Setelah lelah mengarungi jeram-jeram Sungai Nimanga kami memutuskan untuk makan siang di Tondano. Mampirlah kami di sebuah warung, kalau tidak salah ingat letaknya dekat boulevard Tondano.
Warung ini satu dari sederetan warung di tepi sawah. Suasana sawah dan hawa Tondano yang sejuk membangkitkan selera makan kami. Pertama kami memesan nasi campur dengan pilihan lauk pauk yang tersedia.
Belum pula pesanan pertama kami sampai ke meja, Stella, pemandu kami, menyarankan untuk memesan juga Bia Kolobi. "Bia Kolobi itu sate keong", jelas Stella tanpa menunggu kami bertanya. Rasa ingin tahu ditambah perut yang memang terlambat diisi membuat kami segera mengiyakan anjuran Stella.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Begitu masuk mulut dan tergigit, terasa istimewanya sate keong ini. Daging keong kenyal yang terbakar arang mencipta sensasi renyah yang luar biasa. Belum lagi bumbu pedasnya yang menyerap, saya sudah malas berpikir atau bertanya terbuat dari apa bumbunya.
Keringat bergulir dari kepala memenuhi dahi dan leher saya. Dalam hitungan menit piring Bia Kolobi itu kosong tanpa sisa. Jika tak ingat waktu ingin rasanya memesan lagi. Tapi tak apa, biarlah Bia Kolobi membuat saya rindu untuk kembali ke Tondano.
Jelajah, Cerita, Cinta.
Komentar Terbanyak
Mengenal Kereta Lambat yang Dinaiki Kim Jong Un ke China
10 Negara yang Mengeluarkan Travel Warning ke Indonesia karena Demo
Profil Menteri Haji Era Presiden Prabowo, Gus Irfan yang Hobi Sepedaan