrinya di Jogja, tentang pengabdian 30 tahunnya pada Garuda Indonesia. "Ini cincin bukti bakti saya sepuluh tahun kerja," katanya sambil menunjukkan sebuah cincin berlogo . Ia memang tampak sangat bangga dengan maskapai tempatnya bekerja.
Ia juga bercerita panjang lebar tentang mimpinya mengangkat Papua dari segi pariwisata. "Papua sangat kaya budaya, tapi jarang sekali diekspos," kata Arwam. Syahdan, dulu Garuda Indonesia memiliki jalur penerbangan Jakarta - Denpasar - Biak - Los Angeles, pesawatnya berjenis DC-10 dan MD-11. "Sekarang jalurnya sudah ditutup, itu jalur tahun 1982," jelas Arwam.
Suatu saat, pesawat dengan jalur panjang itu ngadat di Biak. Akhirnya penerbangan pun ditunda, delay berjam-jam. Muhammad Zaenal, station manager Garuda Indonesia di Bandara Biak pada saat itu bingung, para penumpang melemparkan keluhan.
Arwam yang saat itu menjadi staff pun melontarkan ide untuk menghibur penumpang dengan kesenian khas Papua. Saat itu pria cerdas ini memiliki sekelompok pemuda binaan di desanya, Yafdas. Arwam mengorganisir para pemuda dan pemudi di desanya untuk belajar menari tradisional. Mereka sering tampil lokal di acara gereja dan perayaan hari besar.
Zaenal setuju, akhirnya Arwam bergerak cepat dan berhasil menampilkan suguhan menarik. Para penumpang senang, bahkan ada yang sampai tidak mau naik pesawat sebelum pertunjukan benar-benar usai. "From complain to compliment," kata pria lima anak ini sambil tersenyum.
Selanjutnya, Arwam semakin getol mempromosikan kelompok seni dari desanya ke area yang lebih luas, bahkan hingga kancah internasional. "Saya sudah menampilkan mereka di beberapa negara, salah satunya International Art Festival di Belgia pada tahun 1985. Ke Singapura juga pernah," katanya.
"Sekarang saya sedang sekolah lagi. Selepas dari Garuda Indonesia saya ingin serius mengembangkan kesenian Papua, dan mengenalkannya pada dunia," kata Arwam optimis.
Saya jadi berpikir, hari ini saya memang sial, tapi sekaligus beruntung karena bisa bertemu dengan pria kelahiran Biak ini. Ia mengajari kami banyak hal, salah satunya tentang kerja keras.
"Saya bisa jadi seperti ini karena usaha orang tua saya yang keras, saya harus membalas itu dengan kesuksesan," sambil terus menyetir air matanya meleleh, di sepanjang jalan di pinggir Danau Sentani.
Komentar Terbanyak
Study Tour Dilarang, Bus Pariwisata Tak Ada yang Sewa, Karyawan Merana
Penumpang Pria yang Bawa Koper saat Evakuasi Pesawat Dirujak Netizen
Suhu Bromo Kian Menggigit di Puncak Kemarau