Salah satu obyek wisata budaya yang tidak boleh terlewatkan saat berkunjung ke Jawa Barat adalah Kampung Naga. Kampung Naga dihuni oleh sekelompok masyarakat yang sangat kuat memegang adat istiadat dan budaya peninggalan leluhurnya. Terlihat jelas perbedaan kehidupan di Kampung Naga bila dibandingkan dengan masyarakat lain di luar kampung tersebut. Kehidupan tradisional di Kampung Naga sangat kental dan serba teratur. Kampung tradisional ini termasuk kampung Legok Dage, Desa Neglasari Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Jarak tempuh dari Tasikmalaya ke Kampung Naga sekitar 30 km, sedangkan dari Garut berjarak 26 km. Kampung Naga terletak pada ruas jalan raya yang menghubungkan Tasikmalaya - Bandung melalui Garut, yaitu kurang lebih pada kilometer ke 30 ke arah Barat kota Tasikmalaya.
Di areal parkiran yang tertata apik terdapat plang besar bertuliskan ; Selamat Datang di Kampung Naga. Nama Naga bukan berarti ada legenda tentang naga di kampung ini melainkan karena letak kampung yang berada di gawir atau tebing (nang gawir). Kami disambut seorang pria berusia akhir 30 yang ternyata adalah guide bernama Cahyan. Mengetahui maksud kedatangan kami adalah untuk mengunjungi Kampung Naga, Pak Cahyan segera bersiap diri salah satunya dengan mengenakan blankon di kepalanya. Tak lama kami diajaknya menyusuri tangga menuju Kampung Naga.
Bila digambarkan Kampung Naga seperti terletak di tengah kawah dan dikelilingi hutan, sungai dan sawah. Dari atas terlihat atap rumah-rumah penduduk yang terlihat rapi. Untuk tiba di sana kami harus menuruni 439 anak tangga yang menjadi akses penduduk setempat berinteraksi dengan dunia luar. Tangga tersebut sudah ditembok (Sunda sengked) sampai ke tepi sungai Ciwulan dengan kemiringan 45 derajat dan berjarak sekitar 500 meter. Tiba di anak tangga paling bawah kami disambut jalan setapak menyusuri sungai Ciwulan sampai tiba di Kampung Naga.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Satu hal perlu diingat bahwa penduduk Kampung Naga menganut pola hidup bersih. Kami kagum pada kebijakan mereka mengatur kehidupan mereka sendiri. Salah satunya kamar mandi tidak boleh berada di dalam areal pemukiman alias harus berada di luar pagar. Ini dimaksudkan agar Kampung Naga selalu terjaga kebersihannya.
Menurut kami, Kampung Naga ini sangat menarik. Kehidupan mereka sangat unik. Meski disebut kampung tradisional namun mereka berbaur dengan masyarakat moderen, beragama Islam tapi kuat memelihara adat istiadat leluhur. Mereka selalu merayakan hari besar Islam dengan upacara yang khusyuk. Contohnya upacara bulan Mulud atau Alif dengan melaksanakan Pedaran (pembacaan Sejarah Nenek Moyang).
Bentuk bangunan di Kampung Naga sama baik rumah, mesjid, patemon (balai pertemuan) dan lumbung padi. Atapnya terbuat dari daun rumbia, daun kelapa, atau injuk sebagi penutup bumbungan. Dinding rumah dan bangunan lainnya, terbuat dari anyaman bambu (bilik). Sementara itu pintu bangunan terbuat dari serat rotan dan semua bangunan menghadap Utara atau Selatan. Selain itu tumpukan batu yang tersusun rapi dengan tata letak dan bahan alami merupakan ciri khas gaya arsitektur dan ornamen Perkampungan Naga. Nama rumah adatnya adalah Suhunan Panjang sementara itu Bumi Age merupakan nama rumah upacara adat hari besar Islam.
Sebelum berkeliling Kampung Naga kami harus mengisi buku tamu dan mendapat ijin resmi dari Wakil Kuncen Kampung Naga yaitu Bapak Hendri. Bila tidak mendapat ijin, jangan harap kami bisa berkeliling menikmati indahnya arsitektur kampung. Wakil Kuncen pun tak bisa sembarang memberi ijin karena beliau juga harus mempertanggung-jawabkan para tingkah para pengunjung kepada Kuncen-nya yaitu bapak Ade Suherlin.
