Melihat Indonesia dan Keramahannya di Senggo

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Harley Bayu Sastha|13462|PAPUA 3|29

Melihat Indonesia dan Keramahannya di Senggo

harleysastha - detikTravel
Kamis, 17 Mar 2011 10:40 WIB
loading...
harleysastha
Papan selamat datang
Pelabuhan sungai Desa Senggo
Rumah tinggi milik keluarga Ibu Teti
Berjalan di atas tikar baja
Foto bersama anak-anak Senggo setelah main bersama
Dua orang wanita Senggo berjalan menuju pasar
Melihat Indonesia dan Keramahannya di Senggo
Melihat Indonesia dan Keramahannya di Senggo
Melihat Indonesia dan Keramahannya di Senggo
Melihat Indonesia dan Keramahannya di Senggo
Melihat Indonesia dan Keramahannya di Senggo
Melihat Indonesia dan Keramahannya di Senggo
Jakarta -

Waktu telah menunjukkan pukul sekitar 18.30 WIT, ketika saya, ErwinΒ  dan bang Leo tiba di pelabuhan sungai di Desa Senggo, Distrik Citak Mitak dari Agats. Hari itu, Minggu, 17 Oktober 2010, merupakan hari ke-6 kami berada di Papua. Selama hampir 6 jam dengan speedboat kami melalui Teluk Flamingo, Laut Aru dan Sungai Siretz.

Walaupun cukup melelahkan, perjalanan menjadi petualangan yang menarik bagi kami. Sungai yang besar, lebar serta hutan dan muara sungai yang indah menjadi pemandangan tersendiri. Seekor burung Cendrawasih sempat terlihat di salah satu sisi sungai. Kami juga melihat beberapa kampung di sisi sungai.

Miniatur Indonesia dan ramahnya masyarakat Senggo

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Begitu tiba, kami disambut oleh beberapa warga desa. Mereka hampir bersamaan mengucapkan salam β€˜selamat malam’.Β  Awalnya kami anggap ini ucapan salam biasa ketika menyambut tamu yang baru datang. Tetapi saat kami berpapasan dengan orang lainnya saat menuju rumah tempat kami bermalam, mereka juga mengucapkan hal yang sama. Sepertinya ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat setempat.

Malam itu kami bermalam di kediaman keluarga Ibu Teti. Rumah sederhana dua lantai berdinding kayu ini dikenal masyarakat setempat dengan sebutan rumah tinggi. Saat berjalan menuju penginapan, ada yang menarik pada jalan tanah berpasir yang kami lalui. Pada beberapa bagian jalan ada tikar baja persis seperti apa yang ada di Bandara Ewer, Agats. Setelah mendapat informasi, baru kami mengetahui kalau itu juga bekas landasan bandara Senggo, salah satu bandara kecil peninggalan Jepan saat Perang Dunia II.

Keluarga Ibu Teti merupakan gambaran kecil keluarga Indonesia. Ibu Teti sendiri merupakan peranakan campuran Papua – Buton dan Kei, Ambon. Suaminya orang Toraja.

Untuk berkomunikasi di Senggo sangat sulit. Tidak ada satupun jaringan operator telepon seluler. Untuk berkomunikasi di sini ada dua wartel satelit. Pulsanya tentu mahal, berkisar Rp. 3.000,- hingga Rp. 5.000,- per menit. Selama di sana, kami pun menggunakan telepon satelit yang dibawa oleh bang Leo untuk dapat berkomunikasi.

Sedangkan untuk penerangan, rata-rata rumah di Senggo menggunakan genset. Sebenarnya ada PLN dengan tenaga genset juga. Namun, kapasitasnya masih terbatas. Penerangan di Senggo biasanya hanya berlangsung hingga tengah malam saja saat kebanyakan orang-orang sudah tertidur.

Esok harinya saya dan Erwin jalan-jalan keliling desa untuk melihat aktiftas pagi hari masyarakat Senggo. Kami berjalan menuju bandara Senggo yang sedang dalam tahap renovasi. Sebelum kami sempatkan terlebih dahulu ke sungai untuk melihat kapal layar pedagang milik yang berawak orang-orang dari Buton dan Makasar.

Sepanjang perjalanan kami selalu berpapasan dengan masyarakat. Setiap papas an mereka tidak segan-segan untuk mengucapkan salam. Walaupun tinggal jauh di pedalaman, mereka menggambarkan keramahan khas masyarakat Indonesia. Tidak hanya orang dewasa, anak-anak pun melakukan hal yang sama.

Saat mampir ke polsek,kami bertemu dengan seorang polisi asal dari Jawa. Beberapa warga yang kami jumpai sepanjang perjalanan ada yang asal Toraja, Ambon, Jawa dan Manado. Salah satunya adalah Bapak Rudi asal dari Jayapura dengan istrinya Ibu Sandra asal Manado.

Saat melalui SD Inpres, kami sempat mengajak sejumlah anak-anak bermain. Selama sekitar 15 menit, kami memberikan mereka beberapa jenis permainan. Walaupun hanya sebentar, namun terlihat mereka begitu bergembira dan menikmatinya. Itu lantaran kurangnya hiburan disana. Benar-benar menyenangkan rasanya dapat mengajak mereka bergembira dan tersenyum.

Saat kembali ke penginapan, kami naik ojeg yang di kendarai Noverius, seorang guru muda asal Nias, Menurutnya sudah hampir 5 tahun sejak usia 22 tahun ia mengajar di sini. β€œMenjadi guru disini harus sebagai pengajar dan pendidik”, begitu katanya. Panggilan jiwanyalah yang membuatnya mau mengabdi di daerah terpencil seperti ini.

Sepanjang jalan nampak anak-anak bermain di sungai. Mandi dan mencari ikan itulah kegiatan mereka. Walaupun berpakaian ala kadarnya dan bahkan ada yang telanjang, namun mereka terlihat menikmatinya.

Anak-anak sekolah yang kami jumpai tidak semuanya memakai seragam dan beralas kaki. Namun, semangat belajar mereka terlihat sangat kuat. Menurut Noverius, pakaian seragam disini memang tidak diharuskan. Menurutnya lagi, yang penting mereka sudah mau sekolah. Itu saja sudah cukup.

Apabila kita ke pelabuhan sungai, banyak kita jumpai warung-warung yang menjual kebutuhan hidup sehari-hari. Pedagangnya berasal dari beberapa wilayah di Indonesia.

Melihat itu semua tidak salah rasanya jika kami menjuluki Senggo sebagai miniatur Indonesia di pedalaman timur nusantara. Dengan ksederhanan dan keterpencilannya, semoga segala keramahan Senggo dapat terus terpelihara dan menjadi contoh untuk kita semua.

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads