Seluruh tubuh saya sudah tenggelam di dalam air. Hanya dengan masker dan fin tanpa snorkel, rasanya sulit untuk menahan napas lama-lama di dalam air. Mungkin sudah tua, mungkin juga karena lelah akibat jadwal perjalanan yang padat. Satu menit, dua menit. Yang saya nantikan belum juga muncul.
"Pak, mungkin perlu dikasih makan," saya berteriak ke Bapak Nasrullah, pengelola bagan (rumah terapung tempat menangkap ikan) di sekitar Tanjung Kwatisore, Nabire. Matahari memang sudah terlalu tinggi. Hari itu, 21 Oktober 2010, kami terlambat tiba di bagan.
Pak Nasrullah mengangguk. Seember ikan kombong (ikan kembung) berukuran sepuluh sentimeter hasil tangkapan dua hari lalu ia tumpahkan ke dalam air laut di bawah bagan. Bau busuk segera merebak, memenuhi udara. Di dalam air, seketika air menjadi sangat amis. Remah-remah ikan memenuhi seluruh permukaan air. Visibility berkurang drastis. Saya sudah kawatir jika kamera di tangan akan terhalang oleh partikel-partikel ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seketika bulu kuduk saya meremang. Saya mencelupkan muka. Sebuah bayangan hitam mendekat dari bawah kaki. Hati menciut. Saya merapatkan badan ke kapal. Berpegangan erat. Hilang semua teori tentang hewan baik ini.
Takut. Tapi mau. Itulah yang menyelimuti perasaan saya. Sambil tetap berpegangan satu tangan ke kapal, saya memberanikan diri menenggelamkan seluruh badan ke air, mencoba mengambil gambar hewan ini.
Gagal. Jangankan gambar. Saya malah berusaha naik ke atas kapal sambil teriak-teriak. "Takut. Takut." Bagai anak kecil bertemu dukun sunat, saya mengibas fin. Panik. Tak ada lagi rasa malu. Walau semua orang di atas kapal terlihat tertawa.
Sialnya, tidak ada tangga untuk naik ke kapal. Sembari gelagapan mencari pijakan kaki ke badan kapal, saya merasakan usapan lembut di pantat saya. Saya menoleh ke belakang. Raksasa itu sedang memutar badannya persis di belakang badan saya. Setengah badannya sebegitu dekat hingga menyentuh badan saya. Makin panik, kamera saya terlepas dari genggaman. Kedua tangan saya kini memegang bibir kapal. Untunglah kamera sudah terikat di lengan.
Saya teriak makin menjadi-jadi. Bapak Guntur Yamban, motorist kami, meyakinkan saya ikan ini tidak berbahaya. Untuk itu, ia bergabung dengan saya di air. Untunglah saat itu raksasa laut itu sudah kembali ke kedalaman.
Kini, bersama Pak Guntur, saya malah merasa kehilangan yang mendalam. Hiu paus tadi sudah lenyap. Berkali-kali melongokkan muka ke dalam air. Tak juga datang. Hingga akhirnya, dua ekor muncul dari kedalaman. Nampaknya hiu paus yang tadi muncul membawa temannya setelah tahu betapa bodohnya manusia yang tadi ia ajak bermain. Tapi kali ini saya bertekad untuk berani, sambil berpegangan tangan ke badan kapal tentunya. Apalagi kali ini, hiu paus berukuran enam meter itu membawa temannya yang lebih besar, sekitar tujuh setengah meter.
Mereka mendekati bagan bersama-sama. Sebelum tiba di bagan, mereka berpencar. Salah satu mengelilingi bagan, satunya lagi langsung mengendusi jaring bagan, mencari-cari makanan yang bisa mereka lahap. Saya sibuk memperhatikan seekor yang sedang di bawah bagan. Saking asyiknya, saya lupa ketika seekor lagi sudah berenang di belakang saya, menyundul pantat dan kaki saya. Kali ini saya hanya berteriak kecil, tanpa berniat naik ke kapal.
Ya Tuhan, mereka memang hewan yang lembut. Ukuran memang bisa bikin keder dan takut. Tapi, teori itu benar. Pak Guntur bahkan minta saya berenang dan memeluk si raksasa ini. Saya masih ragu. "Asal jangan kena siripnya, tidak apa-apa," begitu teori Pak Guntur.
Belum lagi ia memberi contoh, seekor lagi muncul. Kali ini ia muncul dari samping. Badannya pipih. Mulutnya lebar. Kepalanya saja kurang lebih satu setengah sampai dua meter lebarnya. Di depan kepalanya, tersungging sebuah senyum dari mulut selebar kepala. Entah senyum atau seringai. Tapi yang pasti, tampang hiu ini jadi jauh lebih menyeramkan dari depan. Apalagi ia tiba-tiba membuka mulutnya. Saya kembali ketakutan. Merapatkan tubuh ke kapal. Berpegangan erat. Tapi lagi-lagi saya tidak berniat naik ke kapal.
Saat mulutnya terbuka lebar, ia mengangkat kepalanya. Berusaha mengumpulkan ikan-ikan kombong agar masuk ke dalam mulutnya. Saya tercekat. Membayangkan jika saya yang jadi ikan kombong itu. Mulutnya terbuka lebar selama lima detik. Cukup untuk memperhatikan seisi rongga mulutnya yang putih dan berbilah-bilah seperti bilah jendela blind-fold.
Selesai bersantap, ia tidak segera berlalu. Ia menatap saya. Entah berapa ukuran ikan yang satu ini. Tidak seperti sebelumnya, saya beranikan diri untuk menyelam bersama ikan terbesar di dunia ini. Ia tidak menolak. Ia bahkan mendekatkan kepalanya. Pak Guntur sudah lebih dulu berinisiatif dengan berenang di samping ikan ini. Saya mengurungkan niat. Lebih baik mengambil foto.
Sekali dua kali. Fotonya jelek semua. Cahaya matahari yang terlalu keras menimpa permukaan laut, membuyarkan hasil foto. Akhirnya saya memutuskan menambil video saja. Berhasil. Saya tidak perduli kalau video ini akan ditertawakan bahkan oleh amatir sekalipun. Yang penting ada dokumentasi, pikir saya.
Selanjutnya, saya semakin nyaman berenang dan berada dekat dengan mereka. Sesekali saya menyelam hingga kedalaman tiga-empat meter untuk mendapatkan foto dari bawah ikan raksasa ini. Alas, paru-paru tak cukup kuat bahkan untuk memencet tombol shutter. Nampaknya, saya harus puas dengan foto seadanya.
Satu jam kemudian, saya sudah telalu puas dengan pengalaman sekali seumur hidup ini. Salah satu cita-cita saya dalam kegiatan menyelam sudah tercapai. Masih banyak yang ada di dalam daftar. Tapi untuk sekarang, cukuplah sudah.
Berenang bersama para raksasa laut di Nabire sungguh salah satu hadiah terbaik dan tak tergantikan dari perjalanan ke Papua.












































Komentar Terbanyak
Awal Mula PB XIV Purbaya Gabung Ormas GRIB Jaya dan Jadi Pembina
Fadli Zon Bantah Tudingan Kubu PB XIV Purbaya Lecehkan Adat dan Berat Sebelah
5 Negara yang Melarang Perayaan Natal, Ini Alasannya