Pulau Biak - bersama dengan pulau-pulau sekitarnya - jadi saksi bisu Perang Dunia (PD) II hingga pada puncaknya di tahun 1942. Beberapa peninggalan bersejarah seperti goa Jepang, monumen Perang Dunia II, gua lima kamar, berserakan di pulau berbentuk oval ini. Uniknya, enam buah bandara pun sempat dibangun penjajah Belanda setelah menjadikan pulau terluar Indonesia ini sebagai basis armada tempur udaranya selama PD II. Bandara Frans Kaisiepo (dulu Bandara Mokmer) tempat kami mendarat hari ini, 12 Oktober 2010, adalah salah satunya. Selain kedua negara tadi, Amerika pun pernah menjadikan pulau seluas 1.883.86 km2 ini sebagai pusat latihan militernya. Bayangkan, tiga negara adidaya dari tiga benua tertarik dengan pulau ini!
Bermodal fasilitas tadi, pulau yang dilintasi garis katulistiwa ini terus membuka diri pada pendatang luar usai PD II. Hari ini saja, kami bertemu dengan mas Eko Patranto, pengusaha taksi (angkutan umum) dari Jogjakarta yang sudah duabelas tahun berbisnis di kota Biak dan telah menganggapnya sebagai rumah. Belum lagi serombongan pengusaha dari Makassar yang siang ini merapatkan kapalnya, membawa barang-barang kebutuhan sehari-hari dari Sulawesi untuk dijual di salah satu kabupaten terluar Indonesia ini. Mereka hidup bersama dengan penduduk lokal - orang Biak - tanpa ada kesulitan yang berarti.
Dulu atau sekarang, Kota Biak nampaknya akan terus jadi tempat menarik untuk dikujungi. Bukan saja alamnya, tapi orang-orangnya. Bukan hanya warga lokal dan pendatangnya, tapi kerukunan mereka hidup bersama.
Rarama Be Bye Ro Kota Biak. Selamat datang di Kota Biak
Komentar Terbanyak
Cerita Tiara Andini Menolak Tukar Kursi sama 'Menteri' di Pesawat Garuda
Aneka Gaya Ahmad Sahroni di Luar Negeri dari Paris sampai Tokyo
Viral Beredar Template IG Itinerary Kunker Anggota DPR Komisi XI di Sydney