Menyusuri Kampung Naga kami tiba di balai kampung atau balai pertemuan yang disebut patemon. Letaknya di sebelah masjid. Terkejut kami melihat banyak sekali bocah di dalam balai tersebut dan mereka sedang belajar bahasa Inggris! Wow, lagi-lagi kami dibuat kagum pada semangat para bocah yang tak surut menyerap ilmu yang diberikan oleh pak Ucuk (ketua guide, atasan pak Cahyan). Di hari Minggu anak-anak Kampung Naga diajari bahasa Inggris dan di hari lain, setelah pulang sekolah, mereka belajar agama Islam dengan sungguh-sungguh. Tahukah Anda? Sekolah mereka terletak di luar kampung, sebelah timur dari parkiran, dan setiap hari mereka harus menyusuri anak tangga sejumlah 439 tersebut pergi dan pulang! Semangat mereka patut dicontoh.
Penduduk Kampung Naga sejumlah 314 jiwa (1 RT). Jumlah rumahnya 113 sudah termasuk masjid, balai kampung dan lumbung padi umum. Ada 110 kepala keluarga menghuni Kampung Naga. Dari itu semua Kampung Naga tak pernah meminta yang muluk-muluk pada pemerintah. Mereka berusaha untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Satu kali saja pernah terjadi di mana pemerintah mencabut subsidi minyak tanah untuk Kampung Naga. Harga minyak tanah yang awalnya Rp. 2.500 melonjak menjadi Rp. 10.000 dan itu sangat memberatkan penduduk. Suara rakyat kecil rupanya kurang lantang didengar hingga akhirnya Kampung Naga benar-benar menutup diri dari dunia luar. Tidak boleh ada seorangpun wisatawan yang boleh memasuki kampung. Jelas, hal tersebut merugikan pemerintah dan akhirnya ditemukannya jalan keluar. Lewat sebuah lembaga bernama Koperasi masyarakat Kampung Naga dapat kembali bernafas lega. Harga kesepakatan minyak tanah sebesar Rp. 2.900 dirasa masuk akal dan sangat membantu kehidupan mereka.
Mengapa minyak tanah sangat penting di Kampung Naga? Karena tidak ada listrik di kampung adat tersebut! Menurut pak Cahyan, alasan tidak diperbolehkan adanya listrik di Kampung Naga adalah karena :
1. Rumah-rumah di Kampung Naga terbuat dari bahan yang mudah terbakar. Kuatir terjadi korslet arus listrik hingga terjadi kebakaran.
2. Menghindari kecemburuan sosial. Bila yang kaya bisa menggunakan listrik, bagaimana dengan yang kurang mampu? Kekerabatan bisa pecah dan hal itu harus dihindari.
Ketika ditanya harapan Kampung Naga untuk pemerintah, pak Cahyan menjawab, "karena Kampung Naga adalah kampung yang melestarikan adat budaya dan alam, pemerintah harus bisa melindungi..."
Wah, kami jadi malu. Mungkin kami masih terlalu banyak berharap pada pemerintah dan kadang mengkritik tanpa memberi solusi. Ingin seperti penduduk Kampung Naga. Mereka mandiri, tidak manja pada pemerintah dan tidak berlagak mentang-mentang (karena kampung mereka adalah kampung adat jadi semua keinginan harus dipenuhi). Kampung Naga merupakan kampung adat yang perlu dicontoh oleh kita semua! Kemandirian dan teguhnya mereka berpegang pada prinsip-prinsip dasar hidup. Ini sangat memukau kami. Di mana lagi bisa menemukan kampung adat seperti Kampung Naga? Inilah kampung penjaga budaya dan alam Indonesia.
Catatan untuk Anda yang hendak berkunjung ke Kampung Naga :
1. Jangan sembarangan memotret bila belum mendapat ijin dari Kuncen.
2. Memotret rumah adat dari luar pagar. Jangan coba-coba masuk.
3. Memotret ibu-ibu harus ijin dulu dikarenakan para ibu suka kaget bila blitz menyala dan akibatnya latah.
Komentar Terbanyak
Potret Sri Mulyani Healing di Kota Lama Usai Tak Jadi Menkeu
Keunikan Kontol Kejepit, Jajanan Unik di Pasar Kangen Jogja
Daftar Negara yang Menolak Israel, Tidak Mengakui Keberadaan dan Paspornya