Langit biru nan terik menghiasi perjalanan kami menuju Desa Sumberker yang ada di kecamatan Biak Kota, Papua. Siang itu kami berencana mengunjungi tempat wisata Goa Jepang. Tempat yang menjadi saksi Perang Dunia II dimana tempat persembunyian Jepang di bom oleh sekutu. Sesaat sebelum kami sampai di Goa Jepang, kami berhenti di sebuah tanjakan, dimana kami dapat melihat pemandangan Bandara Frans Kaisiepo dari atas tanjakan tersebut.
Di saat kami mengambil beberapa foto, terdengar suara yang menyapa kami dengan hangat. Beliau adalah ibu Cornelia, wanita usia lanjut yang menjaga tanjakan ini atau yang lebih dikenal dengan "Pintu Angin". Sesaat yang menjadi perhatian kami adalah pemandangan bandara Biak, namun setelah melihat sekeliling, tampak ada beberapa benda besar yang sudah berkarat dan terlihat seperti rongsokan.
Benda yang terlihat seperti rongsokan itu terlihat seperti senjata besar yang digunakan Rambo dalam salah satu filmnya. Dan ternyata menurut penuturan ibu Cornelia, senjata tersebut merupakan senjata yang digunakan Belanda untuk menjaga Papua dari perang Trikora di tahun 60-an. Pada saat itu Indonesia berusaha merebut Papua dari tangan Belanda. Di Pintu Angin, terdapat tiga martir yang menghadap ke arah Bandara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai salah satu upaya pelestarian, Ibu Cornelia mengenakan pungutan Rp 25.000 bagi pengunjung untuk membantunya memperbaiki dan menambah fasilitas yang ada. Menurut penuturannya, seluruh biaya perawatan dan pengadaan fasilitas murni dari kontribusi pengunjung dan miliknya. Negara sama sekali tidak memberikan insentif atau bantuan.
Harapannya, walaupun aset tersebut berada di atas tanahnya, negara seharusnya turut memberikan sumbangsih untuk pengelolaan aset. Padahal tidak jauh dari tempat itu, terdapat Goa Jepang yang sepenuhnya dikelola oleh pemerintah. Memang di Goa Jepang, jumlah martir disana lebih banyak daripada di "Pintu Angin", tetapi sesedikit apapun jumlahnya, benda tersebut tetaplah bagian dari sejarah bangsa.
Satu hal yang saya sorot disini adalah betapa ironisnya bahwa aset sejarah tersebut bisa menjadi milik warga sipil, padahal seharusnya negara juga turut bertanggung jawab atas pelestarian bukti-bukti sejarah. Betapa beruntung bahwa senjata tersebut dikelola oleh warga sipil yang menghargai aset sejarah dan turut melestarikannya agar masih bisa disaksikan oleh generasi-generasi penerus bangsa.
Bayangkan jika senjata-senjata tersebut berada di tangan yang salah dan punah begitu saja?












































Komentar Terbanyak
Awal Mula PB XIV Purbaya Gabung Ormas GRIB Jaya dan Jadi Pembina
Fadli Zon Bantah Tudingan Kubu PB XIV Purbaya Lecehkan Adat dan Berat Sebelah
Wisata Guci di Tegal Diterjang Banjir Bandang, Kolam Air Panas sampai Hilang!